Kerusakan Negeri Oleh Demokrasi

Kebenaran firman Allah SWT  dalam Alquran kitab panduan alam semesta— terangkai dalam pesan yang tegas melalui bahasa yang indah di ujung pena Raja Ali Haji.

Ulama Riau yang terpandang, pengarang yang piawai dalam abad ke-19 itu menulis syair yang berbunyi: ‘’Rakyat tentara tidak mufakat, menteri hulubalang banyak khianat, banyak perintah tiada amanat, jadilah negeri menanggung laknat.

Akan tetapi dengan sebabnya, kerusakan negeri dengan jalannya, fasik dan lalim pemerintahannya, sengketa perbantahan di dalam negerinya’’.

Rangkai syair Raja Ali Haji itu pada mulanya untuk peringatan terhadap pangkal bala mengapa negeri Melayu yang bernama Johor jadi rusak binasa.

Pada masa itu negeri Johor dan juga negeri Melayu lainnya seperti Riau, Lingga dan Kuantan, diatur oleh kanun dan undang-undang yang bersandar pada Syariah Islam.

Tapi rupanya, meskipun negeri telah memakai sistem yang benar, namun akan berantakan juga karena pemegang teraju kekuasaan tidak melaksanakan aturan itu sebagaimana mestinya.

Jika negeri diperintah oleh pejabat yang khianat tiada amanat, maka negeri jadi rusak binasa.

Rakyat dan tentara tidak mufakat atau bertegur sapa, maka jadilah rakyat membenci tentara. Lalu tentara kemudian membunuh rakyat. Inilah derita negeri setelah dikendalikan oleh orang yang fasik dan lalim.

Pejabat yang fasik dan lalim tidak mau memakai hukum Allah dalam bertindak, tetapi hukum hawa nafsu. Akibatnya negeri yang diperintahnya senantiasa dalam sengketa dan perbantahan.

Sekarang, kerusakan negeri Melayu lebih parah lagi daripada kerusakan negeri Johor masa silam. Kerusakan lebih parah karena dua perkara.

Pertama, aturan pemerintah negeri diganti dengan aturan demokrasi sekuler yang menafikan hukum Allah dan Rasul-Nya. Kedua, demokrasi sekuler telah menampilkan pejabat dan kaki tangan pemerintah yang suka hidup mewah.

Dengan kemewahan itu mereka menjadi tidak berakal, sebab tak menyadari kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatnya dan lebih besar keutamaannya.

Maka Allah membinasakan negeri yang suka hidup mewah itu. Karena dengan kemewahan itu mereka berbuat durhaka kepada Allah. Sementara di akhirat Allah tentukan bagi mereka jahannam.

Simaklah kerusakan negeri orang Melayu di Riau. Semasa mereka dipandu oleh adat bersendi syarak, lalu ulama yang taat dan tokoh adat yang saleh diminta oleh anak negeri menjadi wali negeri atau penghulu kampung maupun dusun, maka hutan tanah mereka terpelihara.

Hutan tanah yang terbagi menjadi rimba larangan (simpanan), tanah ladang dan kebun, tanah pekarangan dan rimba sialang menjamin segala hajat hidup semua makhluk. Maka negeri jadi sejahtera, indah dan selesa didiami.

Setelah kalimat ‘’Kewajiban melaksanakan Syariat Islam’’ dicoret dalam UUD 45, Indonesia terperosok ke dalam lumpur kebendaan atau materialisme.

Jabatan presiden, gubernur, bupati, wali kota sampai kepala desa dan rukun warga diperebutkan melalui sistem demokrasi sekuler.

Kerusakan negeri tak terbendung lagi. Hutan Riau yang semula 6,6 juta hektare digasak oleh HPH (Hak Pengusahaan Hutan) 4,8 juta hektare atau 73 persen.

Sedangkan uang yang masuk dari perusahaan itu untuk APBD Riau tidak sampai 5 persen. Selanjutnya dihabisi oleh perusahaan bubur kertas dan perkebunan kelapa sawit, sehingga orang Melayu tak punya lagi tanah kebun dan ladang yang memadai.

Kerusakan sumber daya alam disusul lagi oleh kerusakan rohani. Pejabat yang menang dalam merebut kekuasaan lewat demokrasi sekuler, lebih mengutamakan pembangunan fisik daripada perbaikan nilai-nilai rohani. Mereka sibuk membuat berbagai proyek tapi tidak risau oleh manusia yang makin tidak beradab.

Yang penting pertumbuhan ekonomi, sehingga hutang pun tidak lagi dipandang aib, sebab sudah diganti dengan kata kredit. Karena pembangunan fisik lebih utama dari pembangunan rohani, maka bangunan fisik itu jadinya digunakan oleh manusianya untuk berbuat maksiat.

Sebab, tanpa akhlak mulia seperti dicontohkam Nabi Muhammad SAW, segala sarana dapat disalahgunakan untuk maksiat.

Lihatlah hotel dan tempat hiburan. Makin megah dan mahal, makin hebat pula sarang maksiat di dalamnya. Jalan raya yang lebar dijadikan ajang balap ugal-ugalan.

Perhentian bus, tembok pagar dan jembatan serta berbagai sarana publik lainnya ditulisi dengan kata-kata cabul serta gambar karut-marut aurat lelaki dan perempuan yang menjijikkan.

Hutan kota malah “dipupuk” dengan kondom dan celana dalam. Jembatan Siak yang rusak dijadikan medan perbuatan mesum, seakan minta kepada Allah supaya segera diruntuhkan.

Tidak hanya sampai di situ kerusakan yang telah melanda negeri ini, terutama perbuatan maksiat generasi muda yang akan menggantikan para pejabat yang korupsi sekarang ini.

Komplek Purna MTQ yang dulu tempat ayat-ayat suci Alquran dikumandangkan agar tenteram hati dengan mengingat Allah, juga telah jadi sasaran perbuatan keji di negeri ini.

Jika kenyataannya seperti ini, sampai bila kita akan berpegang kepada sistem kufur ini. Setelah negeri kita rusak, generasi muda kita kehilangan budi pekerti yang mulia, kita dibuatnya berani menentang api neraka.

Akan dibawa ke mana negeri yang punya cogan kata ‘’Kota Bertuah Iman dan Takwa” ini? Yang semakin lama semakin remang-remang.*** UU Hamidy, Budayawan Riau. Dimuat di riau pos tanggal 10 desember 2012

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*