Andaikata bersandar pada data Badan Pusat Statistik (BPS), maka Indonesia dapat digolongkan sebagai negara yang sukses meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Pasalnya secara periodik BPS mempublikasikan persentase penduduk miskin di Indonesia yang terus mengalami penurunan.
Pada Senin, 2 Juli 2012, BPS kembali mempublikasikan data penurunan persentase kemiskinan tersebut. Berdasarkan Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) terbaru yang mereka lakukan, dilaporkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2012 mencapai 29,13 juta orang (11,96%) menurun dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2011 yang mencapai 30,02 juta orang (12,49%). Artinya ada penurunan jumlah rakyat miskin sebanyak 890 ribu jiwa (0,53%) dalam rentang waktu 12 bulan atau rata-rata ada penurunan 74 ribu jiwa setiap bulannya. Tentu saja angka penurunan ini mengundang tanda tanya besar. Mengingat realitas kehidupan masyarakat yang terus dililit oleh berbagai beban ekonomi yang semakin berat, seperti kenaikan harga kebutuhan pokok, makin sempitnya lapangan kerja, gagal panen, dan sebagainya.
Menilik pola tersebut, maka bisa diprediksi bahwa pada Maret 2013 nanti kemungkinan besar BPS akan kembali mempublikasikan hasil Susenas 2013 dengan persentase penduduk miskin yang mengalami penurunan dibandingkan dengan Maret 2012. Bahkan bisa saja pada Maret 2014 akan dipublikasikan terjadinya penurunan tersebut dengan angka yang drastis, mengingat pada tahun tersebut akan terjadi ‘pertandingan seru’, yakni pemilu legislatif dan pemilu presiden. Karena menyangkut nasib dan kehidupan masyarakat maka data kemiskinan versi BPS ini tentu saja perlu dikritisi.
Kritik Terhadap Data dan Konsep Kemiskinan
Kritik terhadap akurasi data kemiskinan BPS bisa terkait teknis maupun non-teknis. Aspek teknis berhubungan dengan teknik sampling Susenas yang menjadi instrumen pendataan penduduk miskin. Sedangkan aspek non-teknis terkait dengan konsep/kriteria dan kebijakan pendataan serta pemecahan problem kemiskinan. Kelemahan secara teknis adalah terlalu kecilnya jumlah sampel Susenas yaitu 68.000 rumah tangga dari sekitar 61 juta rumah tangga di Indonesia (www.bps.go.id). Artinya hanya menggunakan sampel sekitar 0,1 persen untuk menggambarkan tingkat kemiskinan masyarakat. Lebih-lebih lagi kondisi tingkat kemiskinan (tingkat pendapatan) tersebut sangat heterogen baik di dalam satu daerah maupun antar daerah. Secara statistika, semakin heterogen suatu populasi maka makin semakin besar pula sampel yang dibutuhkan untuk mendeskripsikan populasi tersebut secara representatif. Karena itu semestinya diperlukan sampel berkisar antara 10 hingga 15 persen sampel rumah tangga untuk menggambarkan tingkat pendapatan atau tingkat kemiskinan tersebut.
Namun yang lebih krusial adalah persoalan non-teknis yang menyangkut konsep dan kebijakan pendataan kemiskinan itu. Artinya meskipun secara teknis sampling diperbaiki namun persoalannya tidak selesai apabila konsep dan kebijakannya tidak berubah. Diantaranya adalah: Pertama, tujuan pendataan penduduk miskin melalui Susenas BPS tersebut pada dasarnya tidak terkait langsung dengan upaya penyelesaian problem kemiskinan itu sendiri. Sebab jika serius mau menyelesaikan problem kemiskinan maka mestinya pendataan penduduk miskin harus bersifat individu per individu berdasarkan by name – by address. Sehingga bisa diketahui siapa dan dimana mereka yang terkategori miskin tersebut, tidak sekedar jumlahnya. Jika tidak, maka pendataan kemiskinan lebih bersifat proyek dan kepentingan pencitraan politik tanpa menyentuh persoalan utamanya yakni pengentasan kemiskinan.
Kedua, kriteria kemiskinan yang digunakan BPS tidak sesuai dengan realita. Garis kemiskinan yang digunakan BPS saat ini sekitar Rp 8 ribu per orang per hari atau Rp 240 ribu per orang per bulan. Artinya, seseorang yang pengeluarannya per hari lebih dari Rp 8 ribu, misalnya saja Rp 9 ribu, maka orang tersebut sudah dianggap tidak miskin. Tentu saja ini sangat tidak rasional, bagaimana seseorang bisa memenuhi kebutuhan pokoknya per hari secara layak dengan uang Rp 9 ribu. Kriteria BPS itu sangat jauh dibawah standar yang dikeluarkan Bank Dunia, yakni sebesar US$2 per orang per hari atau sekitar Rp19 ribu per orang per hari. Apabila menggunakan standar Bank Dunia ini maka penduduk miskin di Indonesia bisa mencapai di atas 100 juta jiwa atau 40,8% dari jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 245 juta jiwa.
Ketiga, data penurunan persentase warga miskin versi BPS itu juga bersifat paradoksal dengan kebijakan pemerintah yang pro pasar (kapitalisme) dan tidak berpihak pada rakyat. Sehingga penurunan tersebut menjadi tidak logis karena beberapa kebijakan pemerintah justru mengarah pada pemiskinan masyarakat. Selama ini pemerintah sangat ‘hobbi’ memangkas berbagai subsidi rakyat, seperti kesehatan, pendidikan, pupuk, benih, tarif dasar listrik, BBM, dan sebagainya. Misalnya, subsidi pupuk pada APBN 2012 mengalami penurunan dibandingkan dengan APBN 2011, yaitu dari Rp 18,9 triliun pada tahun 2011 turun menjadi Rp 16,9 triliun pada tahun 2012. Kemudian dipangkas lagi menjadi Rp 13,9 triliun dalam APBN-P 2012. Subsidi benih juga diciutkan secara drastis, yaitu dari Rp 279,9 miliar dalam APBN 2011 turun menjadi separuhnya yaitu Rp 129,5 miliar dalam APBN-P 2012 (finance.detik.com, 15/03/12).
Bahkan saat ini pemerintah melalui RAPBN 2013 berencana melakukan penyesuaian tarif tenaga listrik setiap tiga bulan mulai Januari 2013. Hal ini berarti pemerintah akan menaikkan tarif dasar listrik (TDL) dan menghapus subsidi listrik secara bertahap. Penyesuaian tarif listrik ini telah ditegaskan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Pidato RAPBN 2013 di Gedung DPR Jakarta (Kamis, 16/8). Sementara Wakil Menteri ESDM, Rudi Rubiandini, menyatakan bahwa tidak hanya TDL yang diusulkan naik pada tahun 2013, namun harga BBM juga diusulkan naik dengan kenaikan sebesar Rp1.500 (Rabu, 15/8).
Kenaikan TDL dan harga BBM tersebut akan menghantam masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dampak langsungnya adalah masyarakat tidak akan memperoleh aliran listrik dan mengurangi konsumsi BBM karena tarifnya tidak dapat dijangkau oleh keuangan mereka. Hantaman secara tidak langsung terjadi ketika perusahaan menaikkan harga jual produknya di pasar sehingga pengeluaran masyarakat untuk membeli produk tersebut akan meningkat.
Karenanya sangat mengusik akal sehat ketika BPS menyatakan bahwa telah terjadi penurunan persentase penduduk miskin, padahal kebijakan pemerintah justru semakin menenggelamkan masyarakat pada kubangan kemiskinan. Sehingga klaim telah terjadi penurunan kemiskinan hanya benar jika maknanya adalah bahwa kemiskinan tersebut diturunkan pada anak cucunya.
Kegagalan Kapitalisme
Problem kemiskinan tersebut termasuk salah satu persoalan utama yang melilit masyarakat Indonesia. Hal ini semakin melengkapi bukti kegagalan sistem Kapitalisme yang menjadi landasan kebijakan ekonomi Indonesia. Sistem ini juga telah ‘memamerkan’ kegagalannya dalam krisis ekonomi di AS dan Eropa. Misalnya, banyak koran di Eropa kini mengabarkan keluhan sekolah dan guru tentang murid yang tidak bisa berkonsentrasi karena lapar (guardian.co.uk, 20/06/2012). Organisasi amal seperti Donatur Makanan (FoodBanks) yang mendistribusikan makanan di antara orang-orang yang tidak mampu membeli makanan yang mereka butuhkan, kini telah menjadi pemandangan umum di kota-kota Eropa. Di Inggris sendiri jumlah warga yang membutuhkan bantuan makanan seperti itu bertambah dengan rata-rata dua orang per minggu (guardian.co.uk, 26/04/2012). Bahkan di Yunani, salah satu negara Eropa yang paling terpukul oleh krisis kredit, diberitakan telah terjadi beberapa kasus pembuangan bayi dan anak akibat ketidakmampuan ekonomi orang tuanya.
Tragisnya, sebagaimana di AS dan Eropa, pada saat warga di sini makin tenggelam dalam kemiskinan justru kelompok elit kaya semakin menggelembung hartanya. Ketimpangan ekonomi seperti ini memang merupakan penyakit kronis dari sistem Kapitalisme. Penyebabnya karena sistem ini lebih fokus pada upaya pertumbuhan ekonomi makro tanpa memperhatikan distribusinya. Mereka berkhayal, bahwa jika terjadi pertumbuhan maka akan berdampak secara otomatis akan mengatasi problem kemiskinan. Tidak diperhatikan apakah pertumbuhan ekonomi itu betul-betul nyata sebagai buah dari kegiatan ekonomi riil seperti pengerjaan proyek pembangunan, jual-beli barang dan jasa, ataukah berasal dari sektor non-riil atau sektor keuangan seperti perbankan, pasar modal, asuransi, reksadana, dan lainnya yang cenderung menghasilkan pertumbuhan semu. Paul Krugman, pemenang Hadiah Nobel tahun 2000, menyebut pertumbuhan semacam itu sebagai ekonomi balon (bubble economy) yang secara faktual cenderung tidak stabil.
Dalam Islam, sektor finansial tidak dimasukkan ke dalam perhitungan pertumbuhan karena sektor ini memang tidak ada. Pertumbuhan ekonomi dalam sistem Islam, meski mungkin tidak sespektakuler dalam sistem ekonomi Kapitalisme, adalah pertumbuhan yang nyata dan stabil karena memang benar-benar berasal dari sektor kegiatan ekonomi masyarakat yang nyata. Disamping itu, untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyat, sistem ekonomi Islam sangat memperhatikan sistem distribusi kekayaan. Artinya buruknya distribusi kekayaan di tengah masyarakat itulah yang menyebabkan timbulnya kemiskinan dan ketimpangan ekonomi.
Ini berbeda dengan sistem ekonomi Kapitalisme yang menyatakan bahwa problem ekonomi adalah kelangkaan (scarcity) akibat tidak berimbangnya antara kebutuhan dan alat pemuas kebutuhan. Untuk mengatasinya mereka hanya fokus pada aspek produksi dan pertumbuhan ekonomi. Sementara aspek distribusi, mereka menyerahkannya pada mekanisme pasar. Karena itulah peran negara dalam mendistribusikan kekayaan sangatlah terbatas. Akibatnya, kesenjangan kaya miskin sedemikian lebar. Sedikit orang kaya menguasai sebagian besar kekayaan, sementara sebagian besar manusia hanya menikmati sedikit sisa-sisa kekayaan.
Disamping itu, kesejahteraan dalam pandangan Islam tidak hanya dinilai berdasarkan ukuran material saja, namun juga dinilai dengan ukuran non-material, seperti terpenuhinya kebutuhan spiritual, terpeliharanya nilai-nilai moral, dan terwujudnya keharmonisan sosial. Sehingga masyarakat dikatakan sejahtera apabila terpenuhi dua keadaan tersebut, yaitu terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu rakyat, baik pangan, sandang, papan, pendidikan, maupun kesehatannya, serta terjaga dan terlidunginya agama, harta, jiwa, akal, dan kehormatan manusia.
Dengan demikian, kesejahteraan tidak hanya merupakan hasil sistem ekonomi semata, melainkan juga buah sistem hukum, sistem politik, sistem budaya, dan sistem sosial. Allah Swt telah menjadikan agama Islam ini sebagai agama yang sempurna. Karenanya, perjuangan untuk menegakkan syariah secara kaaffah dalam naungan Khilafah Islamiyah harus dapat pula dibaca sebagai perjuangan mewujudkan kesejahteraan hakiki bagi masyarakat. Wallaahua’alam.[]
Alhamdulillaah
Assalaamu’alaikum wrwb.!?
Nama Saya Dede Pujayadi
Syukron Jiddan atas artikel yang mencerdaskan dan membukakan akal pikiran sehingga menjadi jernih/jelas mana benar/haq dan mana tidak-/batil.
Alloohu Akbar!!!
PDRB per kapita yg dijadikan sbg indikator tingkat kemakmuran masyarakat sesungguhnya menyesatkan krn hny mlihat scr agregat, tidak secara riil menggambarkan distribusi / kekayaan / kejahteraan per individu rakyat. Inilah slh st kgagalan ekonomi kapitalis yg hny mengejar pertumbuhan ekonomi tetapi mengabaikan aspek distribusi, kekayaan hanya dinikmati olh segelintir org. Makanya tidak heran dr ekspos BPS tentang hal ini terlihat bhw walaupun pertumbuhan ekonomi naik tp tdk diimbangi dg penurunan angka kemiskinan. Proyek2 pembangunan yg dijlnkn pemerintah pusat hgg daerah tdk menyentuh scr mendasar thd pengentasan kemiskinan.
Insya Allah pemahaman dua sisi yang berbeda ini tidak ada yang salah, karena tergantung dari sisi mana kita melihat angka tersebut. Saya justru melihatnya begini, Jika sekarang saja u/ pengeluaran 8 ribu perhari jumlah orang miskin sebanyak 30 juta, berarti banyak sekali orang yang hidup susah, karena anggapan kita 15 ribu pun masih hidup susah. Harus diingat bahwa tidak miskin itu bukan berarti dia sudah hidup nyaman, bahagia, dll. Ini karena kemiskinan diukur secara agregat saja berdasarakan aturan dari UN.
Untuk melihat distribusi pendapatan masyarakat, memang sebaiknya lihat angka Gini Ratio atau Sistem Neraca Nasional Ekonomi (SNSE). Hanya saja ukuran-ukuran ini sangat jarang dibahas oleh para pengamat.