BADAN Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan penyelewengan uang negara di tingkat pemerintah provinsi dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan (IHP) Semester II Tahun 2011. Kerugian negara di 33 provinsi dari 2005 hingga 2011 mencapai Rp4,1 triliun.
Saat menanggapi hal itu, anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDIP Ganjar Pranowo mengatakan kebocoran terjadi akibat tata kelola pemerintahan daerah yang buruk, baik dari segi penganggaran maupun akuntabilitas keuangan.
Ia menambahkan, banyaknya penyelewengan di daerah tidak terlepas dari pandangan daerah terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Beberapa daerah memandang KPK itu masih di pusat. Makanya, sudah saatnya KPK merealisasikan ke daerah sehingga ini bisa menjadi momentum untuk memberikan kondisi alert kepada daerah. Bahwa kita mau bereskan, Anda perbaiki. Kalau tidak, akan ada tindakan pidana,” tukasnya.
Senada, Koordinator Advokasi dan Investigasi Forum Independen untuk Transparansi Anggaran Uchok Sky Khadafi mengatakan temuan BPK itu memperlihatkan pemerintah provinsi tidak takut kepada auditor negara. Temuan BPK itu juga memperlihatkan manajemen pengelolaan keuangan pemerintah provinsi cenderung korup.
Karena itulah, anggota Komisi II DPR Abdul Malik Haramain menilai kewenangan pemerintah daerah harus ditinjau ulang, terutama terkait dengan penganggaran dan pengawasan APBD.
Selain itu, Malik mengingatkan perlu adanya semacam pengawasan tersendiri terhadap anggaran daerah agar tingkat kebocoran tidak terus-menerus terjadi.
“Seharusnya BPKP itu. Kalau BPKP menemukan indikasi, seharusnya dia langsung bertindak,” kata Malik.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa itu mengatakan penyelewengan dan penggunaan anggaran yang tidak efektif terjadi akibat otonomi yang terlalu luas.
Terkait dengan hal itu, Malik menambahkan, Komisi II DPR saat ini sedang membahas RUU Pemerintah Daerah (Pemda). Ia berharap RUU Pemda dapat menjadi solusi untuk mencegah dan mengetatkan pengawasan terhadap pemerintah daerah. (mediaindonesia.com, 2/10/2012)