HTI Press, Bogor. Abdul Qodir, Lajnah Tsaqofiyah DPD 2 HTI Kota Bogor menegaskan bahwa saat ini sebagian masyarakat memaknai tahun baru hijrah sebagai hijrah qalbiyah (hati) atau individual semata, yakni menjadikan kehidupan lebih baik dari pada sebelumnya dalam konteks individu semata. Kalau pun ada pembahasan lain lebih ke arah dimensi heroik perjalanan hijrah semata. Sejatinya sebelum Rasulullah melakukan hijrah ada peristiwa-peristiwa politik yang dilakukan oleh Rasul. “Rasul melakukan tholabun nusroh (meminta perlindungan kepada pemilik kekuasaan) kepada Qobilah-Qobilah [suku-suku] yang berpengaruh di Madinah yakni agar mereka menerima dakwah Rasul dan menyerahkan kekuasaan politis mereka kepada Rasul untuk menjalankan syariat Islam,” terang Abdul Qodir pada acara Tabligh dalam rangkain kegiatan HTI Kota Bogor dalam bentuk Halqoh Islam dan Peradaban [HIP] Kota Bogor dengan tema Muharam Tonggak Penegakan Khilafah; Mewaspadai Upaya Kriminalisasi Pejuangnya.
Oleh karena itu menurut ulama Tanah Sareal ini, sejatinya hijrahnya Rasul ke Madinah lebih dominan nuansa politis, yakni pindah dari sistem kufur di Makkah menuju penerapan Islam dalam tataran Negara secara sempurna di Madinah. “Inilah sejatinya makna Hijrah. Dan ini tidak pernah atau jarang disampaikan ke masyarakat. disinilah peran penting pengemban dakwah untuk senantiasa terus melakukan dakwah dimanapun dia berada dan pada saat apapun,” jelasnya lagi.
Acara yang berlangsung di Masjid Nurul Ma’i, komplek PDAM Tirta Pakuan Bogor, pada hari Ahad (18/11) dari jam 9 hingga sebelum dzuhur, yang dihadiri lebih dari 200 orang peserta ikhwan dan akhwat dari berbagai kalangan ini menampilkan 3 orang pembicara, yakni Harist Abu Ulya (Pemerhati Kontra Terorisme/Direktur CIIA), Abdul Qodir (Lajnah Tsaqofiyah DPD 2 HTI Kota Bogor) dan Dudung (Pengacara HASMI/Pimpinan Pusat Hidayatullah).
Dalam kesempatan tersebut, Abu Ulya menjelaskan bahwa ada grand desind untuk menyudutkan para pejuang atau pengemban dakwah melalui isu terorisme. “Saat ini isu teroris dipakai oleh BNPT dan jaringannya dipakai untuk mengkriminalisasi para pengemban dakwah dan pejuang syariah,” jelas Abu Ulya.
Fakta di lapangan, menurut Abu Ulya orang yang terduga teroris dan belum dibuktikan secara hukum banyak yang dieksekusi mati dalam penangkapannya. Belum lagi adanya opini yang dikembangkan oleh BNPT terkait ciri-ciri teroris yang cenderung gegabah. “Masak orang yang celananya ngatung, jidat kepalanya ada tanda hitamnya, cita-citanya menegakkan syariah dan khilafah serta tidak sholawatan di nilai sebagai ciri-ciri seorang teroris? Ini kan sangat multitafsir dan gegabah jika menyebutkan ciri-ciri teroris seperti itu. Yang terjadi akhirnya menimbulkan saling curiga di antara masyarakat,” terang Abu Ulya.
Terlebih lagi, langkah yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam memerangi terorisme ternyata tidak lepas dari strategi Global Wor On Terorisme [GWOT] yang dikumandangkan oleh AS pasca tragedi 911 yang meruntuhkan WTC. AS menegaskan pilihan kepada setiap negara apakah ikut kami ataukah bersama teroris. “Disinilah pemerintah Indonesia ternyata memilih bersama AS memerangi terorisme. Apa indikasinya? Lahirnya UU Terorisme, lahirnya Densus 88, BNPT dan gedung pelatihan kontra terorisme di Semarang ternyata full mendapat support dari AS,” jelas Abu Ulya.
Sedangkan menurut Dudung, kasus HASMI adalah sebenarnya test case terhadap kelompok dakwah di Bogor. “Bogor adalah pusat pergerakan dan munculnya gerakan dakwah di Indonesia. Jadi kasus HASMI ingin melihat seberapa jauh reaksi yang muncul di tengah masyarakat terhadap isu terorisme ini. Dan yang lebih penting lagi ini adalah upaya stigmatisasi gerakan dakwah identik dengan terorisme. Padahal jauh panggang dari api,” jelas Dudung. []MNR