Bulan Ramadan kembali ternoda oleh kekerasan dan pembantaian yang dilakukan ekstrimis Budha serta mendapat dukungan pemerintah Myanmar terhadap komunitas muslim Rohingya. Badan PBB urusan pengungsi UNHCR menyebutkan akibat penyerangan yang terjadi sejak bulan Juni lalu, jumlah kaum Muslim yang tewas telah mencapai 20 ribu, sedang ratusan ribuan lagi terpaksa mengungsi. Membaca kutipan di atas, barangkali ada yang berpikiran buat apa susah payah memikirkan umat Islam Rohingya yang berada di luar negeri, memikirkan dapur agar tetap mengepul saja sudah pusing tujuh keliling. Pendapat hampir senada mengatakan bahwa persoalan muslim rohingya adalah persoalan dalam negeri Myanmar, bukan persoalan Indonesia. Jadi, apa pentingya masyarakat Indonesia harus ngotot campur tangan membela muslim rohingya ? Termasuk apakah patut mengecam pemerintah Myamar seperti yang dilakukan sejumlah gerakan Islam beberapa waktu lalu.
Benar kalau ada pendapat yang menyatakan rakyat di negeri ini sedang mengalami krisis multi dimensi. Bahkan, keberkahan bulan ramadan tak cukup sakti menghambat penderitaan masyarakat termasuk di Kalteng yang merintih karena harga sembako yang terdongrak naik, tingkat kriminalitas yang semakin tajam dan keadilan hukum yang hanya sebatas mimpi. Kesedihan rakyat semakin bertambah karena ternyata para pemimpinnya lebih sibuk memikirkan citra diri lewat koleksi gelar, penghargaan dan angka angka statistik yang sejatinya tak memberi dampak lebih baik bagi si miskin. Logika sederhananya, persoalan di depan mata tidak kunjung tuntas, buat apa menambah beban kehidupan dengan persoalan muslim Rohingya nun jauh di sana. Kalaupun ada korban, toh bukan warga negara Indonesia. Kira kira begitu pemikiran yang muncul.
Doktrin nasionalisme menegaskan bahwa cinta tanah air dan kepentingan bangsa di atas segala-galanya. Sehingga, persoalan yang menyangkut kepentingan bangsa dan warga negara Indonesia menjadi paling penting dan prioritas utama jika dibandingkan dengan permasalahan lainnya. Ketika misalnya muncul kasus diskriminasi, kekerasan fisik atau sengketa hukum terhadap warga negara Indonesia di luar negeri, maka negara akan aktif melakukan pembelaan meski yang menjadi korban hanya segelintir orang. Sebaliknya, ketika yang mengalami diskriminasi atau kekerasan bukan warga negara Indonesia-meski beragama Islam- dan sekalipun jumlahnya jutaan orang, hal ini tidak lebih penting ketimbang persoalan dalam negeri. Kalaupun menjadi sorotan, semata mata karena faktor kemanusiaan dan tidak perlu mendapat perhatian ekstra dari pemerintah.
Cinta minus nasionalisme
Islam sebagai agama universal memposisikan hubungan antara sesama muslim dalam ikatan aqidah. Ikatan yang tidak membeda-bedakan suku/etnis dan wilayah geografis. Ikatan luhur yang melintasi provinsi, negara hingga antar benua. Ikatan yang lebih esensi ketimbang HAM dan kemanusiaan. Itulah yang disebut dengan persaudaraan Islam atau lebih dikenal dengan ukhuwah Islamiyah. Menurut Imam Hasan Al Banna, ukhuwah Islamiyah adalah keterikatan hati dan jiwa satu sama lain dengan ikatan aqidah. Sebuah ikatan yang mengakui adanya hubungan spiritual antarsesama atas dasar kalimat tauhid. Konsekuensinya, seperti yang digambarkan Rasulullah SAW bahwa umat Islam seperti satu tubuh, sehingga kalau ada satu bagian tubuh umat yang sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan sakit yang sama. Menjadi jelas, bahwa ukhuwah Islamiyah yang terjalin tidak sebatas solidaritas kemanusiaan. Namun, ada tanggung jawab spiritual dan politis untuk menjamin eksistensi ukhuwah Islamiyah agar tetap hidup dalam setiap sanubari umat Islam dimanapun berada. Tanggung jawab spiritual diwujudkan dalam bentuk aktivitas dakwah amar maruf nahi munkar untuk menjamin pelaksanaan ibadah murni seperti shalat, puasa, zakat dan haji.
Adapun tanggung jawab politis adalah saling setia menjaga darah dan kehormatan kaum muslim dari segala bentuk kezaliman melalui penerapan hukum hukum Allah SWT dalam seluruh aspek kehidupan. Hal ini sekaligus semakin jaminan terpenuhinya keadilan, kesejahteraan dan perlindungan terhadap hak hak syari kaum muslimin di seluruh dunia. Konkretnya, ukhuwah politis mewajibkan seluruh umat Islam untuk bersatu menegakkan Syariah dalam bingkai Khilafah Islamiyah. Sebab, umat Islam adalah ummatan wahidah (umat yang satu). Sehingga, dari sudut pandang ukhuwah Islamiyah, petaka yang dialami kaum muslim Rohingya pada hakikatnya bencana bagi kaum muslim sedunia termasuk di Kalteng. Tangis mereka, tangis kita juga. Derita mereka adalah derita kita. Alhasil, menganggap persoalan kaum muslim rohingya tidak penting adalah salah besar dan harus diluruskan. Mengabaikan masalah ini, sama artinya dengan merusak ukhuwah dan mencemari aqidah seorang muslim. Sebaliknya, setiap muslim dimanapun berada harus memandang persoalan ini sebagai masalah serius karena menyangkut aqidah dan tanggung jawab ukhuwah.
Islam sebagai agama penutup berfungsi untuk menghapus risalah terdahulu. Termasuk menghapus segala bentuk ukhuwah jahiliyah yang tidak sejalan dengan ajaran Islam seperti ikatan kesukuan, keturunan termasuk ukhuwah wathoniyah (ikatan kebangsaan). Umat Islam memang semestinya cinta terhadap Indonesia sebagai bumi milik Allah yang dikaruniai keindahan dan kekayaan sumber daya alam. Tetapi, bukan cinta buta yang menempatkan Indonesia di atas segala galanya karena bertentangan dengan aqidah yang menempatkan kecintaan terhadap Indonesia tunduk kepada perintah Allah dan RasulNYA. Menurut Islam, cinta yang benar adalah cinta atas dasar ukhuwah Islamiyah atau cinta minus nasionalisme.
Pada titik ini, paham nasionalisme yang diadopsi bangsa ini dan negeri negeri muslim lainnya patut mendapat kritik tajam. Bagaimanapun juga, paham nasionalisme telah menjadikan kaum muslim termasuk di Indonesia tepecah lebih dari 50 negara dan abai terhadap nasib saudara seiman di negeri negeri lain seperti Irak, Afghanistan dan Palestina. Bukankah kaum muslim di Rohingya berada di tengah tengah negeri negeri Islam seperti Indonesia Malaysia dan Brunai Darussalam. Tapi, apa yang bisa diperbuat para pemimpin negeri Islam tersebut untuk menghentikan pembantaian terhadap umat Islam Rohingya ? Apa yang dilakukan jutaan tentara negeri negeri muslim beserta persenjataan yang canggih untuk menghentikan kekerasan terhadap saudara seiman yang terjadi di negara miskin seperti Myanmar ? Tidak ada selain retorika lisan dan tulisan yang tidak akan memberi dampak apapun.
Selain itu, paham nasionalisme lewat penerapan otonomi daerah seperti di Kalteng secara tidak langsung menumbuhsuburkan paham kesukuan yang justru semakin memperlemah kekuatan dan persatuan umat Islam. Padahal, Islam secara jelas menyatakan bahwa yang paling mulia di sisi Allah SWT adalah hamba yang paling bertakwa dan bukan karena keturunan, suku atau bangsa. Bukankah kita tidak pernah bisa memilih dari ibu kandung bersuku apa kita harus dilahirkan ? atau di kota mana kita harus lahir ? Keragaman suku/etnis yang terjadi merupakan kehendak Allah SWT agar kita dapat saling mengenal dan bukan untuk semakin berbeda atau bermusuhan.
Kembali pada Khilafah
Sebagai penutup, menarik apa yang diungkapkan dalam editorial laman Hizbut Tahrir Indonesia. Dalam salah satu paragrafnya menyatakan secara lugas bahwa umat Islam membutuhkan Khalifah yang membuat keputusan politik dengan mengirimkan tentara menyelamatkan negeri Islam. Tanpa dibatasi oleh kebangsaan, warna kulit, atau ras. Tanpa menunggu perintah PBB yang menjadi alat penjajah Barat. Bergerak karena disatukan oleh akidah Islam dan perintah Allah SWT untuk berjihad. Dengan Khilafah, musuh-musuh Allah tidak akan memandang remeh umat Islam seperti sekarang. Umat dibantai, bahkan oleh negara-negara lemah dan miskin seperti Myanmar.
Siapapun yang melakukan pembunuhan terhadap umat Islam—meskipun satu orang—akan berhadapan dengan negara Khilafah yang kuat. Inilah yang dilakukan oleh Khalifah al Mu’tashim ketika mendengar seruan minta tolong dari seorang Muslimah yang dinodai kehormatannya oleh tentara Romawi. Al-Qalqasyandi, dalam kitabnya, Ma’atsiru al-Inafah, menjelaskan salah satu sebab penaklukan kota Ammuriyah pada 17 Ramadhan 223 H. Diceritakan, penguasa ‘Amuriyah, salah seorang Raja Romawi, telah menawan wanita mulia keturunan Fathimah -Radhiyallahu ‘anha. Wanita itu disiksa, lalu berteriak, “Wahai Mu’tashim!” Raja Romawi pun berkata kepadanya, “Tidak akan ada yang membebaskanmu, kecuali menaiki bebarapa balaq (kuda yang mempunyai warna hitam-putih).”
Jeritan itu pun sampai kepada Khalifah al-Mu’tashim. Lalu dia mengomando pasukannya untuk mengendarai kuda balaq. Dia pun keluar, memimpin di depan pasukannya, dengan 4.000 balaq, tiba di Amuriyah dan menaklukkannya. Dia membebaskan wanita mulia tersebut, dan berkata, “Jadilah saksi untukku di depan kakekmu (Nabi Muhammad SAW), bahwa aku telah datang untuk membebaskanmu. Dengan memimpin pasukanku, yang terdiri dari 4.000 balaq.” Dengan tentara itu, kota Amuriyah ditaklukkan, kehormatan seorang Muslimah dibela, ribuan tentara Romawi dibunuh dan ditawan. (www.hizbut-tahrir.or.id) So, masihkah ada sekeping hati untuk Rohingya ? (Harian Borneonews, Senin, 6 Agustus 2012)
(Muhammad A.S /Mantan Kord Kampus Gerakan Mahasiswa Pembebasan STTL YLH Yogyakarta Tinggal di Pangkalan Bun, Kalteng)