Amir Sementara dan Kewenangannya

Oleh: Muhammad Bajuri Pengantar

Khalifah adalah manusia. Ia makhluk sebagaimana makhluk-makhluk Allah SWT lainnya yang telah ditetapkan ajalnya. Kapan saja ia bisa meninggal dunia. Khalifah adalah manusia biasa, bukan malaikat. Ia bisa saja melakukan perbuatan maksiat yang mengharuskannya dipecat. Lalu bagaimana ketika jabatan Khilafah kosong karena Khalifahnya meninggal atau dipecat? Siapa yang akan menangani urusan kaum Muslim hingga khalifah baru dibaiat?

Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam Pasal 33 tentang penetapan amir sementara dan kewenangannya, yang berbunyi:

 

Diangkat amir sementara untuk menangani urusan kaum Muslim dan melaksanakan proses pengangkatan khalifah yang baru setelah kosongnya jabatan khilafah sebagai berikut: (a) Khalifah sebelumnya, ketika merasa ajalnya sudah dekat atau bertekad untuk mengundurkan diri, ia memiliki hak menunjuk amir sementara; (b) Jika Khalifah meninggal dunia atau diberhentikan sebelum ditetapkan amir sementara, atau kosongnya jabatan Khilafah bukan karena meninggal atau diberhentikan, maka Mu’âwin (Mu’âwin at-Tafwîdh) yang paling tua usianya menjadi amir sementara, kecuali jika ia ingin mencalonkan diri untuk jabatan Khilafah, maka yang menjabat amir sementara adalah Mu’âwin (Mu’âwin at-Tafwîdh) yang lebih muda, dan seterusnya; (c) Jika semua Mu’âwin (Mu’âwin at-Tafwîdh) ingin mencalonkan diri, maka Wuzarâ’ at-Tanfîdz yang paling tua usianya menjadi amir sementara. Apabia ia ingin mencalonkan diri, maka yang lebih muda berikutnya dan demikian seterusnya; (d) Jika semua Wuzarâ’ at-Tanfîdz ingin mencalonkan diri untuk jabatan Khilafah, maka amir sementara dibatasi pada Wuzarâ’ at-Tanfîdz yang paling muda usianya; (e) Amir sementara tidak memiliki wewenang melegislasi hukum; dan (f) Amir sementara menggunakan seluruh potensi yang dimilikinya untuk melaksanakan secara penuh proses pengangkatan Khalifah yang baru dalam tempo tiga hari. Tidak boleh diperpanjang waktunya kecuali karena sebab yang memaks, dan itu atas persetujuan Mahkamah Mazhâlim.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 135-136).

Amir Sementara

Amir sementara (al-amîr al-muaqqat) adalah seorang yang bertanggung jawab menangani urusan kaum Muslim selama jangka waktu proses pengangkatan khalifah yang baru. Amir sementara memulai tugasnya langsung setelah khalifah sebelumnya wafat atau dipecat. Tugas pokoknya adalah melangsungkan pemilihan khalifah baru dalam jangka waktu tiga hari. Pembatasan masa tiga hari ini diambil dari ketetapan Khalifah Umar ra., yang dengan jelas dikemukakan dalam Tarikh al-Umam wa al-Muluk. Disebutkan bahwa Khalifah Umar ra. Berkata, “Apabila saya meninggal, bermusyawaralah kalian selama tiga hari. Hendaklah Shuhaib yang mengimami shalat masyarakat sehingga tidaklah datang hari keempat, kecuali kalian sudah harus memiliki amir (khalifah).” (Ath-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, II/581).

Jabatan amir sementara berakhir dengan sempurnanya pengangakatan khalifah baru. Alsannya, karena tugasnya memang hanya sementara waktu, yakni untuk kepentingan pengangkatan khalifah yang baru tersebut.

Amir sementara (al-amîr al-muaqqat) berbeda dengan orang yang ditunjuk Khalifah untuk mewakilinya ketika ia keluar untuk melaksanakan jihad, atau keluar melakukan perjalanan. Hal ini sebagaimana yang diperbuat oleh Rasulullah saw. setiap kali beliau keluar untuk berjihad, atau seperti ketika beliau hendak melaksanakan Haji Wada’, atau yang semisalnya. Orang yang diangkat dalam kondisi ini, wewenangnya sesuai dengan yang ditentukan oleh Khalifah dalam menjalankan pengaturan berbagai urusan (ri’âyah asy-syu’ûn) yang dituntut oleh penunjukan wakil itu (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 136-137; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 29-31).

Dalil Penunjukan Amir Sementara

Dalil terkait penunjukan atau pengangkatan amir sementara (al-amîr al-muaqqat) ini adalah didasarkan pada tindakan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. yang menunjuk Shuhaib untuk mengurusi proses pengangkatan khalifah yang baru saat beliau sakit keras akibat ditikam. Tindakan Umar ra. ini disaksikan oleh para Sahabat senior—semoga Allah senantiasa meridhai mereka semua—dan tidak seorang pun dari mereka yang mengingkarinya. Dengan demikian, mereka telah berijmak atas hal ini.

Umar ra. berkata kepada keenam kandidat:

« فَإِذَا مُتُّ فَتَشَاوَرُوا ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ صُهَيْبٌ وَلاَ يَأْتِيَنَّ اليَوْمُ الرَّابِعُ إِلاَّ وَعَلَيْكُمْ أَمِيْرٌ مِنْكُمْ ».

Apabila saya meninggal, bermusyawaralah kalian selama tiga hari,  dan hendaklah Shuhaib yang memimpin shalat orang-orang sehingga tidaklah datang hari keempat, kecuali kalian sudah harus memiliki amir (khalifah).” (Ath-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, II/581).

 

Kemudian Umar ra. berkata kepada Shuhaib ra.:

 

« صَلَّ بِالنَّاسِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ …. فَإِنِ اجْتَمَعَ خَمْسَةٌ وَرَضُوا رَجُلاً وَأَبَى وَاحِدٌ فَاشْدَخْ رَأْسَهُ ».

 

Pimpinlah shalat orang-orang selama tiga hari…Jika lima orang telah bersepakat dan meridhai seseorang (untuk menjadi khalifah), lalu ada satu orang yang menolak, maka penggallah kepala orang yang menolak itu dengan pedang (Ath-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, II/581).

 

Ini artinya, Shuhaib telah ditunjuk sebagai amir bagi mereka. Bahkan ia telah ditunjuk sebagai pemimpin shalat. Kepemimpinan shalat itu maksudnya adalah kepemimpinan atas masyarakat. Begitu juga karena ia telah diberi wewenang menjalankan uqûbat (sanksi), yaitu “penggallah lehernya”, sementara tidak ada yang boleh melaksanakan pembunuhan itu kecuali seorang amir.

Apa yang dilakukan oleh Umar ra. benar-benar terjadi dan disaksikan oleh para Sahabat senior tanpa ada seorang pun yang mengingkarinya. Dengan demikian, mereka telah berijmak bahwa Khalifah memiliki hak untuk menunjuk amir sementara yang akan mengurusi proses pengangkatan Khalifah yang baru. Atas dasar itu pula, semasa hidupnya Khalifah memiliki hak untuk melegislasi pasal yang menetapkan bahwa jika Khalifah meninggal dan belum menunjuk amir sementara untuk mengurus proses pengangkatan Khalifah yang baru, maka hendaklah ada salah seorang yang menjadi amir sementara (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 136-137; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 29-31).

 

Yang Menjadi Amir Sementara

Berdasarkan penjelasan di atas, yang menjadi amir sementara adalah orang yang ditunjuk oleh Khalifah ketika Khalifah merasa bahwa hidupnya sudah tidak lama lagi, seperti yang dilakukan oleh Umar bin Khaththab ra. Namun, jika Khalifah selama sakitnya hingga ajal menjemputnya tidak menunjuk amir sementara, maka yang menjadi amir sementara adalah Mu’âwin at-Tafwîdh (pembantu Khalifah dalam bidang pemerintahan) yang paling tua usianya. Apabia ia ingin mencalonkan diri atau dicalonkan, maka yang lebih muda berikutnya dan demikian seterusnya.

Apabila semua Mu’âwin at-Tafwîdh mencalonkan diri atau dicalonkan, maka yang menjadi amir sementara adalah Wazîr at-Tanfîdz (pembantu Khalifah dalam bidang administrasi) yang paling tua usianya. Apabia ia juga ingin mencalonkan diri atau dicalonkan, maka yang menjadi amir sementara adalah yang lebih muda berikutnya dan demikian seterusnya. Namun, jika semua Wazîr at-Tanfîdz mencalonkan diri atau dicalonkan, maka Wazîr at-Tanfîdz yang paling muda usianya harus menjadi amir sementara. Kondisi ini berlaku juga ketika Khalifah dipecat (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 136-137; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 29-31).

Ketentuan ini pun berlaku dalam kondisi ketika Khalifah menjadi tawanan musuh, meski dalam kondisi ini ada beberapa rincian terkait kewenangan amir sementara, yakni ketika Khalifah ada kemungkinan untuk diselamatkan, dan ketika Khalifah tidak ada memungkinkan untuk diselamatkan. Kewenangan amir sementara dalam kondisi seperti ini nanti akan diatur melalui undang-undang (Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 31).

 

Kewenangan Amir Sementara

Sebagaiman diketahui, Pasal 33 Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam Pasal 33 berbunyi: “Diangkat amir sementara untuk menangani urusan kaum Muslim dan melaksanakan proses pengangkatan khalifah yang baru setelah kosongnya jabatan Khilafah.” Ini kemudian dipertegas pada poin (f), yaitu “Amir sementara menggunakan seluruh potensi yang dimilikinya untuk melaksanakan secara penuh proses pengangkatan Khalifah yang baru dalam tempo tiga hari. Tidak boleh diperpanjang waktunya kecuali karena sebab yang memaks, dan itu atas persetujuan Mahkamah Mazhâlim.

Berdasarkan ketentuan ini, kewenangan amir sementara (al-amîr al-muaqqat) itu jelas, yaitu mengurusi urusan kaum Muslim, khususnya proses pengangkatan khalifah yang baru, agar proses itu berjalan sempurna dan tepat waktu.

Dengan demikian terkait dengan persoalan ini, amir sementara (al-amîr al-muaqqat) tidak boleh mengadopsi (melegislasi) suatu hukum, sebab pengadopsian hukum itu adalah bagian dari wewenang khalifah yang dibaiat oleh umat. Bahkan kewenangan Khalifah ini menjadi fondamen atau pilar sistem pemerintahan yang keempat, yakni: “Khalifah saja yang berhak mengadopsi hukum syara’ dan melegislasi konstitusi.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 109).

Selain itu, alasan ketidakbolehannya amir sementara (al-amîr al-muaqqat) mengadopsi (melegislasi) suatu hukum adalah karena sifat kewenangannya yang sementara dan dibatasi oleh waktu.

Amir sementara (al-amîr al-muaqqat) juga tidak boleh mencalonkan diri untuk jabatan Khilafah atau mendukung salah seorang calon yang ada. Sebab, Umar bin Khaththab ra, telah menunjuk amir sementara itu dari selain orang yang dicalonkan untuk menduduki jabatan Khilafah (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 136; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 30).

Dengan Pasal 33 ini, insya AlLâh, kondisi menyakitkan yang tengah dialami kaum Muslim seperti sekarang ini, saat kurang lebih sudah 89 tahun kaum Muslim hidup tanpa Khilafah—sehingga  kehidupan yang seharusnya penuh berkah menjadi kehidupan yang diselumuti musibah demi musibah—tidak akan terjadi lagi. Syaratnya Khilafah harus sudah tegak terlebih dulu. Untuk itu, kami berdoa kepada Allah SWT, semoga tahun 1434 H ini menjadi akhir kaum Muslim hidup tanpa Khilafah dan sekaligus awal mereka kembali hidup di bawah naungan sistem Khilafah ‘ala minhâj an-Nubuwwah. Ketika itulah orang-orang beriman baru akan merasakan hidup bahagia. WalLâhu a’lam bish-shawâb. []

 

 

Daftar Bacaan

  • Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah (fi al-Hukm wa al-Idârah), (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.
  • An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
  • Ath-Thabari, Muhammad bin Jarir Abu Ja’far, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, (Beirut: Darul Kurub al-Ilmiyah), Cetakan I, 1985.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*