Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.
Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang Mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui (TQS al-Maidah [5]: 54.
Ikhtisar:
- Murtad adalah keluar dari Islam kepada kekufuran. Bisa dengan masuk agama lain atau menolak syariah, baik secara keseluruhan maupun sebagian.
- Allah SWT berkehendak untuk menggantikan kaum yang murtad dengan kaum yang lebih baik dengan sifat khas
- Masih terbuka kesempatan menjadi kaum yang lebih baik
Pasca penjajahan Barat, kaum Muslimin dibanjiri dengan berbagai ide kufur yang menyesatkan. Tanpa disadari, banyak orang yang tertipu dengan ide-ide sesat itu. Bahkan, tidak sedikit yang terjerumus kepada kekufuran. Di saat itu, kita berharap dengan janji Allah SWT yang hendak mendatangkan kaum uang lebih baik. Untuk memahami hal tersebut, ada baiknya kita menelaah lebih dalam firman Allah SWT dalam ayat ini.
Ancaman bagi Orang Murtad
Allah SWT berfirman: Yâ ayyuhâ al-ladzîna âmanû man yartadd minkum ‘an dînihi (hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya). Khithâb atau seruan ayat ini ditujukan kepada orang-orang beriman. Yakni, orang-orang yang membenarkan Allah SWT dan rasul-Nya, serta semua yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Ditegaskan kepada mereka, siapad pun di antara mereka yang murtad dari agamanya.
Mengenai siapa orang murtad yang dimaksud ayat ini, ada beberapa penjelasan para mufassir. Dikatakan al-Thabari, mereka adalah orang yang murtad dari agamanya yang benar, kemudian mengganti agamanya itu dengan masuk ke dalam kekufuran, baik agama Yahudi, Nasrani, maupun golongan kufur lainnya.
Menurut al-Qurthubi, mereka yang murtad itu ada dua golongan. Pertama, golongan yang menolak syariah secara keseluruhan dan keluar dari syariah tersebut. Kedua, golongan yang menolak zakat dan mengakui kewajiban selainnya. Mereka mengatakan, “Kami berpuasa dan shalat, namun kami tidak berzakat.” Abu Bakar al-Shiddiq memerangi semua golongan itu dan mengutus Khalid bin Walid beserta bala tentara untuk memerangi dan menawan mereka.
Ibnu Katsir mengatakan, mereka adalah orang yang berpaling dari menolong agama-Nya dan menegakkan syariah-Nya. Diterangkan pula oleh beliau, orang tersebut kembali dari kebenaran kepada kebatilan.
Dikemukakan al-Syaukani, ayat ini merupakan keterangan pertama tentang hukum murtad setelah penjelasan bahwa mengangkat orang kafir sebagai wali oleh seorang Muslim adalah kufur. Sebab, itu merupakan salah satu jenis kekufuran. Demikian dalam tafsir Fath al-Qadîr. Itu artinya, penolakan terhadap hukum haramnya mengangkat orang kafir sebagai wali dapat menyebabkan riddah.
Semua penafsiran itu masuk dalam cakupan pengertian murtad dalam ayat ini. Sehingga, sebagaimana dinyatakan al-Alusi, ayat ini menjelaskan keadaan orang yang murtad secara umum.
Kemudian ditegaskan: fasawfa ya`til-Lâh biqawmin (maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum). Bahwa tindakan mereka yang murtad itu sama sekali tidak merugikan dan membahayakan Allah SWT. Sebaliknya, Dia berkuasa untuk mendatangkan kaum yang lebih baik, lebih kuat, dan lebih lurus jalannya daripada mereka. Ini adalah ancaman kepada mereka. Ancaman seperti ini juga ditegaskan dalam QS Muhammad [47]: 38 dan QS Ibrahim [14]: 19. Demikian dijelaskan Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
Sifat Kaum yang Menggantikan
Dalam frasa berikutnya diterangkan mengenai sifat kaum yang dijanjikan sebagai pengganti kaum yang murtad itu. Pertama: yuhibbuhum wa yuhibbûnahu (yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya). Mencintai Allah SWT merupakan sifat orang Mukmin yang benar, sebagaimana ditegaskan dalam QS al-Baqarah [2]: 165
Kecintaan hamba terhadap Tuhan mereka adalah dengan menaati-Nya, mencari ridha-Nya, dan tidak mengerjakan segala perbuatan yang menyebabkan kemarahan dan hukuman-Nya. Sedangkan kecintaan Allah SWT terhadap hamba-Nya adalah dengan memberikan mereka pahala atas ketaatan mereka, memuliakan, memuji, dan meridhai mereka. Demikian al-Zamakhsyari dalam tafsirnya.
Didahulukannya cinta Allah SWT kepada mereka karena seandainya Allah SWT tidak mencintai mereka, niscaya Allah SWT tidak akan memberikan mereka taufik sehingga mereka menjadi orang-orang yang mencintai-Nya.
Kedua: Adzillat[in] ‘alâ al-mu`minîna a’izzat[in] ‘alâ al-kâfirîn (yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang Mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir). Kata adzillah merupakan bentuk jamak dari kata dzalîl. Artinya, mereka menunjukkan rasa iba, simpati, dan tawadhu’ terhadap kaum Mukmin. Sedangkan al-a’izzah bentuk jamak dari kata ‘azîz. Artinya, mereka menunjukkan sikap keras, tegas, dan tinggi atas kaum kafir. Demikian al-Syaukani dalam tafsirnya. Sikap ini sebagaimana juga disebutkan dalam TQS al-Fath [48]: 29.
Ketiga: Yujâhidûna fî sabîlil-Lâh (yang berjihad di jalan Allah). Mereka juga mengangkat senjata dan berperang di jalan Allah SWT dengan harta dan jiwanya. Secara syar’i, pengertian al-jihâd adalah al-qitâl fî sabîlil-Lâh (berperang di jalan Allah). Perintah berjihad amat banyak terdapat dalam Alquran dan sunnah. Keutamaan amal tersebut juga amat besar. Kaum yang dijanjikan itu menyambut panggilan Allah dan rasul-Nya untuk berjihad di jalan-Nya.
Keempat: Walâ yakhâfûna lawmata lâ`im (dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela). Dalam menolong agama-Nya, mereka sama sekali tidak takut terhadap si apa pun. Termasuk celaan dari para pencela. Bagi mereka, perintah Allah SWT dan rasul-Nya lebih didengar dari para pencela yang hanya akan menjerumuskan mereka kepada kekufuran dan kemaksiatan.
Kemudian Allah SWT berfirman: Dzâlika fadhlul-Lâh yu`tîhi man yasyâ` (itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya). Frasa fadhlul-Lâh (karunia Allah) ini menunjuk kepada sifat yang disebutkan sebelumnya. Bahwa keseluruhan sifat mereka itu merupakan karunia Allah SWT dan taufik-Nya yang diberikan kepada kaum tersebut.
Ayat ini pun ditutup dengan firman-Nya: Wal-Lâh Wâsi` ‘Alîm (dan Allah Maha Luas [pemberian-Nya] lagi Maha Mengetahui). Allah Wâsi`, Maha Luas karunia-Nya. Dan ‘Alîm, Maha Mengetahui orang yang berhak mendapatkan karunia-Nya itu. Demikian Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
Kita Masih Bisa Berharap
Menurut banyak mufassir, kaum yang dijanjikan itu adalah Abu Bakar al-Shiddiq ra. Alasannya, sepeninggal Rasulullah SAW ada beberapa kaum yang murtad dari agama-Nya. Ada menolak yang menolak kewajiban zakat, bahkan menolak syariah secara keseluruhan. Terhadap semua kaum yang murtad itu, Abu Bakar bertindak tegas. Khalifah pertama itu mengirimkan pasukan perang hingga mereka bisa dikalahkan.
Bahwa Abu Bakar ra termasuk dalam cakupan ayat ini, tidak bisa ditolak. Akan tetapi ayat ini tidak bisa dibatasi hanya untuk beliau. Sebab, lafadz ayat ini bersifat umum. Kata man syarthiyyah yang berarti ‘siapa saja’ dalam ayat ini memberikan makna umum. Berlaku bagi siapa saja yang memenuhi syarat tersebut.
Oleh karena itu, kita masih bisa berharap menjadi kaum yang dijanjikan tersebut. Kesempatan itu kian terbuka lebar di saat banyak orang tertipu dan mengikuti sekularisme, kapitalisme, liberalisme, demokrasi, HAM, dan berbagai ide sesat lainnya yang dapat menjerumuskan pelakunya keluar dari Islam. Jika kita ingin menjadi kaum yang dijanjikan, kita harus mencinta-Nya dengan sepenuh kecintaan; memperlakukan sesama umat Islam sebagai kawan dan orang kafir sebagai lawan; berjihad dan menolong agama-Nya; serta tidak takut terhadap celaan para pencela dan semua risiko lainnya. Semoga kita termasuk di dalamnya. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.
Sumber: mediaumat.com (8/10/2012)