KH Hafidz Abdurrahman, Ketua Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI
Ulama memiliki peran penting untuk membina masyarakat dan mengontrol penguasa dalam mengurusi rakyatnya. Dan ketika khilafah tiada, seperti yang terjadi saat ini, ulama berkewajiban menjadi garda terdepan dalam perjuangan menegakkan kembali khilafah, negara Islam warisan Nabi Muhammad SAW.
Lantas bagaimana karakteristik ulama itu? Dan apakah Hizbut Tahrir merupakan wadah yang tepat bagi ulama untuk menegakkan kembali khilafah? Temukan jawabannya dalam wawancara wartawan Media Umat Joko Prasetyo dengan Ketua Lajnah Tsaqafiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia KH Hafidz Abdurrahman. Berikut petikannya.
Bagaimana tanggapan Anda, tentang wacana yang dikembangkan BNPT soal sertifikasi ulama?
Wacana ini jelas ngawur, dan bertentangan dengan karakteristik ulama. Karena ulama adalah orang berilmu dan dengan keilmuannya, mereka menjadi orang yang paling takut kepada Allah SWT.
Sertifikasi, jika benar-benar jujur dan obyektif, hanya bisa mengukur keilmuan seseorang secara kuantitatif, tetapi tidak bisa secara kualitatif. Belum lagi, jika bicara tentang ketakwaan seorang ulama, sangat sulit diukur dengan ukuran kuantitatif. Terlebih, apa kepentingannya sebuah lembaga mengeluarkan sertifikat untuk memberikan pengakuan terhadap ketakwaan seseorang?
Jadi, ide ini benar-benar ide gila. Lahir dari orang yang memang sudah kehilangan akal sehat, sehingga tidak bisa berpikir jernih. Terlebih, jika ide ini dimaksud untuk memasung pemikiran, gerak-gerik dan kiprah ulama. Maka, ide ini lebih gila lagi.
Jika yang terakhir ini dilakukan, maka tindakan ini bukan hanya mengerdilkan ulama, tetapi juga menghina dan membunuh ulama. Karena, pada dasarnya, matinya ulama bukan karena secara fisik mereka tiada, tetapi ketika mereka berdiam diri terhadap kemunkaran.
Berarti sertifikasi ini bagian dari proyek deradikalisasi yang kebablasan?
Bagi kaki tangan negara-negara kafir penjajah, sebenarnya ini bukan kebablasan, tetapi bagian dari rencana yang sejak lama mereka ingin wujudkan tetapi selalu gagal. Kita sebelumnya juga mendengar ide pengawasan masjid, sesaat setelah ada bom meledak di masjid kepolisian Cirebon beberapa waktu lalu.
Ending-nya sama mengawasi gerak-gerik umat Islam, khutbah dan kajian yang dilakukan di masjid-masjid. Sebelumnya kita juga mendengar rencana penataan kurikulum pesantren, karena pesantren dianggap sebagai sumber radikalisme.
Ini semua bagian dari rencana (khitthah) negara-negara kafir penjajah untuk melanggengkan penjajahannya, dengan cara melemahkan kekuatan Islam dari jantungnya. Seperti masjid, pesantren dan ulama.
Jadi, bagi mereka ini bukan kebablasan, tetapi memang sudah mereka rencanakan. Kasus-kasus yang terjadi itu hanya sebagai justifikasi agar rencana mereka bisa berjalan, sehingga lahirlah kebijakan. Sayangnya, meski sudah banyak korban, dan dana triliunan telah digelontorkan, tetapi semua rencana tersebut belum bisa diwujudkan.
Apa bahaya deradikalisasi yang mereka galakkan tersebut?
Deradikalisasi ini sebenarnya pendekatan soft power yang ditempuh oleh AS, tidak lama setelah Menlu AS Hillary Clinton, berkunjung ke Indonesia yang pertama sejak menjabat sebagai Menlu Presiden AS Obama.
Soft power ini ditempuh oleh AS, setelah peperangan yang mereka sebut perang global melawan terorisme (GWOT) yang berupa invasi dan pendudukan AS di Irak maupun Afganistan selama ini, gagal.
Dengan kata lain, dalam pendekatan hard power, AS menggunakan kekuatan militer, senjata, bom dan senjata pemusnah massal, dan ternyata peperangan tersebut tidak pernah mereka menangkan, maka pendekatan fisik ini pun mereka ubah dengan pendekatan non-fisik.
Lalu, digunakanlah soft power ini. Proyek deradikalisasi ini sebenarnya merupakan bentuk pendekatan soft power, dengan tujuan yang sama, mengalahkan Islam dan kaum Muslim. Bedanya, senjatanya dalam bentuk pemikiran, dan pasukannya adalah orang Islam sendiri yang mau dipakai untuk menjalankan agenda negara-negara kafir penjajah itu.
Sejatinya apa tugas dan peran ulama dalam pandangan Islam?
Sebagai pewaris Nabi, mereka tidak hanya mewarisi ilmu, tetapi juga amanah risalah. Dengan ilmu yang dimilikinya, mereka berkewajiban untuk menyampaikan kebenaran, menegakkan kemakrufan dan mencegah kemunkaran.
Karena itu, Imam Ahmad mengatakan, “Idza ajaba al-‘alimu taqiyyatan, wa al-jahilu yajhal, mata yatabayyanu al-haq? (Jika seorang ulama menjawab pertanyaan [orang awam] dengan taqiyyah [menyembunyikan kebenaran], kemudian orang yang bodoh tetap dengan ketidaktahuannya, lalu sampai kapan kebenaran itu akan tampak?)”
Hanya saja, amanah tersebut membutuhkan keikhlasan dan keberanian, yang hanya bisa dilaksanakan oleh seseorang yang tidak hanya berilmu, tetapi orang yang hanya takut kepada Allah, meski harus menentang arus.
Dalam bahasa hadits, “La yakhafu fi-Llahi laumata la’im (Dia tidak takut terhadap cacian pemaki, semata karena Allah).” Atau dalam bahasa Alquran, “Innama yakhsa-Llah min ‘ibadihi al-ulama’.” Hanya ulama’ seperti inilah yang mampu menunaikan amanah ilmu, dan menjadi pewaris Nabi yang sebenar-benarnya.
Dengan keilmuan dan ketakwaannya itu, mereka telah tercatat dalam sejarah kehidupan umat Islam yang mulia ini, sebagai para hakim, khalifah, wazir, wali, panglima perang, prajurit biasa, politisi hingga rakyat jelata.
Apakah tugas ulama juga diemban oleh Hizbut Tahrir?
Hizbut Tahrir adalah entitas pemikiran (kiyan fikri), yang tidak hanya mengkaji ilmu (tsaqafah) tertentu, tetapi mengkaji tsaqafah Islam tertentu yang diadopsinya untuk diemban di tengah masyarakat, dan diperjuangkan hingga terwujud dalam kehidupan. Sebab tujuan Hizbut Tahrir adalah mengembalikan kehidupan Islam dalam naungan khilafah, negara yang telah diwariskan Rasulullah SAW.
Untuk mewujudkan ini, pertama-tama tentu dibutuhkan ilmu (tsaqafah) yang berkaitan dengan kehidupan Islam tersebut, terutama ketika kehidupan Islam ini sudah tidak lagi ada. Tugas ini telah dilakukan oleh ulama mujtahid dan pejuang di abad yang lalu, al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Bersama para ulama yang lain, beliau mendirikan Hizbut Tahrir, dan merumuskan isu vital yang harus diperjuangkan umat.
Dengan bimbingan ilmu dan ketakwaaan mereka, akhirnya umat ini berhasil dibangkitkan dari tidurnya yang panjang. Kini mereka mulai menyadari keislaman mereka, dan kembali berjuang untuk meraih kemuliaan mereka yang selama ini hilang.
Berarti HT merupakan wadah yang cocok untuk memperjuangkan tegaknya khilafah, institusi negara warisan Nabi?
Baik dari aspek sejarah, kiprah maupun cita-cita yang diperjuangkannya, Hizbut Tahrir tentu merupakan wadah yang cocok bagi para ulama. Di dalam Hizb, keilmuan para ulama berkembang dengan pesat, karena mereka dituntut untuk terus belajar dan mengemban ilmunya di tengah masyarakat, dengan berdakwah, amar makruf dan nahi munkar.
Mereka tidak hanya belajar, tetapi juga mengajar, dan memperjuangkan apa yang mereka ajarkan. Ini yang menjadikan keilmuan ulama justru matang, dan semakin luar biasa. Mereka tidak akan jumud, karena ilmunya terus digunakan.
Apakah dalam menegakkan khilafah boleh mengangkat senjata atau mengebom?
Menegakkan khilafah adalah kewajiban. Kewajiban ini harus dilaksanakan sebagaimana tuntunan Nabi SAW. Nabi mengajarkan fase dan aktivitas yang harus dilakukan dengan jelas. Dimulai dari melakukan pembinaan umat, dalam rangka membentuk kader hingga terbentuk tubuh kutlah (wadah) yang siap mengemban ideologi Islam.
Setelah kutlah terbentuk, maka kutlah tersebut memperjuangkan ideologinya di tengah-tengah umat, hingga tuntutannya menjadi tuntutan umat. Kemudian umat memberikan mandat kekuasaannya kepada kutlah ini untuk memimpin mereka. Itulah yang terjadi pada Nabi saat menerima bai’at di Aqabah, baik pertama maupun kedua, sampai kemudian Nabi hijrah ke Madinah. []
Sumber: mediaumat.com (25/9/2012)