Nafsiyah Mboi dan Kriminalisasi Sunat Perempuan
Syariah Islam kembali menuai ancaman. Kali ini berkaitan dengan masalah sunat perempuan. Wawancara menteri Kesehatan Ibu Nafsiah Mboi dengan BBC Indonesia pada Senin 26 Nopember 2012 kemarin menghasilkan pernyataan yang cukup mengundang tanya. Beliau menegaskan bahwa pemerintah Indonesia keberatan dengan praktek sunat perempuan atau female genital mutilation (FGM). Pernyataan ini beliau tegaskan terkait laporan surat kabar Inggris, The Guardian, edisi 18 November 2012, yang menyebutkan sunat dengan melukai alat kelamin anak perempuan, umum dipraktekkan, termasuk di Indonesia (www. bbc.co.uk, 26 Nopember 2012)
Sejalan dengan kampanye anti kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan yang terus digaungkan baik oleh PBB maupun LSM dan kalangan pegiat gender, pernyataan Ibu Menkes tentu menjadi angin segar. Sebab, menurut mereka sunat perempuan adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang harus dihilangkan apapun alasannya, meski dengan dalih ajaran agama (Islam). Lantas apa maksud pernyataan Ibu Menkes tersebut? Dan bagaimana pengaruhnya terhadap Islam dan kaum muslimin khususnya perempuan? Berikut analisa singkatnya.
Sunat Perempuan dalam Tinjauan Syariah
Meski telah menjadi kebiasaan pada sebagian kaum sebelum Islam, syariah Islam ternyata telah membuat pengaturan tersendiri berkaitan dengan sunat perempuan. Perkara ini telah disyariatkan, meski dengan pandangan hukum yang berbeda di kalangan para fuqaha. Menurut Syaikh Muhammad Mukhtar Asy-Syinqithi dalam kitabnya Ahkamul Jirahah Ath-Thibbiyah wa Al-Atsar al-Mutarabbatu ‘Alaiha, para fuqoha berselisih pendapat tentang status hukumnya. Setidaknya ada 3 (tiga) jenis hukum yang berkembang, yaitu wajib, sunnah dan mubah.
Pendapat yang menyatakan bahwa sunat perempuan wajib sebagaimana bagi laki-laki disampaikan oleh ulama Syafi’iyah, Hanabilah, dan sebagian Malikiyah. Sedangkan pendapat yang menyatakan bahwa sunat perempuan hanya sunnah (tidak wajib), sembari mewajibkan bagi laki-laki, disampaikan oleh Imam Ahmad dalam riwayat lain, sebagian ulama Malikiyah, dan ulama Zhahiriyah. Adapun yang berpendapat bahwa sunat perempuan hukumnya mubah sebagaimana juga bagi laki-laki adalah ulama Hanafiyah, Imam Malik, Imam Ahmad dalam satu riwayat, dan Imam Syaukani.
Meski nampak berbeda pendapat, para fuqaha sepakat bahwa sunat perempuan memang disyariatkan (masyru’) dalam Islam. Tidak ada satu pun fuqaha yang berpendapat hukumnya makruh atau haram, apalagi yang menganggap sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan atau tindakan kriminal yang harus diperangi, sebagaimana klaim kaum kafir, kaum liberal dan pegiat gender saat ini.
Pensyariatan sunat perempuan, didasarkan pada sabda Nabi Saw. kepada para perempuan Anshar,“Hai para perempuan Anshar…hendaklah kamu berkhitan dan janganlah kamu berlebihan dalam memotong.” (HR Al-Bazzar. Hadis sahih. Syaikh Al-Albani, Silsilah Ash-Shahihah, 2/221).
Nabi Saw. juga pernah bersabda kepada perempuan tukang khitan,“Jika kamu mengkhitan [perempuan], maka hendaklah kamu sisakan dan janganlah kamu berlebihan dalam memotong.” (HR Abu Dawud. Hadis sahih. Syaikh Al-Albani, Silsilah Ash-Shahihah, 2/344).
Demikianlah pandangan syariah tentang sunat perempuan. Aktivitas ini tidak pernah dipandang sebagai kezhaliman kepada perempuan karena dilakukan dengan metode yang sangat menghargai hak-hak perempuan, berbeda dengan kebiasaan sunat kaum di luar Islam. Dengan demikian, pelaksanaan sunat perempuan dalam koridor syariah seharusnya bukan menjadi persoalan yang perlu mendapat tantangan. Terkecuali bagi kalangan yang memiliki niat buruk hingga harus menggugat hukum syariah yang sebenarnya melindungi perempuan.
Tarik Ulur Kebijakan Sunat Perempuan
Pemerintah Indonesia sendiri pernah melarang sunat perempuan melalui keluarnya Surat Edaran (SE) Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes RI Nomor HK 00.07.1.31047 a, tertanggal 20 April 2006, tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan bagi Petugas Kesehatan hampir sebagian besar bayi perempuan tak lagi dikhitan (disunat). Menurut surat edaran itu, sunat perempuan tidak bermanfaat bagi kesehatan, justru merugikan dan menyakitkan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun akhirnya merespon pelarangan tersebut dengan mengeluarkan Keputusan Fatwa Nomor 9A Tahun 2008. Menurut Fatwa MUI ini, sunat perempuan adalah makrumah (memuliakan) dan pelarangan sunat perempuan dianggap bertentangan dengan syiar Islam.
Setelah desakan ini, Kementerian Kesehatan melalui Peraturan Menkes Nomor 1636 Tahun 2010 kemudian menarik kebijakan pelarangan sunat perempuan dan menyetujui serta mendorong pelaksanaan sunat perempuan. Permenkes ini kemudian merinci tahap demi tahap yang harus dilakukan agar praktik sunat bagi perempuan dilakukan dalam rangka perlindungan perempuan, dilakukan sesuai dengan ketentuan agama, standar pelayanan, serta standar profesi untuk menjamin keamanan dan keselamatan perempuan yang disunat.
Pada 26 Nopember 2012 kemarin Majelis Umum PBB ternyata mengeluarkan resolusi pertamanya terkait pengecaman atas female genital mutilation (FGM) atau sunat perempuan. Di tengah desakan tersebut, pernyataan Menkes yang menolak praktek yang dianggap merugikan perempuan ini tentu berpeluang menjadi jalan baru bagi kebijakan pelarangan kembali sunat perempuan. Bak gayung bersambut, kalangan liberal dan pegiat gender -yang selalu mengungkit masalah ini dalam setiap kesempatan- kembali mendapatkan dukungan. Dan hukum Islam pun kembali digugat.
Menggugat sebagian hukum syariah adalah perkara lumrah bagi kampanye anti kekerasan dan diskriminasi yang mereka lakukan. Tak tanggung-tanggung, demi menghilangkan hambatan yang datangnya dari ajaran agama, mereka menggunakan instrumen ‘ulama’ untuk menandingi pendapat mayoritas ulama sholih yang mendukung pensyariatan sunat perempuan. Maka lahirlah pemelintiran hukum Islam berupa pengharaman sunat perempuan. Padahal, bagaimana mungkin syariat yang pernah dijalankan Rasulullah Saw ini keliru dan memudharatkan perempuan sehingga harus dibuang.
Dan, bukankah Allah SWT berfirman :
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (TQS. Al Maidah [5] : 50)
Namun, begitulah watak kaum liberal yang gemar mengubah hukum. Dan, inilah saat yang ditunggu-tunggu. Melalui momentum seperti ini bukan tidak mungkin Menkes akan meninjau ulang kebijakan yang membolehkan sunat perempuan, untuk kemudian mengikuti desakan kaum kafir dan liberal meski harus berhadapan dengan syariah Islam.
Sunat perempuan adalah satu dari sekian pintu yang tengah didobrak oleh kalangan feminis dan liberal untuk menghapus kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Bagi kalangan ini, teks-teks agama klasik yang tidak lagi sesuai dengan kemodernan dan tuntutan zaman adalah bagian yang harus ditinggalkan. Mereka tak peduli, bahwa kezhaliman yang dirasakan perempuan sesungguhnya terjadi karena penyimpangan terhadap hukum syariah. Sebagaimana praktek sunat perempuan di beberapa negara yang berakibat pada derita perempuan, itu semua terjadi karena mereka menyimpang dari ketentuan syariah dalam melaksanakan sunat perempuan.
Inilah tantangan dan ancaman yang dihadapi oleh agama yang dibawa Rasulullah Saw. Islam bukan hanya menghadapi kondisi manusia yang tertindas. Tapi juga menghadapi para penyeru kebatilan yang kian berani menggugat risalah yang agung itu.
Ancaman yang datang silih berganti tersebut seharusnya semakin menguatkan komitmen kaum muslim untuk bersegera mewujudkan Khilafah Islam. Sebab, hanya sistem ini yang mampu menjadi benteng pertahanan hukum syariah. Sistem ini pula yang akan mengeluarkan manusia dari ketertindasan menuju kehidupan yang sejahtera dan membahagiakan. Hingga tidak ada lagi fitnah yang menyerang Islam dan manusia kembali mendapatkan kemuliaannya. Semoga kita termasuk orang-orang yang berkomitmen mewujudkannya. Aamiin. [] Noor Afeefa