Islam tidak hanya menjadikan manusia sebagai jiwa yang harus dilindungi. Sebagai bentuk perlindungan terhadap manusia, Islam pun menjadikan rumah sebagai kehormatan yang wajib dijaga dan dilindungi. Para ulama di masa lalu telah menuturkan kebijakan Khilafah tentang pembangunan rumah tempat tinggal dengan memperhatikan prinsip tersebut. Sebut saja, kitab Kitab al-Qismah wa Ushul al-Aradhin, karya Abu Bakar al-Farfattha’i, ulama’ abad ke-5 H. Juga kitab Kitab al-I’lan bi Ahkam al-Bunyan, karya Ibn Rumi, ulama’ abad ke-8 H.
Mulai dari pemilihan lokasi, ketinggian rumah, jumlah kamar, teras, pagar hingga ventilasi pun diatur oleh Islam. Kebijakan ini telah diterapkan oleh para Khalifah di masa lalu. Soal lokasi, sebaiknya jauh dari masjid. Pertama, karena kawasan dekat masjid akan menghalangi perluasan masjid. Kedua, karena semakin jauh, semakin besar pahalanya. Termasuk kawasan yang bersih, dan lingkungan yang baik.
Ketinggian rumah pun diatur sedemikian, sehingga tidak boleh lebih dari 7 Dzira’. 1 Dzira’ = 46,2 cm, maka 7 Dzira’ = 323,4 cm atau 3,23 m. Ini batasan yang dinyatakan oleh para fuqaha’ di masa lalu. Batasan ini untuk menghindari dua hal: Pertama, kesombongan pemilik rumah. Kedua, agar tidak bisa melihat aurat tetangganya.
Demikian juga tentang jumlah kamar. Minimal, rumah yang dibangun berjumlah empat kamar. Pertama, kamar untuk suami-istri. Kedua, kamar untuk anak laki-laki. Ketiga, kamar untuk anak perempuan. Keempat, kamar untuk tamu, jika ada tamu; atau pembantu, jika mempunyai pembantu. Ini jumlah minimal kamar yang selayaknya dimiliki setiap rumah.
Pagar sebagai pelindung rumah, seharusnya tertutup, sehingga bisa menutupi penghuni yang ada di balik pagar. Karena status ruang di dalam pagar merupakan kehidupan khusus, di mana tamu yang hendak memasukinya diharuskan izin kepada penghuninya. Karena statusnya sebagai ruang khusus, atau kehidupan khusus, maka hukum bagi wanita yang berada di dalamnya, dengan kondisi pagar tertutup, sama dengan di dalam rumah. Begitu seharusnya. Jika rumah tersebut mempunyai pagar.
Yang menarik, tidak hanya itu, bahwa ventilasi rumah pun diatur. Umar bin al-Khatthab menetapkan orang yang membuat rumah untuk mengukur ketinggian posisi ventilasinya sehingga tidak bisa digunakan untuk mengintip tetangganya. Umar pernah menulis surat kepada seseorang yang membangun kamar baru yang berdekatan dengan tetangganya. Kamar itu dia beri ventilasi. Umar memerintahkan agar dia menaruh ranjang tidurnya di dekat dinding, lalu dia berdiri di atasnya, jika dia masih bisa mengintip ke rumah tetangganya, maka pembuatan ventilasi itu pun dilarang. Namun jika tidak bisa mengintip tetangganya dari ventilasi tersebut, maka diperbolehkan.
Artinya, pembuatan ventilasi tersebut diatur sedemikian oleh Khalifah agar fungsi ventilasi sebagai lubang angin benar-benar bisa dimanfaatkan sebagaimana peruntukannya, dengan syarat tidak disalahgunakan untuk mengintip tetangganya. Agar itu tidak terjadi, maka ketinggian ventilasi itu pun diatur hingga tidak terjangkau oleh ketinggian penghuninya ketika berdiri di atas ranjangnya.
Begitulah kebijakan Khilafah dalam pembangunan rumah, hingga hal-hal kecil soal ventilasi pun diatur sedemikian rupa.
Sumber: Mediaumat.com