Iffah Ainur Rochmah: Akar Masalahnya Sekularisme
Maraknya tindakan kekerasan seperti bullying dan tawuran serta berbagai penyimpangan perilaku yang dilakukan kalangan pelajar akhir-akhir ini menimbulkan kekhawatiran banyak pihak. Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak/Komnas Anak, sepanjang enam bulan pertama tahun 2012 terdapat 139 kasus tawuran pelajar, 12 di antaranya menyebabkan kematian. Fenomena memprihatinkan ini sudah semestinya menjadi cambuk dan momen penting bagi keluarga, sekolah dan negara untuk melakukan evaluasi terhadap pola pendidkan generasi.
Berikut adalah pandangan Iffah Ainur Rochmah, Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia terkait persoalan di atas.
Bagaimana sesungguhnya kondisi remaja saat ini?
Sangat buruk. Remaja kita saat ini adalah generasi pemuja berhala kebebasan. Kebebasan perilaku telah menjadi gaya hidup. Remaja kita terlelap dalam pelukan kapitalisme-liberalisme yang menjanjikan mimpi-mimpi kenikmatan duniawi. Aksi geng motor, tawuran, seks bebas, hamil di luar nikah, aborsi, pelaku pelacuran remaja, narkoba, HIV/AIDS, gaya hidup konsumtif dan individualisme merupakan deretan potret dominan remaja negeri ini. Sungguh miris. Sangat sedikit kita temukan remaja yang memiliki kepribadian mulia dan prestasi sebagaimana diharapkan orangtua dan masyarakat.
Mengapa sulit mengatasi persoalan buruk remaja ini?
Karena berbagai pihak mengupayakan solusi yang tidak terintegrasi, cenderung saling kontradiktif dan pragmatis. Masalah tawuran, misalnya, diatasi dengan mendorong orangtua lebih perhatian pada anak, menjadikan keluarga sebagai tempat anak menyelesaikan masalah, menguatkan ikatan cinta dan semisalnya. Sebagian keluarga sudah berusaha mendidik anak sebaik-baiknya, memenuhi kebutuhan dan membangun hubungan kasih sayang terhadap anak. Namun, lingkungan dan media massa menghancurkan apa yang dibangun orangtua ini. Sebagian orangtua lainnya kesulitan mendidik karena minim pemahaman. Siapa yang membantu mereka? Siapa juga yang bisa menghentikan para ibu yang tidak mendampingi pendidikan anak-anaknya karena sibuk mengembangkan usaha atau mengejar karir, kadang alasannya ‘demi anak’ juga.
Demikian pula ketika disuarakan perubahan kurikulum. Pendidikan karakter, misalnya. Karakter yang bersumber dari mana? Meningkatkan pendidikan akhlak. Siapa role model-nya? Di mana-mana yang mereka lihat adalah perilaku curang, kekerasan dan porno. Bahkan di sekolah remaja kita terpapar berbagai konten porno dan role model para selebritas lokal dan dunia. Kita masih ingat kasus buku LKS siswa juga menjadi tempat mejeng para artis sebagai figur untuk dicontoh dan memuat kisah-kisah porno. Bagaimana bisa membangun karakter mulia?
Memberi sanksi kepada pelaku kriminalitas remaja pun tak kalah sulit! Banyak suara yang saling menjatuhkan. Pihak penegak hukum menghendaki hukuman berat agar ada efek jera. Namun, aktifis hak anak menganggap sanksi tersebut tak layak untuk anak dan tidak mencerminkan lingkungan layak anak. Bahkan RUU khusus untuk peradilan anak yang digodok DPR juga tampak memfasilitasi kebebasan perilaku.
Yang lebih memprihatinkan, semua pihak seolah-olah baru ‘kebakaran jenggot’, baru sadar ada masalah serius pada remaja kita saat ada korban jiwa atau akibat fatal. Rame-rame ada upaya menangani, dengan Gerakan Maghrib Mengaji, misalnya. Sayangnya upaya semacam ini hanya pragmatis, tidak bertahan lama dan hanya menghentikan sementara masalah yang ada. Bukan tidak ada efeknya. Namun, karena tidak menyentuh akar masalah, maka akan muncul persoalan-persoalan serupa di masa mendatang.
Jadi, apa akar masalah munculnya persoalan-persoalan remaja
Kapitalisme dan sekularisme yang mendasari seluruh aspek kehidupan bangsa ini! Sistem Kapitalisme yang diadopsi sebagai ideologi negara ini telah melahirkan kebebasan berkeyakinan, berperilaku, berpendapat dan memiliki harta. Inilah yang mendasari penerapan konsep hak asasi manusia (HAM). Akibatnya, semua orang termasuk remaja merasa berhak berbuat apapun, tak peduli orang lain terganggu dengan ulahnya. Perbuatan-perbuatan asusila pun sudah dianggap biasa, karena yang lain juga melakukannya. Inilah yang menjadi sumber lahirnya berbagai penyimpangan perilaku.
Sekularisme yang mewarnai sistem pendidikan menjadikan pendidikan agama hanya formalitas belaka, tidak ada strategi untuk menjadikan tuntunan agama dipahami dan berikutnya diamalkan oleh anak didik sehingga berpengaruh dalam perilaku kesehariannya. Karena itu, sistem pendidikan telah gagal menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas, yang tidak sekadar IQ-nya yang tinggi, tetapi juga memiliki iman yang kuat dalam kehidupannya.
Berkembangnya budaya permisif, serba boleh dan hedonis juga memberikan pengaruh buruk pada pembinaan generasi. Demikian pula adanya kepentingan ekonomi untuk membiarkan media menayangkan kepornoan dan kekerasan. Hal ini diperburuk dengan lunaknya sanksi bagi pelaku kriminalitas remaja sebagaimana ditetapkan dalam Rancangan Undang-undang Peradilan Anak.
Bukankah pendidikan keluarga paling mampu menghasilkan daya tahan remaja dalam menghadapi lingkungannya yang rusak?
Benar. Keluarga atau pendidikan di rumah bisa membawa pengaruh besar pada pembentukan kepribadian remaja. Keluarga bisa menjadi pembangun karakter, benteng pertahanan akhlak juga menjadi rumah sakit untuk menyembuhkan persoalan-persoalan yang dihadapi anak di luar rumah. Namun, mesin pendidikan keluarga tidak bisa berjalan sendiri. Perlu ada dukungan mesin yang berjalan di masyarakat-sekolah. Dalam hal ini, tentu yang paling berpengaruh adalah kebijakan negara yang sejalan. Bila pendidikan keluarga dianggap berpengaruh besar, harus dipastikan bahwa setiap orangtua punya kemampuan memadai untuk mendidik. Negara, harus menyiapkan perangkat kebijakan yang mendukung untuk itu. Tidak cukup dengan penyuluhan-penyuluhan berkala kepada ibu, tetapi harus terintegrasi dengan sistem pendidikan; juga harus sejalan dengan sistem sosial yang dibangun oleh negara. Misalnya, kurikulum pendidikan menengah seharusnya sudah menyertakan materi ajar untuk menyiapkan itu, terutama untuk remaja putri yang akan menjadi calon ibu karena ibu adalah pilar utama pendidikan anak di rumah. Juga ada jaminan nafkah yang diberikan oleh suami, wali dan negara bagi kaum ibu.
Bagaimana dengan kondisi saat ini? Perhatian terhadap pendidikan keluarga bertolak belakang dengan kebijakan-kebijakan lain dan prinsip-prinsip ekonomi yang dibangun oleh bangsa ini. Orientasi yang ditanamkan kepada perempuan sejak di bangku sekolah adalah orientasi materialistik. Bagaimana menyumbangkan potensi diri guna menghasilkan materi, tidak kalah dengan kiprah laki-laki. Kampanye kesetaraan jender semakin marak. Perempuan didorong untuk meninggalkan rumahnya dan menyepelekan pendidikan anak untuk berpartisipasi materi bagi pengentasan kemiskinan bangsa. Saking gencarnya upaya memfasilitasi perempuan untuk berkiprah ekonomi, seolah kesempatan kerja bagi perempuan lebih terbuka lebar dibandingkan untuk laki-laki. Berikutnya muncul masalah baru dalam rumah tangga dan pendidikan anak.
Inilah yang kita lihat sebagai masalah kompleks untuk menyelesaikan persoalan remaja. Masalahnya sistemik, bermuara pada ketidakseriusan pemerintah untuk membuat kebijakan menyeluruh menyelamatkan generasi. Pemerintah tidak serius menghilangkan hal-hal yang merusak pendidikan generasi, juga tidak sungguh-sungguh mewujudkan semua perangkat untuk pendidikan ideal bagi generasi baik di keluarga, sekolah maupun masyarakat.
Apa yang menghalangi Pemerintah membuat kebijakan tepat bagi generasi muda kita?
Paradigma negara yang bertanggung jawab penuh terhadap seluruh urusan rakyat tidak ada. Negara saat ini memerankan diri sebagai fasilitator belaka. Semua urusan rakyat dikerjasamakan dengan swasta. Agar tidak terlalu membebani negara. Istilahnya “Kemitraan Pemerintah-Swasta”. Akibatnya, sekolah mahal, kesehatan mahal, kebutuhan sehari-hari sulit diperoleh dan berikutnya rakyat hidup dalam tekanan kemiskinan, gampang stres dan mudah jatuh pada perilaku menyimpang. Lihatlah apa yang dilakukan negara saat ini! Ketika melihat ada ‘pendapatan negara’, maka semua ide, lembaga dan aktivitas apa pun akan difasilitasi adanya di tengah masyarakat. Apa sulitnya melarang semua tayangan porno, vulgar dan kekerasan? Mengapa tidak melarang media yang mengkampanyekan kebebasan, gaya hidup konsumtif dan hedonis? Jawabnya adalah karena masih diharapkan pendapatan pajak yang masuk bagi negara.
Dalam pandangan Islam, negara adalah penanggung jawab semua pemenuhan kebutuhan rakyat. Negara berparadigma melayani semua urusan rakyat, tidak menyerahkan ke swasta dan tidak berkompromi terhadap hal-hal yang buruk bagi masyarakat dengan alasan apa pun.
Negeri ini tidak memiliki kemandirian menyikapi arus global yang merusak. Terkait pembinaan generasi, ada berbagai arus global yang kontraproduktif. Belakangan nyaring disuarakan dalam berbagai forum internasional oleh UN Women, PBB dan AS agar perempuan semakin banyak berkiprah di sektor ekonomi, bahkan dicanangkan abad ini sebagai eranya perempuan full participation age for women (abad partisipasi penuh perempuan) di bidang ekonomi. Lalu siapa yang akan bertanggung jawab terhadap pendidikan anak di rumah? Jelas ini berbahaya bagi kelangsungan pendidikan generasi. Sayangnya, Indonesia juga ikut-ikutan mengadopsi rekomendasi internasional tersebut. Tampak, RUU KKG, yang banyak ditolak umat Islam karena membawa misi serupa, tetap jalan menuju UU.
Arus global lainnya adalah kampanye generasi berideologi kebebasan yang dibungkus dalam jargon memenuhi Hak-hak Anak. Inti kampanye ini, mengajari anak sejak dini agar ia bisa menuntut haknya untuk bebas berpendapat dan berperilaku. Bulan Desember besok bahkan Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Dunia untuk Hak Anak tersebut. Bisa dibayangkan apa jadinya remaja kita bila tidak ada kesadaran akan bahaya arus global ini. Semestinya negara memerankan diri sebagai pelindung/perisai agar umat terlindungi dari serangan musuh dan bahaya yang mengancam. Sabda Nabi saw., “Sesungguhnya imam/negara adalah junnah (perisai). Rakyat berlindung dan menyelamatkan diri di belakangnya.”
Lalu apa sumbangsih kaum perempuan untuk mengatasi masalah remaja?
Saat ini ada lebih dari 78 juta perempuan dewasa di negeri ini. Ini adalah potensi besar bagi pembinaan generasi, sekaligus kekuatan luar biasa untuk melakukan perubahan mendasar bagi bangsa ini.
Ada dua peran yang bisa dimainkan kaum perempuan menuju kehidupan yang lebih baik dan lahirnya generasi idaman tersebut. Pertama: Kaum perempuan yang terdidik baik dan terbina kepribadiannya bisa menjadi ibu (umm wa rabbatul bayt) bagi lahirnya generasi berkualitas. Mereka memiliki kesiapan menanamkan nilai-nilai utama bagi pendidikan anak-anaknya. Mereka juga bisa mewujudkan sikap hidup amar makruf nahi mungkar terhadap lingkungan yang rusak. Praktis ini akan mengatasi masalah remaja dengan pendidikan keluarga. Kedua: kaum perempuan secara umum adalah ibu pendidik generasi (murabbiyatul ajyal). Mereka berkewajiban untuk mendidik anak-anak umat ini menjadi generasi penerus perjuangan Islam. Mereka bertanggung jawab untuk mewujudkan sistem yang ideal bagi pembinaan generasi. Bila sistem saat ini telah nyata melahirkan potret buram generasi, maka harus ada perubahan sistem. Sistem ideal itu adalah Khilafah Islamiyah. Untuk melakukan itu, kaum perempuan bisa bergabung dalam pembinaan Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia. Bersama-sama kaum perempuan akan menyadarkan umat akan kekeliruan sistem yang berjalan saat ini, juga menunjukkan bahaya berbagai arus global yang deras menyerang umat. Berikutnya, mereka akan menjadikan abad ini adalah abad partisipasi penuh bagi tegaknya Khilafah Islamiyah. Pada masa Khilafah perempuan dimuliakan karena dedikasinya untuk pendidikan generasi dan karena kiprahnya untuk menasihati pemimpin agar selalu mengabdi untuk umat dan mengatur umat dengan syariah Allah Al-Khaliq. []