HTI Press, Jakarta. Jiwa Ibrahim tergoncang ketika diperintahkan Allah untuk menyembelih anaknya. Dalam kondisi teramat sulit itu Ibrahim diuji untuk membuktikan, siapakah dia cintai Allah atau Ismail? Tauhid atau Syirik? Mengikuti hawa nafsu atau mematuhi perintah Allah?
Ahmad Syadzili, Ketua DPC HTI Cileduk menerangkan itulah sebuah ujian yang harus dijalankan oleh hamba Allah. Dan Ibrahim lebih memilih menaati perintah Allah untuk menyembelih anaknya, ujarnya saat khutbah Idul Adha yang diselenggarakan DPD Hizbut Tahrir Indonesia DKI Jakarta, Jumat (26/10) di Halaman Kantor DPP HTI Crown Palace, Jakarta.
“Ibrahim lebih mengedepankan kecintaan yang tinggi mahabbatul ulya ketimbang memilih al-mahabbatul adna,” tuturnya.
Lanjutnya, bayangkan pada diri kita ada satu hal yang kita cintai yang deminya kita rela mengorbankan segalanya. “Itulah Ismailmu,” tuturnya
Apa yang dimaksud Ismail-mu? Menurut Ahmad, Ismail-mu adalah setiap sesuatu yang merampas kebebasanmu dan menghalangimu untuk melaksanakan kewajiban-kewajibanmu. “Menyebabkan engkau mengajukan alasan-alasan untuk menghindari perintah Allah,” paparnya.
Ismail-mu itu, lanjutnya, bisa anak, istri, suami, orang tua, harta benda, pangkat dan jabatan serta bisa juga berupa ideologi dan pandangan hidup sekuler yang tidak bersumber dari nilai-nilai tauhid. “Dari semangat tauhid meneguhkan kita untuk selalu taat pada syariat,” imbuhnya.
Menurutnya, salah satu buah dari tauhid adalah persaudaran Islam. “Hal itu tampak dalam proses pelaksanaan ibadah haji,” tuturnya.
Tapi, sayangnya persaudaraan universal itu berhenti sebatas pelaksanaan haji di Tanah Suci. “Usai haji kembali umat Islam terpecah belah lebih dari 50 negara,” ujarnya.
Perjuangan untuk tegaknya kembali khilafah akan menerapkan syariah secara kaffah dan mewujudkan kembali persaudaraan umat islam. “Ini membutuhkan pengorbanan karena tidak ada ketaatan tanpa pengorbanan,” imbuhnya.[] fatih mujahid