Hijrah dan Muhasabah

Tak terasa, kita kembali akan segera menyambut kedatangan tahun baru hijrah. Kita akan segera meninggalkan tahun 1433 H dan menyongsong tahun baru 1434 H. Setahun sudah waktu berlalu. Setahun sudah usia kita berkurang dibandingkan dengan setahun yang lalu. Karena itu, tentu penting bagi kita untuk melakukan semacam ‘muhasabah tahunan’, selain melakukan muhasabah bulanan, mingguan, atau harian. Bahkan idealnya setiap saat kita perlu melakukan muhasabah, yakni melakukan semacam penenungan dan mengoreksi diri sendiri; sejauh mana kita telah melakukan ketaatan kepada Allah SWT dengan melakukan banyak amal shalih sekaligus meninggalkan dosa-dosa dan maksiat; atau sejauh mana kita telah mempersiapkan bekal untuk menghadap Allah SWT di akhirat kelak. Terkait dengan itu, Baginda Rasulullah SAW pernah bersabda, “Orang yang cerdas itu adalah orang yang senantiasa memperhatikan dirinya dan beramal untuk kepentingan setelah mati. Adapun orang yang lemah adalah orang yang memperturutkan hawa nafsunya dan berangan-angan (berjumpa) dengan Allah.” (HR at-Tirmidzi, al-Baihaqi dan Ibn Abi Syaibah).

Menurut At-Tirmidzi, memperhatikan dirinya maknanya adalah menghisab dirinya (muhasabah)  di dunia sebelum dihisab pada Hari Akhir nanti. Terkait dengan itu, Umar bin al-Khaththab ra pernah berkata, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab (di akhirat nanti) dan timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang (di akhirat nanti)…Sesungguhnya penghisaban yang ringan pada Hari Kiamat nanti hanya bagi orang-orang yang biasa menghisab dirinya di dunia. Menghisab diri adalah dengan selalu berikap wara’…” (Abu Thalib al-Makki, Qut al-Qulub, I/104).

Menurut ‘Amir bin Abdillah bin ‘Abd Qays, sebagaimana dituturkan oleh Hasan al-Bashri, “Sesungguhnya manusia yang tampak paling cemerlang keimanannya pada Hari Kiamat nanti adalah yang paling keras melakukan muhasabahnya saat di dunia.” (Abu Nu’aim al-Ashbahani, Hilyah al-Awliya’, I/245).

Senada dengan itu, Maymun bin Mahran pernah berkata, “Seseorang tidak tergolong sebagai orang yang bertakwa hingga dia menghisab (mengoreksi) dirinya lebih kuat daripada menghisab (mengoreksi) kawannya hingga ia tahu darimana asal makanannya, dari mana asal pakaiannya dan dari mana asal minumannya; apakah berasal dari yang halal atau yang haram?” (Ibn al-Jauzi, Shifat ash-Shafwah, I/458).

Harits bin Asad al-Muhasibi juga pernah menyatakan, “Pangkal ketaatan adalah sikap wara’. Pangkal sikap wara’ adalah takwa. Pangkal takwa adalah muhasabah diri.” (Ibn al-Jauzi, Shifat ash-Shafwah, IV/282).

Hasan al-Bshri juga pernah menyatakan, “Sesungguhnya seorang Mukmin yang menjaga dirinya sendiri akan selalu melakukan muhasabah karena Allah SWT. Sungguh akan terasa ringan penghisaban Allah SWT atas suatu kaum yang biasa menghisab diri mereka saat di dunia.” (Ibn al-Jauzi, Shifat ash-Shafwah I/356).

 

*****

Dengan sering melakukan muhasabah diri seorang Muslim tentu akan mengetahui sejauh mana kadar ketataannya kepada Allah SWT. Saat  dirinya merasa kurang taat atau masih jauh dari ketaatan kepada Allah SWT, sejatinya ia akan terdorong untuk terus berusaha keras meningkatkan ketaatannya itu. Ia akan selalu berusaha menjalankan setiap kewajibannya, baik yang terkait dengan fardhu ‘ain (seperti shalat, shaum, zakat dan haji, menutup aurat, menuntut ilmu, berbakti kepada orang tua, mencari rezeki yang halal, melakukan dakwah fardiyah dan amar makruf nahi mungkar, dll) maupun fardhu kifayah (seperti berdakwah secara berjamaah); juga melakukan banyak amalan sunnah (seperti banyak melakukan shalat malam/tahajud, shalat dhuha dan shalat-shalat nafilah; banyak membaca Alquran dan berzikir; banyak bersedekah dan berinfak di jalan Allah SWT, dll).

Dengan muhasabah diri seorang Muslim tentu juga akan menyadari dosa-dosanya. Saat ia menyadari betapa banyak dosa-dosanya yang telah dia perbuat kepada Allah SWT, ia akan terdorong untuk segera bertobat kepada Allah SWT dengan cara banyak ber-istighfar (memohon ampunan-Nya), menyesal sedalam-dalamnya atas dosa-dosanya yang telah lalu sekaligus bertekad sekuat tenaga untuk meninggalkan dosa-dosa yang pernah ia lakukan itu.

Demikianlah, seorang Muslim sejatinya lebih banyak mengoreksi kesalahan diri sendiri daripada mengoreksi kesalahan-kesalahan orang lain. Mengoreksi kesalahan orang lain—termasuk penguasa sekalipun—tentu  penting karena termasuk ke dalam bagian amar makruf nahi mungkar yang memang telah Allah SWT wajibkan. Namun, mengoreksi kesalahan diri sendiri juga penting karena dengan itulah kita akan selalu berusaha meningkatkan ketaatan kita kepada Allah SWT sekaligus berusaha menjauhi dosa dan maksiat kepada-Nya. Itulah takwa dan itulah satu-satunya bekal saat kita menghadap Allah SWT pada Hari Kiamat nanti.

Wama tawfiqi illa bilLah. [] abi

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*