Deradikalisasi Salah Arah

Deradikalisasi membawa misi penjajahan Barat untuk menghadang bangkitnya Islam di negeri-negeri Muslim.

 

Ide sertifikasi ulama adalah bagian dari proyek deradikalisasi di Indonesia. Tak mengherankan, yang melontarkannya pun adalah Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

 

Anehnya, proyek deradikalisasi itu hanya ditujukan kepada umat Islam. Makanya, banyak orang bertanya, kalau mau sertifikasi kenapa hanya diarahkan kepada ulama (pemuka agama Islam)? Mengapa, tidak kepada pendeta/pastor, bhiksu, dan lainnya?

 

Usut punya usut, logika BNPT tentang radikalisme ini dibangun berdasarkan logika Setara Institute—LSM liberal yang diketuai Hendardi dan banyak dibiayai oleh USAID, bahwa radikalisme itu anak tangga menuju terorisme.

 

Dalam buku terbitan Setara Insitute berjudul ‘Dari Radikalisme Menuju Terorisme’ (2012) disimpulkan bahwa “kinerja deradikalisasi yang selama ini hanya diperuntukan bagi eks teroris, harus juga diarahkan pada kelompok-kelompok radikal, karena pembiaran terhadapnya sama artinya memfasilitasi inkubasi kelompok radikal menjadi teroris.”

 

Nah, yang dimaksud kelompok radikal ini adalah radikal versi Setara Institute. Menurut lembaga ini, radikal dicirikan dengan: tidak mau bertetangga dengan beda agama, tidak setuju menikah beda agama, tidak setuju anggota keluarga pindah agama, menolak orang tidak beragama, tidak menerima rumah ibadah agama lain di lingkungannya, menolak ada agama lain di luar enam agama resmi, anti Ahmadiyah, ingin menerapkan syariat Islam, setuju hukum rajam, setuju khilafah, serta menolak demokrasi.

 

Maka, berdasarkan landasan berpikir tersebut, seluruh kaum Muslimin yang memegang erat ajaran agamanya berdasarkan Alquran dan sunnah terkategori radikal. Dari sini pula, tampaknya BNPT terbawa oleh logika konyol Setara Institute bahwa ajaran Islam adalah pangkal lahirnya/sumber terorisme. “Bisa dipastikan BNPT menempatkan terma radikal dengan pemaknaan yang stereotif, over simplikasi dan subyektif,” kata pengamat kontra-terorisme Harits Abu Ulya.

 

Kompleks

Persoalan radikalisme dan terorisme, menurut Harits, bukan persoalan yang sederhana dan tidak mudah disederhanakan. Secara obyektif realitas empiris, terorisme bukan peristiwa yang muncul tanpa sebab dan juga bukan istilah yang steril dari kepentingan politik.

 

“Terorisme di Indonesia juga fenomena turunan yang muncul karena faktor yang komplek baik di level global maupun domestik. Tidak mudah membuat kesimpulan linear radikalisme selalu menghadirkan kekerasan bahkan tindak terorisme,” kata Direktur CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst) ini.

 

Ia menjelaskan, radikalisme sendiri beragam wajah, bisa dalam bentuk pemikiran dan konsep atau radikal dalam bentuk tindakan. Dan radikalisme pemikiran tidak selalu korelatif dengan tindakan radikal. “Pada titik ini, tidak fair rasanya jika tindakan kekerasan atau teror selalu dikaitkan dengan  radikalisme agama, apalagi Islam,” paparnya.

 

Menurutnya, bisa saja seseorang atau kelompok karena kepentingan pribadi yang tersumbat kemudian menstimulasi tindakan radikal, kekerasan bahkan teror. Contoh, berapa banyak calon bupati atau wakil bupati yang gagal dalam laga pilkada kemudian kecewa akhirnya melahirkan tindakan anarkis, bahkan membuat teror atas rasa aman masyarakat. Juga pelaku pengeboman di Oslo Norwegia beberapa bulan lalu dengan korban lebih dari 60 orang tewas, ternyata dari penganut Kristiani. Di Amerika sendiri, sudah beberapa kali orang menembak orang lain secara massal.

 

Artinya, kata Harits, secara obyektif sebuah sikap ”radikal” bisa tumbuh dalam entitas apapun, tidak mengenal agama, batas teritorial negara, ras, suku bahkan usia dan sekat lainnya. Mantan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono saat membuka seminar berjudul “The Future of Terrorism Studies in South East Asia” di Jakarta, mengatakan terorisme di Indonesia disebabkan tiga faktor yakni korupsi, kemiskinan, dan kesenjangan sosial.(Metrotvnews.com, 4/10/2010)

 

Tendensius

 

Meski fakta dan data begitu jelas, tampaknya BNPT tetap pada pendiriannya sebagaimana logika yang dibangun oleh Setara Institute. Makanya, sama persis dengan kalangan liberal, BNPT pun menyodorkan gagasan deislamisasi di Indonesia. “Islam moderat” menjadi arus utama yang dibangunnya dalam bingkai sistem sekuler-kapitalis-demokrasi.

 

Tak mengherankan, jika BNPT selama ini mencoba mendekonstruksi istilah-istilah yang sudah baku dalam syariat Islam. Lembaga yang dipimpin oleh pensiunan jenderal polisi bintang dua ini selalu memunculkan ‘ijtihad-ijtihad’ baru terhadap istilah:  jihad/istishad/ightiyalat dan intihar; klaim kebenaran; amar ma’ruf nahyi munkar; hijrah; thagut; Muslim dan kafir; ummatan washatha; tasamuh; dan Daulah Islam dan Khilafah. “Inilah yang disebut dengan kalimatul haq iroda bihal baatil, kalimat yang benar tapi yang diinginkan adalah kebatilan,” kata Harits.

 

Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI Yahya Abdurrahman menyebut, proyek deradikalisasi—termasuk wacara sertifikasi ulama—merupakan langkah menghadang bangkitnya Islam dan ini merupakan bagian dari strategi global war on terrorism (GWOT) yang dicanangkan oleh Amerika dan Barat.

Menurutnya, Amerika dan Barat takut akan kebangkitan Islam karena mereka tahu tegaknya Daulah Islam akan menghapuskan penjajahan mereka di negeri-negeri Muslim.  Makanya, Amerika—termasuk Barat—dan antek-anteknya selalu menjadikan Islam dan kaum Muslim yang lurus sebagai sasaran serangan. Tak peduli melakukan kekerasan atau tidak. (mediaumat.com, 25/9/2012)

 

One comment

  1. WANI PIRO!!! ada bayaran ada proyek tuduhan untuk Islam,inilah gambaran mental fakir miskin yang kelaparan yang tega memakan daging saudaranya sendiri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*