Keputusan awal, akhir Ramadhan, termasuk Hari Arafah dan Idul Adhha, merupakan keputusan politik, yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan masalah perbedaan mathla’.
Hampir tiap tahun selalu kisruh. Begitulah suasana kaum Muslim di negeri ini, saat menentukan awal dan akhir Ramadhan, termasuk Hari Arafah dan Idul Adha. Tiap tahun, umat Islam di negeri Muslim terbesar ini selalu berpuasa Ramadhan dan Arafah, berhari raya Idul Fitri dan Idul Adha berbeda.
Belakangan bahkan Din Syamsuddin dengan tegas menyatakan, sengaja Muhammadiyah tidak hadir dalam sidang isbat (19/7/2012) yang lalu. Menurutnya, itu hanya seremoni sebab keputusannya sudah dibuat.
Pemerintah, dan seperti biasa diikuti para pendukungnya, menyatakan, bahwa keputusan pemerintahlah yang harus diikuti karena pemerintah adalah ulil amri. Meski pengalaman tahun-tahun sebelumnya menunjukkan, bahwa keputusan tersebut salah, setelah terbukti bulan yang tampak melebihi hitungan tanggal yang ditetapkan pemerintah. Toh, mereka tetap saja, tidak mau menyadari kesalahannya dan bahkan berpura-pura budeg.
Sementara para penceramah, ustadz, dai dan ormas yang membebek kepada pemerintah, selalu mengatakan kepada jamaahnya, “Biarlah, kalau salah, pemerintah yang menanggung dosanya.”
Lalu, seperti biasa, melalui Kementerian Agama, pemerintah pun berdalih, bahwa perbedaan tersebut terjadi karena masing-masing negara mempunyai mathla’ yang berbeda. Mathla’, mathla’ dan mathla’ selalu menjadi kambing hitam. Bahkan, pendapat Imam Syafii, selalu dijadikan justifikasi untuk membenarkan sikap mereka.
Padahal, sejatinya masalah ini bukan soal mathla’, juga bukan soal perbedaan pandangan fiqih. Karena keputusan awal, akhir Ramadhan, termasuk Hari Arafah dan Idul Adhha, merupakan keputusan politik, yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan masalah perbedaan mathla’. Sebab, perbedaan mathla’ ini merupakan fakta astronomi dan hukum alam, yang tidak ada kaitannya dengan batas teritorial dan sistem politik yang sedang berkuasa.
Sementara faktanya, pengumuman awal, akhir Ramadhan, termasuk Hari Arafah dan Idul Adhha ini jelas-jelas terkait teritorial negara dan kemauan penguasanya. Andai benar perbedaan ini karena perbedaan mathla’, tentu dua komunitas Muslim yang berjauhan jaraknya, meski dalam satu negara, mereka bisa berpuasa dan berhari raya yang berbeda. Karena, mathla’-nya berbeda. Sebaliknya, dua komunitas Muslim yang berdekatan, meski dalam dua negara yang berbeda, akan berpuasa dan berhari raya yang sama. Karena mathla’-nya sama. Nyatanya tidak.
Ini bukti, bahwa perbedaan mathla’ ini hanyalah dalih, dan akal-akalan pemerintah dan para pendukungnya. Karena nyata, bahwa pengumuman tersebut dasarnya adalah perbedaan tanah air, negara, bahkan golongan, bukan karena perbedaan mathla’.
Kalau benar masalahnya adalah masalah perbedaan fiqih, maka sesungguhnya masalah ini bisa diselesaikan dengan mudah, dengan merujuk pada dalil yang rajih (kuat). Baik yang berpegang pada prinsip wihdat al-mathali’ (satu mathla’), atau ta’addud al-mathali’ (lebih dari mathla’), maupun hisab dan rukyat. Perbedaan fiqih ini juga tidak lepas dari kondisi yang ada pada waktu itu, di mana kaum Muslim yang hidup di seluruh pelosok wilayah Khilafah bisa mengetahui informasi awal, akhir Ramadhan, termasuk Hari Arafah dan Idul Adhha secara serentak, mengingat keterbatasan teknologi informasi di masa itu.
Mengenai argumen yang sering digunakan untuk membenarkan adanya lebih dari satu mathla’ dalam menentukan awal, akhir Ramadhan, termasuk Hari Arafah dan Idul Adhha adalah Hadits Kuraib. Kuraib diutus oleh Ummu Fadhal untuk menemui Mu’awiyah di Syam. Kuraib berkata, “Kami tiba di Syam. Kami telah memenuhi kebutuhannya. Saya pun kedatangan hilal Ramadhan, saat itu saya berada di Syam. Saya menyaksikan hilal pada malam Jumat. Setelah itu, saya tiba di Madinah pada akhir bulan. Saya ditanya oleh ‘Abdullah bin ‘Abbas, lalu dia menyebut hilal, seraya bertanya, ‘Kapan kalian melihat hilal?’ Saya jawab, ‘Kami melihatnya pada malam Jumat.’ Dia bertanya, ‘Kamu melihatnya?’ Saya jawab, ‘Iya. Begitu juga orang lain. Mereka berpuasa dan Muawiyah juga berpuasa.’ Dia berkata, ‘Tetapi kami melihatnya malam Sabtu, sehingga kami tetap menggenapkan 30 hari.’ Saya bertanya, ‘Mengapa Anda tidak mengikuti rukyat puasa Muawiyah?’ Dia menjawab, ‘Tidak. Begitulah, Rasulullah SAW memerintahkan kepada kami.'”
Jadi, Ibn ‘Abbas tidak mengakui rukyat Muawiyah, dan tidak berpuasa mengikuti puasa Muawiyah. Pernyataan ini tidak bisa dijadikan sebagai dalil syara’, karena ini hanyalah ijtihad Ibn ‘Abbas dalam memahami hadits, “Shumu li ru’yatihi wa afthiru li ru’yatihi.” Selain itu, ijtihad Ibn ‘Abbas ini juga lemah, karena bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan dari sejumlah kaum Anshar, “Kami terhalang melihat hilal Syawal, sehingga pagi harinya kami tetap berpuasa. Lalu, datang di penghujung siang itu rombongan. Mereka bersaksi di hadapan Nabi SAW bahwa mereka kemarin telah melihat hilal. Nabi pun memerintahkan mereka (para sahabat) untuk membatalkan puasa, kemudian besoknya mereka pun keluar untuk melaksanakan shalat Id.” Rasul jelas telah memerintahkan mereka membatalkan puasa pada hari, yang mereka sangka Ramadhan, karena penduduk lain di luar Madinah telah melihat hilal Syawal. Saat ini, sarana informasi sangat canggih, sehingga dalam satu menit, informasi awal, akhir Ramadhan, termasuk Hari Arafah dan Idul Adhha ini bisa dikirim ke seluruh dunia. Kaum Muslim pun bisa melaksanakan puasa dan berhari raya di hari yang sama.
Pendapat fiqih yang menyatakan, bahwa kalau di satu negeri Islam telah terlihat hilal, maka kaum Muslim di negeri yang lain juga wajib berpuasa dan berhari raya yang sama, baik wilayahnya jauh maupun dekat, adalah pendapat yang populer di kalangan mazhab Maliki. Ibn ‘Abd al-Barr menisbatkannya kepada Imam Malik dalam kitabnya, al-Istidzkar, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibn Qasim dan orang-orang Mesir. Imam al-Laits, as-Syafii dan Ahmad juga menyatakan hal yang sama. Pandangan ini juga merupakan pandangan yang rajih, dari aspek dalil maupun fakta mutakhir.
Dengan demikian, mestinya umat Islam bisa menentukan awal, akhir Ramadhan, termasuk Hari Arafah dan Idul Adhha pada hari yang sama, jika tidak ada sekat teritorial, politik dan identitas kelompok atau mazhab. Jargon, “Amru al-imam yarfa’u al-khilaf (perintah/keputusan imam bisa menghilangkan perbedaan)”, yang nota bene adalah kaidah syara’ benar, juga tidak jarang digunakan untuk menjustifikasi keputusan politik pemerintah dan para pengikutnya. Toh, rakyat sudah telanjur tidak percaya. Karena senyatanya itu hanyalah jargon kosong, yang selalu digunakan untuk kepentingan politik pemerintah dan kroninya.
Karena itu, solusi mendasar dari kisruh ini adalah adanya pemerintahan yang kredibel dan amanah, yang didukung oleh kekuatan politik, ulama dan pilar kekuasaan yang amanah. Bukan karena kepentingan pribadi, kelompok, organisasi atau mazhab. Dengan begitu, ia akan diterima oleh seluruh umat Islam. Dan, itu hanya ada para khalifah. Hanya khilafahlah yang bisa menyatukan suara umat Islam di seluruh dunia.
Maka, mau atau tidak, khilafah adalah solusi mendasar dari persoalan ini. Khilafah yang akan menyatukan awal, akhir Ramadhan, termasuk Hari Arafah dan Idul Adhha. Suara khalifah akan dipancarkan ke seluruh dunia, dan umat Islam pun bisa mendengar, melihat dan mengikutinya dengan seksama. [] KH Hafid Abdurrahman
Seharusnya kita menjadi sadar sejak awal, dan tidak perlu malu mengikuti kebenaran