Dengan semakin dekatnya hari Pilpres Amerika kaum Muslim di Amerika Serikat menghadapi pertanyaan yang berulang sebelum mereka pergi ke kotak pemilu – kandidat mana yang paling pantas mendapatkan suara kaum Muslim-Obama atau Romney?
Sebagaimana halnya dengan politik Barat, penilaian ini dibuat dengan skala yang relatif. Maka, dikatakan bahwa meskipun Obama telah melakukan operasi drone di Pakistan yang membunuh banyak warga sipil dia lebih mendukung Palestina daripada Romney. Sebaliknya, juga diklaim bahwa meskipun Romney memiliki sikap yang lebih agresif terhadap Iran namun dia lebih mendukung nilai-nilai keluarga (yang menentang berlakunya undang-undang aborsi dan menentang undang-undang pernikahan kaum gay yang lain) dibandingkan Obama.
Hal-hal itu adalah sebagian masalah yang paling mendapat keprihatinan kaum Muslim. Namun, ditempatkannya skala relatif pada isu-isu penting ini menjadi bergantung pada negosiasi, konsesi dan akhirnya kompromi.
Bagaimana penentangan terhadap perang yang tidak dinyatakan kepada sebuah negara Islam (Pakistan) dapat dinegosiasikan untuk melawan pendudukan negeri Muslim lain (Palestina). Itu berarti bahwa untuk mendukung Palestina setidaknya perlu membenarkan perang di Pakistan. Atau untuk mendukung diberlakukannya undang-undang aborsi yang lebih ketat dan menolak pernikahan gay yang lain berarti mendukung serangan terhadap Iran.
Ini adalah pilihan palsu bagi kaum Muslim yang disajikan untuk memilih keutamaan Obama atas Romney atau keutamaan Romney atas Obama. Ini adalah logika palsu untuk terpaksa memilih satu kejahatan atau keburukan yang memiliki resiko buruk yang lebih kecil dari yang lainnya (akhoffud dhororoin/akhofusy syarrain). Logika palsu ini memaksa dikompromikannya isu-isu yang tidak bisa dinegosiasikan bagi kaum Muslim yang memiliki keyakinan dan prinsip-prinsip yang tidak berubah atas benar dan salah.
Selain itu, prinsip keharusan memilih pilihan buruk yang dianggap lebih baik ini, akan menjerumuskan masyarakat semakin menjauh dari kepada kebenaran absolut. Hingga hingga ke suatu garis yang samar tentang yang benar atau salah, yang tidak dapat dibedakan antara baik atau buruk. Romney menentang berlakunya undang-undang aborsi yang lebih bebas (freer abortion law) dan undang-undang pernikahan gay yang lain (more legislation) dan dan hal ini salah dilihat dari kacamata ‘Islami’. Di sini, dipakai kata ‘lebih bebas (freer)’ dan ‘lebih (more)’. Dalam kenyataannya, Islam memiliki undang-undang yang ketat mengenai aborsi dan benar-benar melarang hubungan gay. Prinsip harus dipilihnya salah satu pilihan buruk telah menyebabkan relativisme mengenai aborsi dan hubungan gay yang benar-benar tidak dapat diterima dalam Islam.
Prinsip keharusan memilih salah satu pilihan buruk ini adalah kelemahan, kekalahan dan fatalisme dalam politik. Ini merupakan kompromi politik dan esensi dari politik demokratis yang telah membuat gagal. Kegagalan ini tampak dari semakin banyak yang kemudian apatis dan menarik dari dari aktifitas politik demokrasi.
Para politisi tidak memiliki prinsip justru karena seluruh sistem didasarkan pada kompromi. Tidak ada rasa keadilan, keyakinan benar atau salah maupun aturan hukum. Semuanya diataur berdasarkan prinsip kompromi , untuk kepentingan pribadi dari orang-orang yang memiliki kekuatan dan yang memutuskan hukum dan perundang-undangan yang baru.
Prinsip keharusan memilih salah satu keburukan ini tidak memiliki tempat dalam khazanah kaum Muslim, yang misinya adalah untuk memimpin umat manusia dari kegelapan menuju cahaya, karena hal ini mengaburkan kegelapan dengan cahaya. Sebagai kaum Muslim, kita perlu lebih luas terlibat dengan masyarakat non-Muslim dengan prinsip-prinsip, nilai-nilai dan keyakinan yang abadi dalam Islam tanpa kompromi. Hal ini akan memperjelas kepada orang-orang atas kebenaran (Haq) pada zaman ketika dikatakan tidak ada yang absolut. (RZ; khilafah.com Current Affairs, 4 November , 2012 )
Dua-duanya pilihan palsu, tinggalkan! Seperti halnya demokrasi itu sendiri sistem palsu. Kalau pemilu demokrasi itu mengharuskan memilih, HARUS memilih, maka semakin palsu lah demokrasi palsu itu.
Siapapun juga yg terpilih hubungan dengan indonesia ya sama saja…jauh enggak dekat juga enggak…
MEDIA. Media bisa mengubah wajah seorang pimpinan (dari negara paling kriminal di dunia, pembunuh manusia paling byk, penyiksa manusia di ruang2 tahanan rahasia, perancang trik2 politik kotor di seluruh belahan bumi) menjadi bak pahlawan dan sinterklas baik hati paling di elu2kan dunia. Media pula bisa menggambarkan seorang remaja masjid yg hanya penjual obat herbal, menjadi sosok paling dicari, berbahaya dan harus diwaspadai, dan bila perlu ditembak mati seperti mengejar babi hutan. Media, akhirnya tergantung idealisme si pemiliknya. Idealisme abal-abal, murahan atau idealisme berlian bak cahaya penerang di tengah kebodohan dan kepalsuan peradaban.
Akhirnya, Mr. Obama kembali terpilih. Dan akan melanjutkan kebijakannya membunuhi kaum muslim di negri-negri Islam.
Pilihan yg tepat adalah tidak memilih, tidak memilihkan pilihan juga, karena dari keduanya tidak pantas/haram u dipilih