EVALUASI Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terhadap 57 daerah pemekaran baru selama 1999-2010 menunjukkan sebanyak 78% gagal menyejahterakan warga.
Ke-44 daerah gagal tersebut diberi nilai rendah karena tidak mempunyai kapasitas untuk memekarkan diri sehingga tidak mampu mengerem arus urbanisasi masyarakat untuk mengais rezeki ke kota besar.
Demikian penegasan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan menanggapi semakin banyaknya warga daerah menyerbu kota-kota besar terutama pasca-Lebaran. Pada rentang waktu 1999-2010 terdapat 205 daerah pemekaran baru.
“Harus diakui, banyak daerah pemekaran yang muncul di era desentralisasi gagal mengangkat tingkat perekonomian masyarakat lokal,” kata Djohermansyah, kemarin.
Evaluasi yang dilakukan pada 2011 itu terutama difokuskan pada usaha pemerintah daerah meningkatkan kesejahteraan dan kualitas layanan publik bagi masyarakat di wilayah hasil pemekaran.
Kemendagri pun menyiapkan berbagai mekanisme untuk mengatrol kemampuan dan kapasitas pemda hasil pemekaran.
“Jika dalam waktu tertentu tidak bisa direalisasikan, mereka dikembalikan ke daerah induk. Itu sudah ada klausulnya,” ujar Djohermansyah.
Walaupun demikian, Kapuspen Kemendagri Reydonnizar Moenek mengakui tidak mudah mengembalikan daerah pemekaran ke daerah induk.
“Banyak faktor, terutama dari elite politik lokal, yang tidak ingin daerah pemekaran ini dikembalikan ke wilayah induk,” ungkap Reydonnizar.
Dalam menghadapi persoalan tersebut, kini Kemendagri tetap menjalankan kebijakan moratorium pemekaran daerah kecuali sesuai dengan desain besar penataan daerah yang ditetapkan.
“Pemerintah tegas menghadapi usulan 19 daerah otonom baru yang kini dibahas dengan DPR,” jelas Reydonnizar.
Lebih kreatif
Dalam pandangan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin, daerah pemekaran baru harus lebih kreatif menciptakan banyak lapangan kerja untuk menyejahterakan masyarakat.
“Saya lihat di daerah lapangan kerja lebih pada sektor pertanian, tidak ada industri. Kalaupun ada, relatif sedikit. Sementara di kota besar menjanjikan semua,” kata Ilham, Selasa (28/8).
Menurut Ilham, itulah yang menyebabkan laju urbanisasi ke kota besar semakin tinggi setiap tahun. Lantaran banyak hal yang dapat mereka lakukan di kota besar.
“Kota besar dianggap bisa memberi rupiah dan manfaat beda ketimbang jika mereka tetap berada di daerah,” terang Ilham.
Apabila arus urbanisasi semakin tahun menunjukkan angka kian besar, hal tersebut juga merupakan kegagalan otonomi daerah karena kabupaten/kota pemekaran tidak mampu memberikan lapangan kerja yang diminati atau dibutuhkan warga.
Setiap tahun Makassar mengalami problem pertambahan penduduk sekitar 7%-10% akibat urbanisasi. Akibatnya, kerawanan sosial juga kian merebak mengingat Makassar punya ruang permukiman yang terbatas.
“Inilah yang dibenahi setiap tahun. Permukiman kumuh terus dibenahi karena meledaknya urbanisasi terutama pasca-Lebaran,” tambah Ilham. (mediaindonesia.com, 30/8/2012)