Kita sering mendengar ada tokoh Muslim dan Sekular menggunakan fatwa Ibn Taimiyyah untuk menjustifikasi keabsahan penguasa Kafir, dan sistem Kufur. Terbaru, ada tokoh Muslim, yang menyatakan pandangan serupa. Meski ini bukan hal baru, tetapi wacana ini tetap harus didudukkan secara obyektif dan porporsional. Karena itu, penting untuk melihat dan mendudukkan fatwa Ibn Taimiyyah tersebut dengan jujur dan akurat, sebagaimana yang beliau maksudkan.
Redaksi Fatwa Ibn Taimiyyah
Fatwa yang dimaksud tertuang dalam kitab beliau, Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyyah (Juz XXVIII/121). Bunyi lengkap fatwa tersebut sebagai berikut:
(ولهذا كانت الذنوب ثلاثة أقسام: أحدها: ما فيها ظلم للناس؛ كالظلم بأخذ الأموال ومنع الحقوق؛ والحسد ونحو ذلك. والثاني: ما فيه ظلم للنفس فقط، كشرب الخمر والزنا؛ إذا لم يتعد ضررهما. والثالث: ما يجتمع فيه الأمران؛ مثل أن يأخذ المتولي أموال الناس يزنى بها ويشرب بها الخمر.…وقد قال الله تعالى: ﴿قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْىَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُواْ بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَـناً وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللَّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ﴾ [الأعراف: 33].
وأمور الناس تستقيم في الدنيا مع العدل الذي فيه الاشتراك في أنواع الإثم: أكثر مما تستقيم مع الظلم في الحقوق وإن لم تشترك في إثم؛ ولهذا قيل: إن الله يقيم الدولة العادلة وإن كانت كافرة؛ ولا يقيم الظالمة وإن كانت مسلمة. ويقال: الدنيا تدوم مع العدل والكفر، ولا تدوم مع الظلم والإسلام. وقد قال النبـي صلى الله عليه وسلّم: «ليس ذنب أسرع عقوبة من البغي وقطيعة الرحم»؛ فالباغي يصرع في الدنيا وإن كان مغفوراً له مرحوماً في الآخرة، وذلك أن العدل نظام كل شيء؛ فإذا أقيم أمر الدنيا بعدل قامت وإن لم يكن لصاحبها في الآخرة من خلاق، ومتى لم تقم بعدل مل تقم وإن كان لصاحبها من الايمان ما يجزى به في الآخرة).
(Karena itu, dosa bisa diklasifikasikan menjadi tiga macam: Pertama, dosa yang mengandung kezaliman kepada manusia. Seperti kezaliman dengan mengambil harta, menghalangi hak orang, dengki, dan sebagainya. Kedua, dosa yang hanya mengandung kezaliman kepada diri sendiri, seperti minum khamer dan zina, jika bahayanya tidak menimpa orang lain. Ketiga, dosa yang mengandung kedua-duanya, seperti orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan mengambil harta orang, yang harta tersebut dia gunakan berzina, dan dia gunakan minum khamer… Allah SWT telah berfirman:
“Katakanlah, ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.s. al-A’raf [07]: 33)
Urusan manusia di dunia ini akan tetap lurus bersama keadilan yang disertai dengan berbagai macam dosa, lebih lurus ketimbang urusan tersebut bersama kezaliman dalam hak, meski tidak disertai dengan satu pun dosa. Karena itu, ada yang mengatakan, “Sesungguhnya Allah akan menegakkan negara yang adil, sekalipun (negara itu) Kafir. Dan Dia tidak akan menegakkan negara yang zalim, sekalipun (negara itu) Islam.” Ada juga yang mengatakan, “Dunia akan tetap bertahan bersama keadilan dan kekufuran, dan tidak akan bertahan bersama kezaliman dan Islam.” Nabi saw telah bersabda:
“Tidak ada satu pun dosa yang lebih cepat dikenai siksa ketimbang kezaliman dan memutus hubungan kekerabatan.”
Orang zalim di dunia akan dilawan, meski di akhirat diampuni dan mendapatkan rahmat (belas kasih Allah). Itu karena keadilan merupakan aturan segala hal. Jika urusan dunia ditegakkan dengan adil, maka dunia tetap akan tegak, meski di akhirat orangnya tidak beruntung. Selama tidak ditegakkan dengan adil, maka dunia tidak akan tegak, meski orangnya beriman, dan di akhirat mendapatkan balasan atas keimanannya).
Jadi, pendapat yang menyatakan, “Sesungguhnya Allah akan menegakkan negara yang adil, sekalipun (negara itu) Kafir. Dan Dia tidak akan menegakkan negara yang zalim, sekalipun (negara itu) Islam.” Sebenarnya bukan pendapat Ibn Taimiyyah. Beliau hanya mengutip pendapat orang lain, “Karena itu, ada yang mengatakan..” untuk menjelaskan pandangan beliau tentang tiga kategori dan muatan dosa manusia.
Selain itu, penjelasan ini juga tidak menjelaskan apapun tentang sikap beliau tentang keabsahan bentuk negara Kafir yang penting adil, atau penguasa Kafir yang penting adil. Karena ini hanya menjelaskan tentang fakta keadilan dan kezaliman, dan dampaknya terhadap kehidupan umat manusia. Secara faktual, memang ada negara Kafir dan negara Islam. Di dunia ini, masing-masing sama-sama berdiri. Negara Kafir yang berlaku adil kepada rakyatnya akan tetap berdiri, sebaliknya negara Islam yang zalim kepada rakyatnya akan runtuh. Jadi, ini hanya menjelaskan fakta keadilan dan kezaliman, serta dampaknya dalam kehidupan umat manusia.
Keadilan-Kezaliman Menurut Islam dan Kufur
Batasan “adil” dan “zalim” sendiri, termasuk dalam kategori perkara yang muwafaqah wa munafarah li fithrati al-insan (sejalan [untuk adil] dan bertentangan [untuk zalim] dengan fitrah manusia). Menurut al-Iji maupun ulama’ lain, termasuk dalam kategori perkara yang bisa diputuskan oleh akal manusia, tanpa melihat Muslim atau Kafir, jika dilihat dari aspek sesuai dan tidaknya keadilan dan kezaliman tersebut dengan fitrah manusia. Dengan kata lain, siapapun orangnya dan apapun agamanya pasti akan setuju dengan keadilan, dan menolak kezaliman. Itulah fitrah manusia.
Hanya saja, keadilan ini akan sempurna jika syariat Islam diterapkan. Karena syariat yang diturunkan oleh Allah ini mengandung aturan yang menjamin keadilan yang sempurna, kebijaksaan dan kebaikan yang tiada tara. Itulah mengapa, Emperium Persia bisa bertahan ratusan tahun karena keadilan nisbi yang diterapkan kepada rakyatnya. Namun, ketika keadilan Islam hadir yang tercermin pada kepemimpinan ‘Umar bin al-Khatthab, kemudian kekuasaannya meliputi wilayah Persia, maka keadilan Islam dalam semalam bisa membuat mereka melupakan keadilan Persia ratusan tahun sebelumnya.
Jika kita hendak membuat perbandingan, maka harus dibuat gambaran paling sempurna, ketika syariat Islam diterapkan secara utuh, yang dengannya keadilan tersebut benar-benar terwujud dengan sempurna. Demikian sebaliknya, keadilan tersebut berbeda kadarnya seiring dengan perbedaan dalam menerapkan syariatnya. Bahkan, terkadang Islam diterapkan dengan cara yang salah, sehingga keadilannya pun tidak tampak.
Jadi, penjelasan Ibn Taimiyyah di atas, sebenarnya dalam konteks amar makruf dan nahi munkar, juga dalam membahas kategori dan muatan dosa yang dilakukan oleh manusia. Penjelasan tersebut sebenarnya untuk mendorong keadilan, mencegah kezaliman dan bagaimana dampak keduanya terhadap kehidupan umat manusia. Dampaknya, keadilan akan menyebabkan tegak dan kokohnya negara. Sebaliknya, kezaliman akan menyebabkan runtuh dan rapuhnya negara. Apapun negaranya, baik negara Islam maupun Kafir.
Penjelasan beliau juga tidak untuk menjustifikasi sistem Kufur, atau penguasa Kafir. Karena jika dipahami demikian, tentu ini akan kontradiksi dengan penjelasan beliau dalam kitabnya yang lain. Dalam kitab as-Siyasah as-Syar’iyyah, beliau menyatakan:
وإن انفرد السلطان عن الدين، أو الدين عن السلطان فسدت أحوال الناس، وإنما يمتاز أهل طاعة الله عن أهل معصيته، بالنية والعمل الصالح.
“Jika kekuasaan terpisah dari agama, atau agama terpisah dari kekuasaan, maka keadaan manusia akan rusak. Ahli tha’at itu hanya bisa dibedakan dengan ahli maksiat berdasarkan niat dan amal shalihnya.”
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas nyata sekali, bahwa menyatakan “tidak ada masalah, apakah pemimpin itu Muslim atau non-Muslim, yang penting adil” jelas keliru. Karena kriteria pemimpin harus Muslim, jelas telah dinyatakan dalam nas al-Qur’an (Q.s. an-Nisa’ [04]: 141).
Demikian juga, pernyataan yang menyatakan, “tidak ada masalah sistem apapun, atau bentuk negara apapun, yang penting adil. Ketimbang negara Islam, tetapi tidak adil.” Pernyataan ini juga keliru, karena kita jelas-jelas diperintahkan untuk menegakkan negara yang benar-benar menerapkan Islam secara kaffah, yang dengannya keadilan akan terwujud dengan sempurna. Itulah yang disebut sebagai as-siyasah as-syar’iyyah (politik syariah) oleh Ibn Taimiyyah, atau al-Ahkam as-Syar’iyyah oleh al-Mawardi.
Jadi, sistem Islam wajib, pemimpin Muslim juga wajib. Bukan hanya pemimpinnya saja yang Muslim, tetapi sistemnya Kufur, atau sistemnya Islam, tetapi pemimpinnya Kafir. Dua-duanya harus dipastikan, sama-sama Islam. Itulah syarat minimal yang akan menjamin tegaknya keadilan. Wallahu a’lam.
Membajak fatwa Ibnu Taimiyyah adalah hal bodoh yang dilakukan oleh ulama pengekor penguasa untuk membela rezim diktator, itu semua merupakan perbuatan nista dimata Allah.
Memang syarat mutlak kesejahteraan dunia ini adalah diatur oleh sistem islam yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang bertaqwa…
Inilah yang harus bersama-sama kita perjuangkan…
Ilmu baru…
Semoga bermanfaat…
ulama su’u bergentayangan demi sedikit uang
Allahu Akbar, benar akhi, banyak ulama dan Ustad, yang ASBUN. demi kepentingan perut.
orang yang melakukan pembajakan itu tidak lain orang yang mengidap penyakit kronis hati……berupa penyakit wahn, hubbu-uddun ya wa karohiyatul maut
begitulah cara mereka yang sedikit berilmu mencari dalih pembenaran atas kesesatan yang ia lakukan.
mungkin karena tuakutnya kepada tuannya hingga ia lipakan Tuhannya.
Jadi, tentu keliru besar apa yang dikampanyekan para ulama agar memilih pemimpin muslim dalam pilkada DKI dari pada kandidat yang non muslim. Sebab, yang diperlukan adalah pemimpin yang muslim dan menegakkan sistem Islam. Saatnya kaum muslim menegakkan khilafah!!
mereka menjual ayat allah dengan harga murah (dunia)
“Itulah yang disebut sebagai as-siyasah as-syar’iyyah (politik syariah) oleh Ibn Taimiyyah, atau al-Ahkam as-Syar’iyyah oleh al-Mawardi.” Nama kitab Imam al Mawardi itu al ahkam as syar’iyah atau al ahkam al sulthaniyah? mhn klarifikasi