Menjadikan Mudik Lebih Bermakna, Bukan Sebatas Budaya

Idul Fitri sebentar lagi. Banyak umat Islam di tanah air  yang biasa merayakannya dengan pulang kampung, bertemu keluarga, orang tua dan saudara  dengan perasaan senang bercampur haru. Sungguh sebuah kegembiraan yang tak tergantikan dengan apapun. Ada yang rela menghabiskan uang untuk membeli tiket yang harganya naik berlipat-lipat. Ada yang menghabiskan waktu perjalanan di  bis, kereta, kapal semalaman bahkan kadang ada yang berhari-hari untuk sampai di tempat tujuan. Tak terbayangkan bukan, betapa melelahkannya berbagai aktivitas mudik ini dan berapa rupiah uang yang dihabiskan untuk budaya ini, bahkan ada yang sampai berhutang sekedar untuk biaya mudik dan berlebaran di kampung halaman.

Mudik, bertemu dengan kerabat, menjalin hubungan baik dengan mereka  adalah bagian dari silaturahim yang diperintahkan Allah dan RasulNya. Abu Ayyub al Anshari ra menuturkan “Seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah saw “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku perbuatan yang dapat memasukkanku ke dalam surga’. Orang-orang berkata, “Ada apa dengannya, ada apa dengannya?” Rasulullah saw bersabda “Bukankah Tuhan bersamanya?” kemudian beliau melanjutkan “Engkau menyembah kepada Allah dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatupun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menjalin silaturahim” (HR Bukhari).

Islam sangat mencela orang yang memutuskan hubungan silaturahim. Rasulullah SAW pernah  bersabda “Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan silaturahim” (HR Muslim melalui sanad Jubair bin Muth’im). Upaya  menghubungkan tali silaturahim adalah amalan yang sangat mulia. Anas bin Malik menuturkan bahwa Rasulullah saw bersabda “Siapa saja yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan usianya, hendaklah ia menghubungkan tali silaturahimnya“.  Menghubungkan tali silaturahim yang dimaksud di hadist ini adalah dengan kerabat yang sudah putus silaturahim. Ini dipahami dari sabda  Rasulullah SAW  “Bukanlah orang yang menghubungkan tali silaturahim itu adalah yang membalas hubungan baik. Akan tetapi, orang yang menghubungkan tali silaturahim itu adalah orang yang ketika diputuskan silaturahimnya, dia menyambungkan kembali hubungan itu(HR Bukhari, dari jalur sanad Abdullah bin ‘Amr)

Hadist- hadist di atas menunjukkan perintah  untuk menjalin silaturahim. Silaturahim seharusnya dilakukan kepada seluruh kerabat. Islam telah menjadikan kerabat ada dua macam  : Pertama, Kerabat yang mewarisi seseorang jika orang tersebut meninggal. Yang termasuk di sini adalah orang yang berhak mendapatkan warisan (ashhabul furudh) dan para ‘ashabah. Ke dua, Kerabat yang hanya memiliki hubungan silaturahim (dzawil arham) dan tidak  mendapatkan warisan. Allah SWT memerintahkan untuk menjalin hubungan silaturahim dan berbuat kebaikan kepada mereka semua..

Menjalin silaturahim  dengan kerabat juga mencakup memberikan sebagian harta kita kepada mereka. Jabir RA menuturkan bahwa Nabi saw pernah bersabda “jika seseorang di antara kalian fakir, maka hendaklah ia memulai (nafkah) kepada dirinya sendiri, jika ia memiliki kelebihan hendaknya ia memberikannya kepada keluarganya, dan jika ia masih memiliki kelebihan, hendaknya ia memberikannya kepada kerabatnya” (HR Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah).

Jelas sudah bahwa kita diperintahkan untuk menjalin silaturahim kepada kerabat. Pemahaman masyarakat saat ini tentang makna silaturahim sebagai menjalin hubungan baik dengan teman, tetangga, rekan kerja, atau bahkan kepada orang non muslim (yang tidak ada hubungan kerabat) adalah menyimpang dari anjuran  Islam. Menjalin hubungan baik dengan sesama muslim memang diperintahkan dalam Islam tetapi bukan dalam rangka menjalin silaturahim tetapi  menjalin persaudaraan sesama muslim (shilah ukhuwah).

Dengan demikian, maka budaya mudik untuk bertemu  kerabat, kemudian saling memberi hadiah atau oleh-oleh dll adalah suatu aktivitas kebaikan yang bernilai ibadah karena termasuk dalam cakupan menjalin silaturahim. Hanya saja, agar mudik ini lebih bermakna, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan yaitu :

1.      Memilih cara mudik yang aman dan nyaman.

Silaturahim bisa dilakukan kapan saja, tidak hanya saat lebaran sehingga tidak perlu memaksakan mudik. Pilihlah alat transportasi yang terjangkau tetapi juga aman dan nyaman. Jika tidak memungkinkan, maka akan lebih baik kita menunda mudik,  menunggu arus mudik lebih longgar.  Keinginan mudik yang begitu besar, tanpa didukung kondisi ekonomi yang memadai banyak  mendorong orang untuk nekat mudik dengan alat transportasi seadanya. Dan hasilnya, justru kesedihan dan berbagai musibah bahkan bisa kehilangan orang-orang tercinta.

2.      Mengupayakan perjalanan mudik selalu dalam  kondisi takwa

Mudik dalam rangka menjalin silaturahim tentu sebuah aktivitas ibadah dan sebuah perbuatan mulia sehingga seharusnya disertai dengan perbuatan mulia lainnya. Sangat disayangkan banyak para pemudik yang  melakukan kemaksiyatan  dalam perjalanan mudik.  Mereka  singgah di masjid-masjid di sepanjang perjalanan, hanya untuk istirahat saja tanpa berkeinginan untuk shalat.  Masjid-masjid penuh sesak, tapi hanya beberapa saja yang shalat.

Penjual makanan pada berdempetan di sekitar masjid, transaksi pun terjadi, dan orang pun biasa saja makan dan minum seolah bukan dilakukan pada bulan puasa. Memang, bagi yang sedang dalam perjalanan jauh (dengan jarak safar), ada keringanan untuk tidak berpuasa. Tapi bukankah akan lebih baik jika pun tak berpuasa, mereka tidak makan dan minum di tempat-tempat umum? Toh di sana banyak juga orang yang berpuasa, yang seharusnya dihormati dengan tidak makan dan minum di hadapannya?

3.      Menyiapkan dana dengan sebaik-baiknya

Mudik membutuhkan dana yang harus disiapkan dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai kita menggunakan harta yang haram misalnya harta yang didapatkan dari berhutang dengan riba, atau melakukan berbagai aktivitas yang terkait dengan riba, atau pekerjaan haram lainnya.  Jangan sampai kita memberi makanan atau hadiah dari sesuatu yang haram kepada keluarga dan kerabat tercinta karena sama saja kita menyiapkan api neraka untuk mereka.  Pengelolaan dana mudik yang baik juga harus kita lakukan karena akan menghindarkan kita dari kedzaliman. Jangan sampai uang dihabiskan semua untuk mudik, sehingga ketika mudik usai uangpun selesai, nafkah keluarga pun terbengkalai.

4.      Memilih kegiatan berlebaran yang tepat dan tidak berbalut maksiyat

Hari raya adalah saat yang ditunggu untuk bertemu dengan kerabat sehingga sebaiknya digunakan untuk acara keluarga. Inilah saat yang tepat untuk saling menanyakan kabar, berbagi cerita, berdiskusi  mencari solusi jika ada masalah dalam keluarga, makan dan minum bersama termasuk berbagi hadiah jika memang ada dll. Sungguh saat-saat yang sangat indah dan menyenangkan. Kita bisa saling menasihati untuk melakukan berbagai kebaikan dan mencegah dari keburukan.

Berlebaran dengan saling berkunjung ke kerabat  saat ini mulai agak tergeser dengan tren berlebaran dengan pergi ke tempat wisata.  Tentu ini sangat disayangkan sekalipun sebenarnya boleh-boleh saja mengajak keluarga ke tempat wisata.  Mengunjungi  kerabat baik dekat maupun jauh untuk menjalin silaturahmi tentu jauh lebih bernilai  daripada pergi berwisata.

Lagi pula, pergi ke tempat wisata sering melalaikan seseorang dari ketaatan kepada Allah SWT. Yang sering didapatkan dari berwisata adalah rasa  capek dan habisnya uang. Shalat, tak jarang terlupakan. Kalau pun ingat shalat, sulit juga  melakukannya karena biasanya fasilitas shalat di tempat wisata sangat tidak memadai. Bahkan banyak   tempat-tempat wisata yang dibalut kemaksiatan.  Misalnya pantai atau kolam renang yang banyak dipenuhi  dengan orang berpakaian minim bahkan hampir telanjang, bercampur baur di satu tempat, dengan berbagai aktivitas yang tak layak dilakukan di depan umum seperti berpelukan laki-laki dan perempuan, bercengkerama, berpacaran dll.  Lebaran berbalut maksiyat…….sungguh menyedihkan……..

Inilah  bukti derasnya  arus sekulerisasi dan liberalisasi    yang telah mengubah gaya hidup, pola pikir dan pola sikap islami yang seharusnya dimiliki oleh umat muslim. Baru sehari atau dua hari  meninggalkan bulan Ramadhan yang penuh dengan suasana takwa, mereka sudah kembali kepada suasana sekuleristik. Yaitu suasana yang mendorong umat memisahkan agama dari kehidupan mereka. Taat kepada Allah dianggap cukup dilakukan di bulan Ramadhan saja. Usai Ramadhan, banyak  muslim kembali larut dalam arus kejahiliyahan. Mereka kembali kepada pemikiran liberalisme yang mengagungkan kebebasan. Tak peduli lagi dengan halal haram. Lepas, bebas tanpa kendali syariat. Inikah hasil dari puasa sebulan penuh yang telah mereka lakukan? Begitu puasa usai, ketaatan pun selesai.

Inilah  yang  akan menuai penghidupan yang sempit  di dunia dan dilupakan Allah kelak  di akhirat sebagaimana firmanNya

“Dan barang siapa berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia; Ya Tuhanku mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta padahal aku dulunya seorang yang melihat? Allah berfirman : “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan”(QS Thaahaa [20] : 124)

Saatnya bagi kita sekarang untuk merenung, akankah hal ini terulang setiap tahun? Mari kita jadikan mudik yang sudah seperti ritual tahunan umat Islam Indonesia ini  lebih bermakna dengan meniatkannya untuk menjalin silaturahim yang diperintahkan Allah dan RasulNya. Menjalankannya dengan penuh suasana takwa, bukan  semata-mata untuk bersenang-senang. Dan yang terpenting, senantiasa terikat dengan semua aturan Islam dalam perjalanan mudik  maupun berbagai kegiatan dan acara keluarga yang digelar saat mudik.

Hanya saja,  mudik dengan  suasana takwa tak mungkin bisa dilakukan secara individu saja. Kita juga butuh masyarakat dan negara yang  menjaga  takwa. Yaitu masyarakat dan negara yang berdiri di atas akidah Islam dan menjadikan syariat Islam sebagai satu-satunya aturan yang diterapkan. Inilah yang akan menciptakan suasana takwa di masyarakat yang  akan memudahkan kita untuk selalu  takwa di manapun kita berada, baik di perjalanan mudik maupun ketika sampai di kampung halaman hingga kembali lagi ke rumah. Oleh karena itu kita memang harus mengubah masyarakat dan negara kufur saat ini  menjadi  masyarakat dan negara  berasaskan Islam yaitu Daulah Khilafah Islamiyah. Hanya Khilafah Islamiyah lah yang bisa  mewujudkan sekaligus menjaga ketakwaan secara berjamaah. Mudik akan lebih bermakna, ketika Khilafah Islamiyah telah tegak dan syariat  Islam telah sempurna penerapannya. Insya Allah (WN)

2 comments

  1. SubhanaLLAH,
    Betul betul betul..!

  2. subhanallah .. setuju banget.. momen mudik justru diupayakan maksimal untuk memahamkan Islam ke keluarga besar, hanya bisa dicapai dengan persiapan matang seperti yang telah diutarakan diatas..

    alhamdulillah tampilan web HT jauh lebih nyaman dibaca dan lebih mudah untuk loadingnya..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*