HTI Kritik DPRD Kobar

Kritikan sekaligus masukan kepada DPRD Kotawaringin Barat (Kobar) untuk tidak terpuruk dalam kepentingan segelintir kelompok terus mengalir. Kali ini datang dari Ormas Islam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Kobar. HTI beranggapan kebuntuan politik antara DPRD Kobar dan Pemkab Kobar berupa mandeknya kinerja dewan dalam proses legislasi dan anggaran mencerminkan kebrobrokan dari sistem demokrasi itu sendiri.

“Konflik yang terjadi menunjukkan secara jelas bahwa anggota DPRD yang dipilih secara demokratis ternyata tidak demokratis dan tidak mencerminkan suara rakyat,” ungkap Ketua DPD II HTI Kobar Abu Nasir. Menurutnya, selain faktor individu yang tidak amanah, konflik politik berkepanjangan di Kobar berakar dari sistem demokrasi yang dibangun berbasis sekulerisme.

Konsekuensinya, nilai-nilai dan sistem politik yang dibangun menjadi semata-mata demi kepentingan duniawi yang menghalalkan segala cara. Hal ini mendorong munculnya perilaku politik yang pragmatis dan berorientasi pada kepentingan partai/kelompok.

“Dalam politik sekuler tidak ada kawan abadi dan tidak ada suara rakyat, yang ada hanya kepentingan abadi. Hari ini bisa jadi kawan, dan besok bisa jadi lawan. Ini yang kini terjadi dan dipraktikkan sebagian anggota dewan. Bukan hanya di Kobar, namun terjadi dalam skala nasional,” ulasnya. Dengan sistem semacam ini, siapapun yang masuk ke parlemen akan terbawa arus politik pragmatis termasuk juga politisi dari partai-partai Islam.

Abu mengingatkan bahwa dalam parlemen yang demokratis sekalipun, suara rakyat tidak memiliki kekuasaan. Suara rakyat hanya dipakai ketika pemilihan caleg, kepala daerah atau presiden. Namun, setelah pemilihan usia dan para caleg berhasil duduk di parlemen, maka suara rakyat menjadi terabaikan, berganti dengan suara penguasa atau pengusaha. Pasalnya, demokrasi yang ada sekarang hanya menciptakan ongkos politik yang mahal karena menjadikan suara rakyat sebagai komoditas politik.

“Karena yang menentukan suara rakyat, maka berbagai praktik politik mulai kampanye publik melalui pertemuan terbuka, spanduk, poster hingga jual beli suara kerap terjadi dalam setiap pemilihan. Inilah yang memicu ongkos politik yang mahal. Pada akhirnya, yang bisa duduk di parlemen hanya para pengusaha kaya atau para caleg yang didukung oleh orang-orang kaya,” terang Abu Nasir. (radarsampit.net, 12/9/2012)

One comment

  1. Demokrasi sistem GATOT KACA (Gagal Total dan Kacau

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*