Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik (TQS al-Hadid [57]: 16).
Seluruh isi Alquran adalah petunjuk jalan dari Allah SWT bagi manusia. Di dalamnya juga terdapat nasihat dan peringatan, berita gembira dan ancaman. Maka sudah selayaknya, kita wajib mengikutinya. Dan sebaliknya, tidak layak bersikap sebaliknya sebagaimana dilakukan Ahli Kitab. Inilah perkara yang ditegaskan oleh ayat ini.
Hatinya Tunduk kepada Kebenaran
Allah SWT berfirman: Alam ya`ni li al-ladzîna âmanû an takhsya’a qulûbuhum li dzikril-Lâh (belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah). Setidaknya ada dua penjelasan tentang untuk siapa ayat ini diturunkan.
Pertama, untuk orang-orang munafik. Yakni orang-orang yang menampakkan diri sebagai orang Mukmin namun menyembunyikan kekufurun dalam hatinya. Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Sudi dan lainnya.
Kedua, untuk kaum Mukminin secara umum. Pendapat ini dipilih oleh al-Syaukani dan lain-lain. Pendapat ini didasarkan beberapa riwayat. Di antaranya adalah hadits riwayat Ibnu Mardawaih dari Aisyah yang berkata, “Rasulullah SAW keluar pada sekelompok sahabatnya di dalam masjid yang sedang tertawa. Beliau pun menarik selendangnya dan wajahnya merah seraya bersabda: “Apakah kalian tertawa sedangkan belum datang kepada kalian jaminan dari Tuhan kalian bahwa Dia telah mengampuni kalian? Sungguh telah turun kepadaku sebuah ayat tentang tertawamu: Alam ya`ni li al-ladzîna âmanû an takhsya’a qulûbuhum li dzikril-Lâh. Kemudian mereka bertanya, “Apakah kaffarah atas perbuatan tersebut?” Beliau menjawab: Kalian menangis semampu kalian dalam tertawa.
Dalam ayat ini, mereka diserukan untuk segera menata hati mereka agar tunduk terhadap peringatan Allah SWT. Disebutkan: alam ya`ni. Artinya: alam ya`ti waqtuhu (belum tibakah waktunya). Dijelaskan al-Syinqithi, bentuk istifhâm (kalimat tanya) seperti ini berguna sebagai li al-taqrîr (untuk menetapkan). Pihak yang diseru dibawa menetapkannya seraya berkata: balâ (ya). Perkara yang ditetapkan disebutkan dalam frasa selanjutnya: an takhasya’a qulûbuhum lidzikril-Lâh wa mâ nazala min al-haqq.
Dijelaskan al-Qurthubi, kata an takhsy’a bermakna tadzillu wa talînu (merasa rendah dan menjadi sangat lembut). Ibnu ‘Abbas sebagaimana dikutip al-Thabari memaknainya sebagai tuthî’u qulûbuhum (hati mereka taat). Sikap hati tersebut dilakukan terhadap dzikril-Lâh wa mâ nazala min al-haqq.
Kata dzikril-Lâh berarti wa’zhihi wa irsyâdihi (nasihat dan petunjuk-Nya). Demikian al-Zuhaili dalam tafsirnya. Sedangkan wa mâ nazala min al-haqq (dan kepada kebenaran yang telah turun [kepada mereka]). Yang dimaksud dengan kebenaran yang diturunkan itu adalah Alquran. Demikian penjelasan para mufassir seperti al-Thabari, al-Syaukani, al-Baghawi, al-Alusi, al-Qinuhi, al-Jazairi, dan lain-lain. Bahkan menurut al-Zamakhsyari dan al-nasafi, dzikril-Lâh dan wa mâ nazala min al-haqq menunjuk kepada stau obyek, yakni Alquran. Sebab, Alquran mencakup untuk dua perkara: al-dzikr wa al-maw’izhah (peringatan dan nasihat).
Dengan demikian, ayat ini berisi dorongan dan celaan. Demikian Ibnu ‘Athiyyah dalam tafsirnya. Yakni, memerintahkan kepada kaum Mukminin agar segera menata hatinya agar tunduk, takut, dan lunak terhadap peringatan dan nasihat-Nya sekaligus memberikan celaan terhadap yang bersikap sebaliknya. Sikap yang sama juga diperintahkan dilakukan terhadap Alquran dengan mau mendengarnya, memahaminya, menaatinya, dan melaksanakan.
Tidak Keras Hati Seperti Ahli Kitab
Setelah mereka diperintahkan untuk menjadikan hati mereka tunduk terhadap peringatan Allah SWT dan Alquran, kemudian diperintahkan untuk tidak mengikuti jejak kaum Ahi Kitab. Allah SWT berfirman: Walâ yakûnû ka al-ladzîna ûtû al-Kitâb min qabl (dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al-Kitab kepadanya). Yang dimaksud dengan orang-orang yang telah diberikan kitab sebelumnya adalah Yahudi dan Nasrani. Allah SWT menurunkan untuk mereka kitab Taurat dan Injil. Umat Islam dilarang menyerupai mereka.
Kemudian disebutkan tentang tabiat buruk mereka yang tidak boleh diikuti dalam frasa selanjutnya: Fathâla ‘alayhim al-amadu faqasat qulûbuhum (kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras). Pengertian fathâla ‘alayhim al-amadu adalah telah berlalu lama antara mereka dengan para nabi mereka. Demikian penjelasan al-Syaukani.
Ketika itu terjadi, maka: faqasat qulûbuhum, hati mereka pun menjadi keras. Ibnu ‘Abbas memaknai hati mereka menjadi keras sebagai cenderung kepada dunia dan berpaling dari nasihat Allah SWT. Tak jauh berbeda, Ibnu Hayyan al-Andalusi juga mengartikannya sebagai shalabat (keras) hati mereka lantaran tidak terpengaruh untuk melakukan kebaikan dan ketaatan.
Ibnu Katsir juga memberikan penjelasan tentang ayat ini. Dikatakan oleh mufassir tersebut bahwa Allah SWT melarang kaum Mukmin menyerupai orang-orang yang telah diberi kitab terdahulu, Yahudi dan Nasrani. Ketika telah berlalu waktu yang panjang, mereka pun mengganti kitab Allah melalui tangan-tangan mereka, menjualnya dengan harga yang murah, meletakkannya di belakang punggung mereka, menerima berbagai pendapat dan perkataan yang berbeda-beda, mengikuti para tokoh mereka dalam agama mereka, bahkan menjadikan pendeta dan rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Maka, hati mereka pun menjadi keras. Mereka tidak menerima nasihat. Hati mereka juga tidak lagi lunak dengan janji dan ancaman.
Kemudian disebutkan lagi tentang keburukan tabiat Ahli Kitab itu dengan firman-Nya: wakatsîr[un] minhum fâsiqûn (dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik). Dijelaskan juga oleh al-Syaukani, fâsiqûn berarti khârijûn ‘an thâ’atil-Lâh (keluar dari ketaatan kepada Allah). Sebab, mereka telah meninggalkan amal yang diturunkan kepada mereka. Mereka mengubah, mengganti, dan tidak beriman dengan apa yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Dikatakan Ibnu Jarir al-Thabari, “Sebagian mereka yang diberikan Kitab sebelum umat Muhammah SAW adalah fasik.”
Dengan demikian, lengkap sudah keburukan kaum yang telah diberikan kitab itu. Perbuatan mereka fasik, sedangkan hati mereka mereka juga rusak. Menurut Ibnu Katsir, tabiat mereka itu sebagaimana diberitakan Allah SWT dalam firman-Nya: (Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, (TQS al-Maidah [5]: 13).
Termasuk tabiat mereka adalah mengubah perkataan Allah dari tempat-tempatnya, meninggalkan amal yang diperintahkan, mengerjakan apa yang dilarang. Oleh karena itu, Allah SWT melarang kaum Mukmin menyerupai mereka, baik dalam perkara pokok maupun perkara cabang.
Demikianlah. Siapa pun yang mengaku beriman wajib menjadikan hatinya tunduk dan patuh terhadap seluruh perintah dan larangan Allah SWT, mengikuti semua nasihat dan petunjuk-Nya, dan takut terhadap semua peringatan dan ancaman-Nya. Dengan kata lain, dia wajib mengikatkan dirinya, mulai dari hati hingga perbuatannya, terhadap seluruh syariah-Nya. Tak ada yang ditinggalkan dan ditelantarkan.
Bukan berlaku sebaliknya seperti halnya Ahli Kitab yang keras hatinya dan fasik perbuatannya. Maka, sebagaimana ditegaskan Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini, Allah SWT melarang kaum Muslimin menyerupai mereka, baik dalam perkara ushûliyyah (pokok, dasar) maupun furû’iyyah (cabang). Belum tibakah saatnya bagi umat Islam untuk segera menerapkan seluruh syariah-Nya dan mencampakkan semua ide kufur yang diambil dari kaum Ahli Kitab dan kaum kafir lainnya? Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.
Ikhtisar:
- Umat Islam diperintahkan untuk menjadikan hatinya tunduk dan patuh terhadap Alquran
- Umat Islam dilarang mengikuti sikap Ahli Kitab yang keras hatinya dan fasik perbuatannya