Ada yang menyatakan kalau masyarakat Muslim Indonesia makin tidak toleran, menurut Ustadz?
Memang, sidang Universal Periodic Review (UPR II) Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, Mei lalu, menyebut Indonesia intoleran. Tudingan ini didasarkan pada adanya sejumlah kasus yang kebetulan mencuat ke level internasional seperti konflik Ahmadiyah, GKI Yasmin, kasus HKBP Ciketing dan lainnya.
Tudingan itu tentu wajib dipertanyakan. Apa tolok ukurnya? Kalau ukurannya adalah kasus Ahmadiyah, maka harus dipahami bahwa inti dari persoalan Ahmadiyah adalah penistaan terhadap Islam. Seandainya Ahmadiyah merupakan agama tersendiri pasti tidak dipersoalkan oleh umat Islam Indonesia. Kasus GKI Yasmin Bogor, Jawa Barat, juga tidak bisa dijadikan ukuran intoleransi. Lihatlah, ada banyak sekali gereja yang telah berdiri, dan selama ini tidak pernah dipersoalkan. Kasus GKI Yasmin bukanlah soal toleransi dan kebebasan beragama, tetapi soal penipuan.
Jika yang dijadikan ukuran adalah protes konser Lady Gaga dan feminis Irsyad Manji, maka tidak ada satu pun bangsa di dunia ini yang mau tatanilainya dirusak orang lain. Kalau ukurannya HAM di Papua, mengapa TNI, Polri dan imam masjid yang tewas di sana tidak dipersoalkan sebagai kasus pelanggaran HAM?
Yang pasti, Indonesia lebih baik toleransinya ketimbang Swiss yang tidak membolehkan pendirian menara masjid. Indonesia lebih baik dari Prancis yang melarang niqab atau burdah; juga lebih baik dari Denmark, Swedia dan Norwegia yang sama seperti Prancis melarang niqab dan tak menghormati agama karena di sana ada UU perkawinan sejenis.
Salah satu lembaga Survey memaparkan hasil surveynya bahwa intoleransi di negeri ini meningkat. Bagaimana komentar Ustadz?
Memang, Lembaga Survey Indonesia (LSI) pada 21 Oktober lalu merilis hasil survei yang mengungkap fakta yang menurut mereka merupakan indikakasi dari meningkatnya sikap intoleransi. Menurut mereka, sikap intoleran itu ditunjukkan dengan ketidaknyamanan terhadap perbedaan agama, juga perbedaan orientasi seksual seperti homoseksualitas dan lesbianisme.
Kesimpulan itu jelas bermasalah, karena sejak dari awal penggunaan istilah intoleransi juga sudah bermasalah. Istilah toleransi atau intoleransi bukan merupakan sekadar fakta, tetapi mengandung penilaian baik dan buruk. Sikap toleransi dianggap sebagai hal yang baik, sementara intoleransi dianggap sebagai hal yang buruk.
Dalam kerangka ini sikap responden dalam masalah personal dan menyangkut keyakinan seperti menolak anggota keluarga yang menikah dengan pemeluk agama lain, tidak setuju terhadap pindah agama, tidak setuju aliran sesat, menolak pendirian rumah ibadah agama lain, atau yang tidak setuju terhadap mereka yang tidak beragama disebut sebagai intoleran.
Sama halnya ketika hasil survei menyatakan sikap menolak Ahmadiyah dan aliran sesat sebagai tidak toleran, seakan-akan sikap seperti itu adalah buruk. Sebaliknya, kalau menyetujui pernikahan dengan agama lain, menyetujui lesbianisme dan homoseksualitas dan pindah agama serta tidak setuju terhadap pembubaran Ahmadiyah, adalah sikap yang baik, karena merupakan tindakan yang toleran.
Padahal adalah hal yang wajar saja kalau responden Muslim bersikap seperti itu. Seorang Muslim memang seharusnya tidak boleh menerima hal-hal yang bertentangan dengan akidah dan syariah Islam seperti haramnya seorang wanita Muslimah menikah dengan pria non-Muslim, atau keluar dari Islam (murtad). Seorang Muslim juga tidak boleh menerima perilaku korupsi, suap menyuap, rekayasa kasus, homoseksualitas dan lesbianisme karena semua itu adalah kemungkaran yang bertentangan dengan syariah Islam.
Adapun sikap Muslim terhadap penolakan rumah ibadah agama lain, bukanlah berarti menolak kebolehan atau kebebasan beribadah bagi agama lain. Hal ini adalah dua hal yang berbeda. Buktinya di Indonesia berdiri banyak gereja, di kota-kota besar, di pinggir-pinggir jalan juga terdapat gereja-gereja megah yang sudah ada sejak jaman Belanda. Toh, selama ini aman-aman saja. Yang dipersoalkan umat Islam pendirian bangunan gereja yang ilegal, tidak sesuai aturan, dan yang melakukan gerakan-gerakan misionaris atau pemurtadan.
Benarkah di Indonesia pembangunan gereja terhambat? Kenyataannya, jumlah gereja terus bertambah. Menurut Kepala Badan Litbang Departemen Agama, Atho Mudzhar, pertumbuhan gereja yang terjadi sejak 1977 hingga 2004 justru meningkat lebih besar dibandingkan dengan masjid. Rumah ibadah umat Islam pada periode itu hanya meningkat 64,22 persen, sedangkan Kristen Protestan 131,38 persen dan Kristen Katolik meningkat hingga 152 persen.
Laporan Majalah Time juga menunjukkan hal senada. Dalam tulisan yang berjudul, “Christianity’s Surge in Indonesia,” majalah itu menunjukkan bahwa semangat peribadahan pemeluk Kristen di Indonesia terus meningkat. Bukan hanya di gereja resmi, mereka juga ramai-ramai beribadah di gereja-gereja tidak resmi, di hotel-hotel dan mal, bersaing dengan para pengunjung yang meningkat di akhir pekan. Di Ibukota Jakarta sekarang tengah dibangun ‘megachurches’, sebuah gereja megah dengan menara yang menjulang tinggi ke langit. Patung Yesus Kristus tertinggi dibangun pada tahun 2007 di kota Manado di Indonesia Timur. Ada pula TV kabel Indonesia yang menyiarkan dakwah Kristen 24-jam terus-menerus.
Dalam masalah Ahmadiyah, yang dipersoalkan umat Islam adalah klaim Ahmadiyah sebagai bagian dari agama Islam. Padahal Ahmadiyah menistakan prinsip-prinsip pokok (akidah Islam), seperti pengakuan Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah Rasulullah Muhammad saw. Hal ini tentu tidak mungkin dibiarkan begitu saja. Sekali lagi, seandainya Ahmadiyah merupakan agama tersendiri pasti tidak dipersoalkan oleh umat Islam Indonesia.
Jadi ada apa dibalik kesimpulan meningkatnya intoleransi seperti di atas?
Penggunaan istilah intoleran, termasuk dalam kesimpulan survei itu, terdapat kecenderungan yang jelas, bahwa yang dijadikan dasar penilaian toleransi atau tidak adalah pemikiran liberal (HAM). Sikap umat Islam yang berpegang teguh pada agamanya disebut tidak toleran karena bertentangan dengan HAM.
Cara seperti ini bukan tanpa sengaja. Lihatlah dokumen Rand Corporation berjudul Civil Democratic Islam, Partners, Resources and Strategies yang ditulis oleh Cheryl Benard. Di sana disebutkan, ada beberapa ide yang harus terus-menerus diangkat untuk menjelekkan citra Islam: perihal demokrasi dan HAM, poligami, sanksi kriminal, keadilan Islam, isu minoritas, pakaian wanita, dan kebolehan suami untuk memukul istri.
Jadi, jelas sekali itu merupakan paket untuk menyudutkan Islam, khususnya di Indonesia. Bila dipikir dengan nalar sehat, agama mana yang memperkenankan perkawinan sejenis serta membolehkan lesbianisme dan homoseksualitas?
Ada kesan umat Islam selalu jadi pelaku intoleransi dan umat lain selalu sebagai korban?
Itulah yang kita tidak habis mengerti. Sebenarnya, umat Islam Indonesia ini bukan hanya sangat toleran, bahkan terlalu toleran. Demikian tolerannya umat Islam di Indonesia, membuat umat non-Muslim bisa hidup dan bergerak leluasa di negeri ini, termasuk dalam mengembangkan agamanya. Lihatlah bagaimana pertumbuhan gereja bahkan lebih tinggi dari pada pertumbuhan masjid. Umat non-Muslim yang jumlahnya hanya sekitar 15% pun kini banyak yang bisa jadi anggota DPR atau pejabat seperti walikota/bupati, gubernur, menteri, bahkan gubernur bank sentral dan panglima TNI. Ini hanya terjadi di Indonesia. Silakan bandingkan dengan negeri lain saat umat Islam menjadi minoritas. Di Singapura, misalnya, yang jumlah umat Islam di sana hampir sama dengan jumlah non-Muslim di sini, namun nasibnya sangat beda dengan umat non-Muslim di Indonesia. Dalam kabinet sekarang ini, hanya ada satu menteri Muslim, itupun bukan di pos strategis, yakni menteri pemuda dan olahraga. Di Filipina lebih parah lagi. Sejak merdeka hingga sekarang, tak lebih 10 orang Muslim di sana yang menjadi anggota senat. Jangan lagi jadi pejabat apalagi menteri. Umat Islam minoritas di Thailand Selatan atau di Rohingya, Burma bahkan hingga sekarang masih terus hidup tertindas. Mana itu suara Dewan HAM PBB terhadap semua penindasan itu?
Mengapa kasus-kasus intoleransi terhadap umat Islam tidak dianggap intoleransi? Ada apa di balik kesimpulan tidak fair itu?
Itu semua menunjukkan kelemahan dan ketertindasan. Meski masyoritas, umat Islam di Indonesia tidak lagi memiliki sesuatu yang bisa membuat orang segan dan takut bertindak semena-mena.
Ini memang kenyataan yang sungguh aneh. Bagaimana mungkin, umat mayoritas justru ditindas oleh yang minoritas. Seolah ingin dikatakan, intoleransi boleh saja terjadi pada umat mayoritas, tetapi sekali-kali tidak boleh terjadi pada umat minoritas. Perlakuan zalim semacam ini tentu sangat merugikan rakyat negeri ini yang mayoritas Muslim.
Kelemahan itu disebabkan oleh rendahnya kualitas umat Islam itu sendiri dan kenyataan bahwa negara ini memang tidak didirikan untuk melindungi umat Islam. Jadi, ketika umat Islam tertindas, negara tidak sigap melindunginya.
Penindasan ini juga terjadi akibat lemahnya para pejabat atau penguasa negeri ini yang notabene kebanyakan dari mereka adalah muslim. Lihatlah dalam kasus-kasus yang menimpa kaum minoritas, para pejabat itu cepat sekali bertindak. Dalam kasus HKBP Ciketing Bekasi beberapa waktu lalu, misalnya, Presiden dan sejumlah menteri dengan sikap memberikan perhatian khusus kepada pendeta dan jemaat HKBP yang dirawat di rumah sakit. Sebaliknya, mereka tak peduli sama sekali dengan warga Bekasi Muslim yang juga terluka dan dirawat di rumah sakit. Bahkan salah seorang dari 9 warga Bekasi yang terlibat bentrokan justru ditangkap saat sedang dirawat di sebuah rumah sakit akibat luka sabetan senjata tajam jemaat HKBP.
Lalu apakah Islam juga mengatur masalah toleransi itu?
Islam membedakan antara kebebasan dan kemungkaran. Beragama selain Islam itu boleh, karena ini termasuk kebebasan yang dijamin oleh Islam. Mereka juga boleh membangun tempat ibadah dan beribadah di tempat ibadah itu. Umat Islam harus toleran terhadap mereka. Namun, ketika mereka mengajak orang Islam untuk masuk ke dalam agama mereka (murtad), atau menyebarkan paham sekular seperti kapitalisme, demokrasi, sosialisme, komunisme, maka ini termasuk kemungkaran yang harus dicegah. Kalaulah ini disebut kebebasan, maka ini jenis kebebasan yang dilarang, sebagaimana juga homoseksualitas, lesbianisme, pornografi dan pornoaksi serta penyebaran paham-paham yang bertentangan dengan akidah dan syariah Islam. Umat Islam, dengan alasan apapun, termasuk alasan HAM, tidak boleh membiarkan kemungkaran itu terjadi di tengah masyarakat.
Islam juga membedakan antara ikhtilaf (perbedaan) dan inhiraf (penyimpangan). Ikhtilaf dalam masalah furu’ (cabang) seperti tentang perbedaan dalam detil tatacara shalat atau perbedaan dalam pemikiran menyangkut fakta ilmu (alam) itu dibolehkan. Sebaliknya, inhiraf dalam masalah ushul (pangkal) seperti soal kenabian Muhammad saw. dan pemikiran tentang kebenaran Islam atau penyimpangan perilaku seperti lesbianisme dan homoseksualitas itu tidak bisa diterima. Jadi, kita harus toleran dalam masalah ikhtilaf, tetapi harus tegas menolak dalam masalah inhiraf.
Bagaimana Islam memposisikan orang yang berbeda agama?
Sistem Islam dengan syariahnya diturunkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia, baik Muslim maupun non Muslim. Dalam sistem Islam, warga negara non-Muslim disebut sebagai ahl–dzimmi. Mereka diperlakukan sama dengan warga Muslim. Dijamin hak mereka untuk tetap memeluk agama mereka, termasuk dijamin kebebasan dalam beribadah. Tidak boleh mereka dipaksa untuk mengikuti tata cara ibadah dalam Islam sebagaimana mereka sekarang memaksa Muslim untuk mengikuti seremoni ibadah mereka.
Menyangkut perlindungan terhadap ahl-dzimmah diterangkan oleh Rasulullah saw. “Siapa saja membunuh mu’ahid (orang kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang haq tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun.” (HR Ahmad).
Menurut Imam Qarafi, “Kaum Muslim memiliki tanggung jawab terhadap para ahludz-dzimmah untuk menyantuni, memenuhi kebutuhan kaum miskin mereka, memberi makan mereka yang kelaparan, menyediakan pakaian, memperlakukan mereka dengan baik, bahkan memaafkan kesalahan mereka dalam kehidupan bertetangga…”
Berkenaan dengan keadaan non-Muslim dalam masyarakat Islam, T.W. Arnold menulis dalam bukunya, The Preaching of Islam, “Perlakuan terhadap warga Kristen oleh pemerintahan Ottoman—selama kurang lebih dua abad setelah penaklukkan Yunani—telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa…” []
seharusnya mereka yang menganggap Islam tidak toleran ngaca diri, justru yang sering membuat kisruh mereka, fitnah, pembantaian di kelompok minoritas
seandainya Islam tidak mengajarkan toleransi, tidak ada tempat dinegeri kami orang kafir. Islam agama kesucian segalanya diatur oleh pemilik Arsy Yang Maha Agung Allah SWT, seandainya hal yang menjijikan(homosek/lesbian dsb) j menjadi persoalanl intoleransi berarti mereka itu tidak faham tentang kesucian, Subhanallah Islam agama yang penuh kedamaian,kesucian dan penuh toleransi. Wallahu alam.