Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mencatat dua wilayah di Indonesia yang mengalami konflik lahan dengan angka tertinggi pada periode Januari-April 2012. “Yang paling tinggi ada di Riau dan Sumatera Utara,” ujar Deputi Direktur Pengembangan Sumber Daya Hak Asasi Manusia, Zainal Abidin, dalam diskusi Minggu, 3 Juni 2012 di Jakarta. (Tempo.com, 04/06/ 2012)
Beberapa sengketa lahan antara warga dengan pengelolah di SUMUT diantaranya; warga Desa Sei Mencirim, Kutalimbaru, Deli Serdang, versus PTPN II, Kelompok Masyarakat Padang Halaban dan sekitarnya versus PT. SMART di Padang Halaban Labura, dimana satu warga (Usmanto) diduga ditembak aparat Kepolisian, dan antara Kelompok Tani Torang Jaya Mandiri (KTTJM) versus PT. Sumatera Riang Lestari (PT.SRL)) dan PT. Sumatera Silva Lestari (PT.SLL) di Desa Tobing Tinggi, Kecamatan Aek Nabara Barumun, Padang Lawas, Sumut. (Analisa,02/07/2012)
Konflik yang diakibatkan sengketa lahan ini cukup membuat POLDA SUMUT kewalahan. Hal itu disebabkan karena sebagian besar kasus lahan bukan masuk ranah hukum pidana melaikan perdata. Demikian dikatakan Direktur Reserse Kriminal Khusus Poldasu, Kombes Pol Sadono Budi Nugroho ketika dikonfirmasi Analisa melalui telepon selulernya, Senin (28/5) malam. Kombes Sadono meminta pada semua instansi seperti Pemda, Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan masyarakat yang bersengketa untuk ikut membantu penyelesaian konflik yang kerap terjadi di Sumatera Utara. (Analisa,30/05/2012)
Konflik akibat sengketa lahan di SUMUT menyebabkan gesekan tajam tak berkesudahan antara masyarakat dengan pihak pengelolah tanah, yang akhirnya menimbulkan ketidaknyamanan di masyarakat. Dan sampai saat ini pun belum ada solusi yang bisa menenangkan, menentramkan kedua belah pihak dari konflik yang sudah cukup memakan korban materi maupun inmateri.
Akar Masalah Sengketa Tanah
Melihat berbagai kasus di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa setidaknya ada 3 (tiga) faktor yang menyebabkan mengapa masalah sengkata tanah tersebut sering mencuat ke permukaan. Pertama: Sistem administrasi pertanahan, terutama dalam hal sertifikasi tanah, yang tidak beres. Adanya sertifikat kepemilikan tanah ganda, misalnya, adalah salah satu dampaknya. Masalah ini muncul boleh jadi karena sistem administrasi yang lemah dan mungkin pula karena banyaknya oknum yang pandai memainkan celah-celah hukum yang lemah. Menurut Hasim Purba Kepala Puslit HAM USU, setidaknya tercatat ada 390 kasus sengketa tanah di SUMUT, terkait proses penetapan hak dan pendaftaran tanah yang tumpang tindih. (Tribun-Medan.com, 27/05/2012)
Kedua: Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi pemilikan tanah ini—baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian—telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya petani/penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik. Atas nama pembangunan, tanah-tanah garapan petani atau tanah milik masyarakat adat diambil-alih oleh para pemodal dengan harga murah. Di SUMUT saat ini banyak tanah produktif yang telah beralih fungsi dari persawahan ataupun perkebunan menjadi komplek perumahan mewah beserta fasilitas mewahnya, kesenjangan ini bias dengan banyaknya konflik sengketa tanah.
Ketiga: Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka telah membelinya dari para petani/pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja. Banyaknya tanah yang dikuasai pengembang sawasta maupun negara di SUMUT yang dibiarkan terlantar, tanpa pengelolahan hingga menjadi semak belukar. Ironisnya, ketika masyarakat miskin mencoba memanfaatkan lahan terlantar tersebut dengan menggarapnya, bahkan ada yang sampai puluhan tahun, dengan gampangnya mereka dikalahkan “hak”-nya di pengadilan tatkala muncul sengketa. Tidak jarang pula, karena tidak adanya bukti legal-formal atas kepemilikan tanah, banyak warga masyarakat, khususnya masyarakat miskin yang telah lama tinggal dan mengelolah sebidang tanah di ibukota bahkan di pinggiran kota SUMUT, digusur oleh penguasa.
Solusi Islam
Dari akar persoalan di atas, syariah Islam setidaknya memberikan 4 (empat) solusi mendasar. Pertama: Kebijakan menghidupkan tanah mati (ihyâ’ al-mawât). Dalam hal ini, syariah Islam mengizinkan siapa saja yang memiliki kemampuan untuk menghidupkan tanah-tanah yang mati (tidak produktif) dengan cara mengelola/menggarapnya, yakni dengan menanaminya. Setiap tanah yang mati, jika dihidupkan/digarap oleh orang, adalah milik orang yang bersangkutan. Ketentuan ini didasarkan pada sabda Nabi saw. berikut:
«مَنْ أَعْمَرَ أَرْضًا لَيْسَتْ ِلأَحَدٍ فَهُوَ أَحَقُّ»
Siapa saja yang telah mengelola sebidang tanah, yang bukan milik orang lain, maka dialah yang paling berhak. (HR al-Bukhari).
«مَنْ أَحَاطَ حَائِطًا عَلَى أَرْضٍ فَهِيَ لَهُ»
Siapa saja yang memagari sebidang tanah (kosong) dengan pagar, maka tanah itu menjadi miliknya. (HR Abu Dawud).
«مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ»
Siapa saja yang menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya. (HR al-Bukhari).
Hadis ini berlaku mutlak bagi siapa saja, baik Muslim ataupun non-Muslim. Hadis ini menjadi dalil bagi kebolehan (mubah) bagi siapa saja untuk menghidupkan/memagari tanah mati tanpa perlu izin kepala negara (khalifah). Alasannya, karena perkara-perkara yang mubah memang tidak memerlukan izin khalifah. (An-Nabhani, 1990: 138).
Kedua: Kebijakan membatasi masa berlaku legalitas kepemilikan tanah, dalam hal ini tanah pertanian, yang tidak produktif alias ditelantarkan oleh pemiliknya, selama 3 (tiga) tahun. Ketetapan ini didasarkan pada kebijakan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. yang disepakati (ijmak) oleh para Sahabat Nabi saw. Beliau menyatakan:
«لَيْسَ لِمُحْتَجِرٍ حَقٌ بَعْدَ ثَلاَثِ سَنَوَاتٍ»
Orang yang memagari tanah tidak berhak (atas tanah yang dipagarinya itu) setelah (menelantarkannya) selama tiga tahun.
Dengan ketentuan ini, setiap orang tidak bisa seenaknya memagari tanah sekaligus mengklaimnya secara sepihak, sementara dia sendiri telah menelantarkannya lebih dari tiga tahun. Artinya, setelah ditelantarkan lebih dari tiga tahun, orang lain berhak atas tanah tersebut.
Ketiga: Kebijakan Negara memberikan tanah secara cuma-cuma kepada masyarakat (iqthâ‘ ad-dawlah). Hal ini didasarkan pada af‘âl (perbuatan) Rasulullah saw., sebagaimana yang pernah Beliau lakukan ketika berada di Madinah. Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin sepeninggal Beliau (An-Nabhani, 1990: 120). Pemberian cuma-cuma dari negara ini berbeda faktanya dengan menghidupkan tanah mati. Perbedaannya, menghidupkan tanah mati memang berhubungan dengan tanah mati, yang tidak dimiliki seseorang dan tidak ada bekas-bekas apapun (pagar, tanaman, pengelolaan dll) sebelumnya. Adapun pemberian tanah secara cuma-cuma oleh negara tidak terkait dengan tanah mati, namun terkait dengan tanah yang pernah dimikili/dikelola oleh seseorang sebelumnya yang—karena alasan-alasan tertentu; seperti penelantaran oleh pemiliknya—diambilalih oleh negara, lalu diberikan kepada siapa saja yang membutuhkannya.
Keempat: Kebijakan subsidi Negara. Setiap orang yang telah memiliki/menguasai tanah akan dipaksa oleh negara (khalifah) untuk mengelola/menggarap tanahnya, tidak boleh membiarkannya. Jika mereka tidak punya modal untuk mengelola/menggarapnya, maka negara akan memberikan subsidi kepada mereka. Kebijakan ini pernah ditempuh oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Beliau pernah memberikan dana dari Baitul Mal (Kas Negara) secara cuma-cuma kepada petani Irak, yang memungkinkan mereka bisa menggarap tanah pertanian serta memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Pendek kata, tidak ada cara lain bagi kaum Muslim saat ini selain bersegera untuk menerapkan syariah Islam secara total, termasuk menyangkut pertanahan, dan mengangkat seorang khalifah yang akan menjadi pelaksananya. Hanya dengan itulah, problem sengketa tanah, termasuk problem-problem lainnya, akan dapat diselesaikan secara tuntas; sesuatu yang—selama puluhan tahun—gagal diselesaikan oleh sistem hukum sekular saat ini, yang terbukti bobrok! Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. [Abu Zahid al_Maidani, Anggota Lajnah Tsaqafiyah HTI SUMUT]