Anak Berlaku Kriminal, Salah Siapa?

Salah jika memosisikan mereka layaknya kanak-kanak, sehingga setiap perilakunya ditoleransi.

Kecil-kecil jadi penjahat. Itulah fenomena yang terjadi saat ini. Semakin banyak anak terjerumus dalam perilaku kriminal. Bahkan usianya makin dini dengan tingkat kejahatan makin keji. Seperti kasus pembunuhan ayah-anak di Bojonggede, Bogor, Rabu (18/7/2012). Publik terkejut, bukan hanya karena cerita tragisnya, melainkan karena salah satu pelaku tindakan sadis itu adalah remaja berusia 14 tahun.

Menanggapi peristiwa itu, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait menegaskan, faktor utama anak melakukan tindakan keji adalah ekonomi. “Kebetulan si A ini anak pemulung,” ujarnya kepada Kompas.com, Jumat (20/7/2012).

Menurut pengalamannya, selain faktor ekonomi, anak melakukan tindakan sadis karena ketergantungan obat-obatan dan kesenjangan sosial yang tinggi di masyarakat. Ia pun meminta ketiga faktor itu turut menjadi pertimbangan pihak kepolisian dalam memproses kasusnya. “Anak ini justru harus ditempatkan sebagai korban. Polisi harus hati-hati menerapkan pasal kepada si anak. Hukuman berat harus diberikan ke orang-orang dewasa yang memengaruhi sang anak karena mereka melakukan tindakan perencanaan,” lanjutnya.

Komnas PA sendiri mencatat, ada 2.008 kasus kriminalitas yang dilakukan anak usia sekolah sepanjang kuartal pertama 2012. Jumlah itu meliputi berbagai jenis kejahatan seperti pencurian, tawuran, dan pelecehan seksual yang dilakukan siswa SD hingga SMA. Angka itu meningkat setiap tahun. Jika 2010 terjadi 2.413 kasus kriminal anak usia sekolah, 2011 yakni sebanyak 2.508 kasus.

 

Menggugat Definisi Anak

Dalam persepsi hukum positif saat ini, yakni UU Perlindungan Anak, anak didefinisikan mereka yang berusia kurang dari 18 tahun. Definisi ini sejatinya bertentangan dengan fakta di lapangan. Terbukti saat ini usia 13-18 tahun itu sudah membentuk sosok tak ubahnya seperti orang dewasa, karena memang mayoritas usia segitu–bahkan lebih rendah lagi—sudah mengalami pubertas sebagai tanda-tanda peralihan dari masa anak-anak menjadi dewasa. Salah jika memosisikan mereka layaknya kanak-kanak, sehingga setiap perilakunya ditoleransi. Berlaku kejahatanpun dibela dengan memosisikan mereka sebagai korban.

Adapun kondisi yang melatarbelakangi kejahatan anak, seperti himpitan ekonomi, rendahnya pendidikan, kurangnya perhatian ortu dll, bisa dituntaskan oleh negara dengan mekanisme penerapan sistem yang mampu memenuhi itu semua.

Bukan dengan menghukum ringan pelaku kejahatan, atau bahkan memaafkannya sama sekali. Bersikap lunak terhadap perilaku kriminal hanya akan menjadi preseden buruk bagi ‘anak’ lain dan masyarakat pada umumnya. Bisa jadi, ‘anak’ akan semakin merasa tidak bersalah berbuat jahat, bahkan dengan derajat lebih sadis (‘anak’ yang dimaksud sejatinya sosok dewasa yang ditandai baligh tadi).

Sanksi dalam Islam

Islam tegas memisahkan anak dan dewasa, yakni dibatasi dengan tanda-tanda pubertas/baligh.

Di dalam Islam, seorang anak—berarti belum baligh—yang berbuat kejahatan, hakikatnya tidak dikenai hukuman, kecuali berkaitan dengan hukuman-hukuman tertentu yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT. Misalnya, jika anak belum shalat meski usianya telah 10 tahun, dihukum berupa pukulan. Syaratnya, pukulan yang tidak mematikan (HR Ahmad, Tirmidzi, Thabrani dan Hakim).

Dalam hal ini, keluarga khususnya, memiliki tanggung jawab dalam mendidik anak agar tidak berlaku kriminal. Karena itu, jika anak berlaku kriminal, orang tuanyalah yang layak dikenai sanksi. Sementara anaknya wajib dibina/dididik.

Adapun setelah baligh, berapapun usianya wajib terkena beban hukum. Memang, usia baligh ini relatif. Kadang 13 tahun, kadang 15 tahun. Menurut Imam Syafi’i, jika seorang anak tak kunjung menampakkan tanda-tanda baligh hingga umur 15 tahun, maka pada usia itu itu dia sudah bisa dikatakan dewasa.

Tanda-tanda baligh itu antara lain ihtilam (bagi laki-laki) atau haidh bagi perempuan. Selain itu, diikuti perubahan fisik, misal pada anak laki-laki: muncul jakun, suara agak berat, dan tumbuh bulu di mana-mana (terutama kumis, janggut, bulu ketiak, dan juga di daerah seputar kemaluan). Wanita juga sama. Secara fisik payudaranya tumbuh dan bulu-bulu kecuali janggut dan kumis.

Nah, konsekuensi baligh adalah mulai terbebani dengan hukum syara. ‘Baligh’ diambil dari  bahasa Arab yang secara bahasa memiliki arti ‘sampai’, maksudnya ‘telah sampainya usia seseorang pada tahap kedewasaan’.

Sedangkan menurut makna terminologis, al bulugh adalah habisnya masa kanak-kanak. Jadi, ketika melakukan tindak kejahatan, si baligh ini dihukum setimpal layaknya orang dewasa pada umumnya. Allah SWT berfirman: “Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh (al hulum=mimpi), maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin”.  (TQS. An-Nur[24]:59)

Dengan demikian, begitu anak baligh, ia bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan seluruh perbuatannya. Ini sangat erat kaitannya dengan proses pendidikan dalam Islam, di mana pada dasarnya mengarahkan anak agar dewasa secara pemikiran (aqil) seiring dengan kedewasaannya secara biologis (baligh).

Sayang, sistem yang diterapkan saat ini bukan sistem Islam, termasuk sistem pendidikannya. Akibatnya, ketika anak menapak usia baligh, belum memiliki kedewasaan berpikir untuk bertanggung jawab terhadap perilakunya. Parahnya, hal itu diamini oleh Undang-undang Perlindungan Anak yang sarat dengan nilai-nilai sekuler-liberal, dimana toleransi tinggi diberikan pada ‘anak’, sekalipun berlaku kejahatan.

Tanggung Jawab Negara

Tak hanya keluarga, masyarakat dan negara bertanggung jawab terhadap maraknya kriminalitas anak-anak saat ini. Tingkat tanggung jawabnya bertambah dan puncaknya berada di negara. Menyerahkan pendidikan anak kepada keluarga saja tak cukup di tengah kondisi sistem sekuler saat ini yang tidak melindungi anak-anak dari tindak kejahatan dan berbuat jahat, malah memotivasi anak menjadi pelaku kejahatan.

Dalam pandangan Islam, negara adalah satu-satunya institusi yang dapat melindungi anak dan mengatasi persoalan kejahatan anak ini secara sempurna. Ini karena Islam telah menjadikan berbagai hukum yang menjauhkan anak dari tindak kriminal dan mewajibkan negara untuk menerapkan hukum tersebut.

Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya imam itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim). Sabda lainnya: “Imam adalah pengurus dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad)

Islam mewajibkan negara untuk menjamin setiap warganegara dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti makan, pakaian, tempat tinggal, kesehatan dan pendidikan. Dengan jaminan seperti ini, para ayah diberikan kesempatan kerja untuk mencukupi nafkah keluarga.  Para ibu dikembalikan kepada fungsi utamanya sebagai pendidik anak-anak di rumah sehingga bisa berkonsentrasi mencetak anak-anak yang berkualitas.

Negara menciptakan sistem yang mampu menyiapkan anak, di mana ketika baligh siap memikul beban hukum, sehingga bisa memilih dan memilah mana tindakan terpuji/kebaikan, dan mana tindakan tercela/kejahatan. Hanya sistem inilah yang mampu mencegah siapapun, tak terkecuali anak-anak menjadi pelaku kriminal.(kholda)

 

 

 

 

One comment

  1. semua yang anak lakukan itu tidak terlepas dari peran orang tuanya dalam mengawasi saat bermain setiap harinya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*