Catatan Jubir : Dalil atau Dalih?

Ketika majalah ini tiba di tangan Anda, puasa Ramadhan mungkin telah separuh berjalan. Tak lama lagi akan berakhir, dan kita akan berlebaran. Ada rasa gembira karena berhari raya, bertemu orangtua dan karib-kerabat di kampung. Namun, ada juga rasa sedih karena bulan yang penuh berkah itu segera berlalu, sementara tahun depan belum tentu kita bisa berjumpa kembali. Rasa sedih bertambah lagi menyaksikan bagaimana umat ini seperti berjalan tanpa arahan.

Lihatlah, tahun ini kita mengawali puasa Ramadhan tidak bersamaan. Ada yang tanggal 20 Juli. Ada lagi yang 21 Juli. Tahun lalu, kita juga berlebaran secara berbeda. Sebagian pada Selasa 30 Agustus. Sebagian lagi pada Rabu 31 Agustus 2011. Heran, untuk sekadar bersatu mengawali dan mengakhiri puasa saja kok sulit amat. Padahal dalil al-Quran dan Hadisnya sama. Yang dilihat juga sama. Lalu mengapa hasilnya lebih sering berbeda? Amat memalukan. Orang lain sudah lama menginjak-injak bulan. Umat Islam sekadar melihat bulan saja hampir selalu bertengkar.

Benar, dalil yang digunakan dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan itu sama. Di antaranya hadis sahih yang berbunyi, “Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihat hilal. Jika tertutup mendung maka genapkanlah bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” (HR al-Bukhari).

Benar juga bahwa yang dilihat, yaitu hilal (bulan baru), juga sama karena memang di dunia ini hanya ada satu bulan.

Rupanya, selain menggunakan dalil, dalam beragama kita juga acap menggunakan dalih. Harap tidak keliru antara dalil dan dalih. Penulisan maupun pengucapannya memang amat mirip. Dari segi penulisan, keduanya hanya dibedakan oleh huruf konsonan terakhirnya. Namun, dalam konteks agama, keduanya amat jauh berbeda. Menurut al-Jurjani dalam At-Ta’rifat, dalil adalah sesuatu yang dengan mengetahuinya akan menghasilkan pengetahuan tentang sesuatu yang lain (al-dalilu huwa alladzi yalzamu al-‘ilmu bihi al-‘ilmu bi syay’in akhar). Adapun dalil syariah, menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Syakhsiyyah Islamiyyah Jilid 3, adalah sesuatu yang dijadikan hujjah bahwa apa yang dibahas atas dasar sesuatu itu adalah hukum syariah (al-dalilu asy-syar’i huwa alladzi yuttakhadzu hujjat[an] ‘ala anna al-mabhutsa ‘anhu hukm[un] syar’iyy[un]).

Adapun dalih, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah alasan (yang dicari-cari) untuk membenarkan suatu perbuatan atau tindakan.

Meski sesungguhnya antara dalil dan dalih dengan mudah dapat dibedakan, dalam realitas sehari-hari keduanya sering bercampur-aduk. Merasa berdalil, padahal sedang berdalih; mencari-cari alasan untuk membenarkan perbuatan atau tindakannya.

++++

Ketika bertemu dengan seorang tokoh partai Islam, saya bertanya tentang keputusan partai itu dulu mendukung Gus Dur ketimbang Megawati dalam pemilihan presiden. Dia katakan, berdasar kaidah akhaffu dhararain (memilih dharar yang lebih ringan), Gus Dur dinilai memiliki bobot dharar yang lebih ringan daripada Megawati.

Dua tahun kemudian, kita tahu, Gus Dur dicopot dari kursi kepresidenan karena dianggap melanggar konstitusi. Dalam momen ini, ternyata partai ini balik mendukung Mega dan menentang Gus Dur. Saya bertanya lagi kepada dia, “Kalau sudah tahu Megawati memiliki dharar yang lebih besar, kenapa kemudian malah didukung?” Jawab dia, menghilangkan dharar yang nyata (Gus Dur) harus didahulukan ketimbang memperhatikan dharar yang masih dalam dugaan (Megawati).

Jadilah yang dulu ditentang, sekarang didukung; yang dulu didukung, sekarang ditentang. Dengan semua sikap itu, kawan kita ini sesungguhnya tengah berdalil atau berdalih?

Dalam Pilpres 2004 partai yang sama sangat menentang SBY karena katanya, SBY adalah antek AS, neolib dan sebagainya. Namun, setelah calonnya kalah di putaran pertama, di putaran kedua partai ini balik mendukung SBY dengan segala dalihnya.

Bukan hanya dalam politik, dalih juga acap dipakai di lapangan ibadah. Contohnya dalam penetapan awal dan akhir Ramadhan. Seperti telah disebut, tahun 2011 lalu umat Islam di Indonesia berlebaran secara berbeda. Ada yang 30 Agustus, ada lagi yang 31 Agustus. Berdasar data, ijtimak akhir Ramadhan tahun lalu terjadi pada Senin, 29 Agustus jam 10.05.16. Tinggi hilal saat matahari terbenam pada hari itu adalah +01.49’57″. Jadi, hilal sudah wujud (sudah ada), tetapi mungkin belum bisa dilihat di wilayah Indonesia karena berdasar kesepakatan para ahli rukyat di Indonesia, tinggi hilal yang kurang dari 2 derajat tidak mungkin dirukyat. Maka dari itu, yang memegangi prinsip hisab wujudul hilal, menetapkan malam itu (29 Agustus 2011) telah 1 Syawal 1432 H, dan bagi yang berdasar rukyat, 1 Syawal ditetapkan pada Selasa, 30 Agustusi 2011 karena hilal tidak terlihat di 30 lokasi rukyat di seluruh Indonesia.

Sebenarnya, ada yang melaporkan hilal terlihat di Cakung dan Jepara, tetapi kesaksian mereka itu ditolak. Karena itu, kelompok pertama melaksanakan shalat Idul Fitri pada 30 Agustus, sedangkan kelompok kedua pada 31 Agustus 2011.

Beberapa hari setelah sidang isbat yang menghebohkan itu, saya menjumpai seorang yang boleh disebut menjadi figur sentral dalam sidang itu. Kepada beliau saya bertanya, “Pak Kyai, mengapa hasil rukyat Cakung dan Jepara ditolak? Bukankah Nabi saw. menerima persaksian meski hanya dari seorang Muslim?” Beliau menjawab, “Karena hasil rukyat itu bertentangan dengan hasil perhitungan yang menunjukkan bahwa hilal pada sore/malam itu jauh di bawah batas imkanur rukyah (batas yang memungkinkan untuk dilihat). Jadi, harus ditolak.”

“Kalau sudah pasti tidak mungkin dirukyat, kenapa tetap diselenggarakan rukyat di banyak tempat di Indonesia? Kalau kegiatan itu dilakukan untuk menjaga siapa tahu hilal terlihat, dan benar terlihat di Cakung dan Jepara, mengapa hasilnya ditolak? Jadi buat apa? Dijawab, “Buat formalitas, karena memang rukyat harus dilakukan.”

Saya bertanya lagi, “Kabarnya hilal terlihat juga di wilayah Malaysia (dan memang Malaysia, Thailand, Australia, Jepang dan mayoritas wilayah Dunia Islam lain berlebaran pada Selasa 30 Agustus 2011), kenapa kita tidak menggunakan data itu. Bukankah secara geografis Malaysia lebih dekat ke Jakarta ketimbang, misalnya, kawasan Indonesia Timur. Mengapa kita memaksakan bahwa hilal harus terlihat di kawasan Indonesia? Dijawab, “Karena prinsip wilayatul hukm. Indonesia adalah satu wilayatul hukm.” “Tapi apa dalilnya, bahwa wilayatul hukm itu membentang dari Sabang sampai Merauke?” tanya saya lagi. “Tidak ada. Itu hanya kesepakatan ulama,” tegasnya.

Prinsip wilayatul hukm konon diambil dari pendapat Imam Syafii tentang mathla’ (tempat lahirnya bulan). Intinya, jika satu kawasan melihat bulan, maka daerah dengan radius 24 farsakh dari pusat rukyat bisa mengikuti hasil rukyat itu. Adapun daerah di luar radius itu boleh melakukan rukyat sendiri. Pendapat ini didasarkan pada beberapa hadis shahih yang diriwayatkan dari Kuraib.

Namun, jumhur ulama tidak menganggap perbedaan penentuan awal dan akhir puasa karena perbedaan mathla’. Sayyid Sabiq menyatakan, “Menurut jumhur, tidak dianggap adanya perbedaan mathla’ (ikhtilâf al-mathâli’). Oleh karena itu kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah saw., ‘Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.’ Seruan ini bersifat umum mencakup seluruh umat. Jadi siapa saja di antara mereka yang melihat hilal; di tempat mana pun, maka rukyat itu berlaku bagi mereka semuanya.”

++++

Jadi jelaslah, perbedaan awal dan akhir Ramadhan terjadi bukan disebabkan oleh perbedaan mathla’, bukan pula karena perbedaan metodologi, namun lebih disebabkan oleh ego nasionalisme. Tegasnya, lebih karena dalih nasionalisme ketimbang dalil agama. Masing-masing negeri Muslim menetapkan sendiri-sendiri awal dan akhir Ramadhan berdasar hasil perhitungan atau rukyat di wilayah negara itu. Bila tidak terlihat hilal, maka langsung digenapkan, tanpa menunggu hasil rukyat di negara Muslim lain. Padahal penentuan awal dan akhir Ramadhan sesungguhnya melulu berkait erat dengan peredaran bumi, bulan dan matahari. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan dalih batas-batas negara. []

6 comments

  1. Nasionalisme memang ide sesat, racun yang menipu umat Islam, biang perpecahan dan ketidakpedulian sesama muslim krn beda nation. Parah dan fatalnya lagi nasionalisme mendangkalkan aqidah umat, menggelincirkan umat, tidak lagi terikat dengan Qur’an dan Sunnah tetapi terikat dengan Nation nya. Na’udzubillah !

  2. Abang Hendra

    Di bulan puasa saja banyak yang berdalih…apalagi di luar bulan puasa banyak yang berdalih untuk maksiat dan anti Khilafah

  3. Ma`had An-Nur

    Astaghfirullah…lalu apa arti syahadat, doa iftitah dan sholawat yg setiap hari dan setiap saat selalu dibaca dgn gemuruh…..! kalau ternyata lebih banyak berdalih dari pada berdalil dgn ketundukan dan ketulusan hati menghamba kpd Allah Swt.

  4. Saya khawatir, karena ego-nasionalisme, nanti sholat akan dilakukan dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) ^_^, dengan dalih Indonesia adalah satu wilayah hukum…

  5. heee…
    lucu sekali pemimpin negeri ini memberikan alasan yang tidak mencerdaskan (dalih), formalitas dan bataswilayah. jika itu benar2 terucap dari mulut dia maka memang sangat mengecewakan

  6. terus gimana cara menghadapi orang yang terusberdalih namun udah kita patahkan dalihnya tapi dia malah bilang ini ijtihad,,toh klo salah pahalanya 1..padahal makna ijtihad n penggunaannya beda antara kita dengan mereka

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*