Organization For Economic Cooperation and Development (OECD) kembali mendorong Indonesia untuk memperkuat liberalisasi di bidang ekonomi. Dalam publikasinya OECD Review of Agricultural: Indonesia, lembaga tersebut memberikan sejumlah rekomendasi diantaranya agar Indonesia membuka lebih luas pasar produk pertanian dalam perdagangan internasional dengan mengurangi proteksi impor dan memfasilitasi penanaman modal pertanian yang lebih besar. Menurut OECD, proteksi terhadap impor akan menghambat daya saing sektor pertanian, membatasi pertumbuhan produktivitas pertanian dan meningkatkan biaya pangan untuk konsumen miskin, termasuk mayoritas petani yang merupakan pembeli neto bahan pangan pokok.
Resep Liberalisasi.
Bukan kali ini saja lembaga yang bermarkas di Prancis tersebut memberikan rekomendasi yang berbau liberal. Pada bulan september lalu misalnya dalam publikasinya OECD Economic Surveys: Indonesia, juga merekomendasikan agar pemerintah Indonesia mengurangi subsidi BBM dan listrik dan meningkatkan pendapatan dari sektor pajak. Rekomendasi lembaga tersebut sejalan dengan rekomendasi berbagai lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia.
Liberalisasi di sektor pertanian sejatinya telah berlangsung sejak lama di negeri ini. Meski demikian, praktek tersebut nampaknya dalam kacamata lembaga-lembaga asing tersebut masih dianggap belum radikal. Pasca krisis 1997/1997 misalnya berbagai resep IMF telah diterapkan sebagai barter dari pemberian utang ke pemerintah Indonesia. Melalui paket deregulasi dan privatisasi, peran Bulog sebagai lembaga stabilisasi harga sejumlah komoditas pangan dipangkas sehingga hanya terbatas pada stabilisasi harga beras. Adapun komoditas lain seperti kedelai, gula, gandum dan minyak goreng diserahkan kepada mekanisme pasar sehingga harganya bergerak liar. Selain itu, tarif perdagagan komoditas pangan juga diturunkan sebagaimana yang dikehendaki dalam perjanjian WTO. Berbagai kebijakan tersebut membuat tarif impor Indonesia menjadi sangat rendah. Menurut data International Trade Centre rata-rata tarif impor Indonesia sebesar 4,2%. Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan Brazil (11,1%), China (12,6%) dan India (12,7%).
Dampak dari tarif impor yang rendah tersebut membuat Indonesia banjir produk impor termasuk diantara komoditas pertanian. Bukan hanya gandum yang memang sulit diproduksi di negara ini, tapi juga berbagai komoditas yang semestinya mudah dikembangkan seperti buah-buahan dan sayur-mayur juga diimpor. Sebagian komoditas tersebut bahkan telah merajai pasar domestik dan menggeser produk lokal. Di saat yang sama, tarif murah tersebut menjadi disinsentif bagi produsen dalam negeri termasuk para petani untuk terus berproduksi dan meningkatkan produktivitasnya. Tidak heran jika jumlah petani sejak 2005 hingga 2011 menurut data BPS, telah berkurang hingga 2 juta orang. Agar tetap bisa bertahan hidup sebagian dari mereka terpaksa beralih profesi ke sektor lain– kebanyakan bersifat informal seperti perdagangan dan jasa kemasyarakatan (tukang ojek, tukang parkir, dll)– meski dengan pendapatan yang minim.
Di sisi lain, mengadopsi kebijakan liberalisasi pasar dengan menggantungkan supply pangan pada pasar internasional tersebut juga sangat beresiko. Pasalnya harga harga pangan di pasar global sangat fluktuatif. Faktor supply and demand pada kenyataanya lebih banyak dipengaruhi oleh faktor spekulasi dibandingkan faktor riil sebab komoditas pertanian telah menjadi komoditas spekulasi di bursa komoditas berjangka. Jika harga melambung tajam sebagaimana tahun 2008 lalu, maka pengaruhnya langsung dirasakan oleh konsumen di negara-negara importir.
Apalagi di Indonesia, komoditas pangan pangan merupakan barang yang sensitif dalam mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Menurut Susenas 2010 pengeluaran rata-rata masyarat Indonesia untuk pangan rata-rata 50,4%. Bahkan untuk penduduk miskin porsi belanja makanan mencapai 74% dari total pengeluaran mereka. Dengan adanya peningkatan harga pangan, penduduk khususnya yang miskin akan semakin kesulitan memenuhi kebutuhan pokok mereka. Akibatnya kelaparan dan malnutrsi akan meningkat sehingga kesejahteraan mereka semakin merosot.
Bagi para pengusungnya, liberalisme perdagangan dipandang sebagai sesuatu yang manis. Kompetisi akan membuat harga menjadi lebih murah sehingga menguntungkan konsumen. Oleh karena itu, menurut mereka masing-masing negara hanya dituntut untuk fokus mengembangkan komoditi yang memiliki keunggulan kompetitif. Ide ini memang terus dipromosikan oleh negara-negara barat kepada negara-negara berkembang agar mereka mau membuka pasar bagi produk impor. Namun resep tersebut tidak berlaku bagi negara-negara maju yang justru sangat protektif dengan sektor pertanian mereka. Mereka bahkan amat pemurah untuk melindungi sektor tersebut. Uni Eropa misalnya pada tahun 2010 telah mengalokasikan lebih dari 40% dari total anggaran mereka untuk sektor pertanian dan perikanan. Sementara itu, di AS melalui U.S. farm bills menggelontorkan lebih dari 20 miliar dolar subsidi langsung di sektor pertanian. Padahal di AS sendiri jumlah penduduk yang bekerja di sektor tersebut hanya sekitar 2,2 juta orang atau dua persen dari total penduduk yang bekerja pada tahun 2011. Dengan kata lain, ide tersebut merupakan jebakan negara-negara maju untuk mendominasi negara-negara berkembang.
Oleh karena itu maka rekomendasi tersebut tidak pantas untuk diadopsi. Apalagi negara seperti Indonesia, sektor pertanian masih menjadi penyangga utama perekonomian negara ini. Peran sektor pertanian di Indonesia terhadap PDB cukup besar yakni 15 persen atau terbesar kedua setelah sektor industri. Bahkan kontribusi penyerapan tenaga kerja dari sektor tersebut paling banyak yakni 39 juta orang atau 36 persen dari total tenaga kerja pada tahun 2011. Lebih dari itu, sektor pertanian sejatinya amat penting dalam membangun kekuatan suatu negara. Pasalnya, selain sebagai sumber pemenuhan kebutuhan pokok baik pangan maupun sandang, sektor pertanian juga merupakan sumber bahan baku industri dalam negeri sekaligus sebagai sumber devisa negara melalui kegiatan ekspor. Dengan demikian wajar jika negara maju sekalipun sangat melindungi sektor yang satu ini.
Dengan demikian membiarkan Indonesia hanyut dalam liberalisasi dipastikan akan sangat merugikan negara ini baik dari aspek kesejahteraan rakyatnya maupun dari aspek kemandirian negara ini. Dan di atas semua itu, liberalisasi perdagangan hakekatnya merupakan bagian dari ideologi kapitalisme yang bertentangan dengan aqidah Islam. [Muhammad ishak; Lajnah Mashlahiyah DPP HTI ]
Para perampok (UE, AS) rakus yang tidak akan pernah puas akan dunia, sebelum mulut mereka bersumpal tanah di perut bumi. Tidak punya malu! Mereka sendiri GAGAL menciptakan ekonomi yg adil, stabil, menyejahterakan masy. Tapi suka menggonggong menyuruh org mencopy sistem ekonomi-politik rusak mrk.