“Omong kosong bicara kedaulatan energi kalau masih ada pemikiran menyama dudukkan antara BUMN dan Badan Usaha Swasta,” tegas Ismail Yusanto dihadapan komisi VII DPR RI saat dengar pendapat membahas perubahan undang-undang nomor 22 tahun 2001 tantang Migas, Kamis (11/10) Gedung DPR-RI Senayan Jakarta.
Menurutnya itu disebabkan adanya pasal dari undang-undang tersebut yang meliberalkan sektor Migas baik dari hulu hingga hilir.”Pasal 9 undang-undang Migas merupakan pangkal dari liberalisasi ini,” jelasnya.
Karena lanjutnya, kata ‘dapat’ dalam pasal itu sama saja menyamaratakan antara BUMN dan Swasta. “Seharusnya kita membedakan keduanya dan memberikan keutamaan kepada Badan Usaha Milik Negara,” paparnya.
Inilah menurutnya membuat lifting saat ini terus turun. Dari 1,5 hingga 1,4 juta barel/hari beberapa tahun yang lalu sebelum undang-undang ini diterapkan menjadi 930 ribu barel/hari.
Masalahnya dimana? Menurut Ismail masalahnya ada dikegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang dikuasai asing. “Seharusnya kita mendorong BUMN kita untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi bukan malah mendukung pihak swasta maupun asing,” imbuhnya.
Ismail menambahkan hasil pengelolalan Migas seharusnya harus dilakukan secara profesional danberdasarkan syariah. “Karena dengan syariah Islam , negara yang akan mengatur seluru kegiatan pengelolaan ini dan dengan segenap kemampuannya mampu mendistribusikan kekayaan ini pada seluruh masyarakat,”
Selain Ismail Yusanto (Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia) memaparkan pandanganya, hadir pula Syaiful Bahri (Muhammadiyah) dan Andi Nasmi (PBNU). (mediaumat.com, 11/10/2012)