POTENSI ketidakstabilan sosial politik menyeruak dari isu revisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Larangan Minuman Beralkohol. Upaya mengutak-atik Perda Miras itu diprediksi bakal menimbulkan kontroversi luas. Terutama dari kalangan ormas Islam. Belum-belum Humas DPC Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) Andri Saputra kepada Borneonews, Rabu (12/12), sudah mengeluarkan ancaman. Ia berjanji akan berkoordinasi dengan sejumlah pihak untuk melawan siapa pun yang ingin merevisi atau melemahkan Perda Miras. Ia mengajak ormas Islam, tokoh agama dan MUI berada dalam barisan untuk melawan mereka.
Kita mendukung HTI melawan keinginan memperluas perdagangan miras di tempat tertentu dengan alasan pariwisata. Pasalnya, daerah ini terkenal sebagai daerah tujuan wisata dunia karena keindahan dan keeksotisan alamnya. Juga karena keberagamanan budayanya.
Buktinya, setiap tahun ribuan wisatawan tetap mengalir, meski Kobar menerapkan pelarangan peredaran miras sejak enam tahun lalu. Kesimpulannya, dunia kepariwisataan Kobar bukan menjual kebebasan.
Satu hal lagi, Perda Miras itu saja dinilai sudah lemah. Setidaknya dalam hal pengawasan pelaksanaan dan penerapannya di lapangan. Sebagian kalangan menilai, Satpol PP sebagai institusi pengawal perda belum bekerja maksimal.
Kelemahannya makin lengkap saja, karena sanksinya tergolong sangat ringan. Kasus miras tergolong tindak pidana ringan. Karena itu, peredaran minuman keras baik produksi lokal maupun minuman berlabel, masih marak. Di sini konsumen mudah memperoleh miras. Arak, bir dan lain sebagainya bukan barang susah, meski perda melarangnya.
Data Kejaksaan Negeri Pangkalan Bun pada 2011 menunjukkan, sedikitnya 44 kasus minuman keras dibongkar. Tetapi, tidak ada tersangka yang ditahan. Pasalnya, mereka mampu membayar pidana denda yang nilainya relatif rendah. Hanya Rp150 ribu-Rp1 juta.
Lihat saja. Salah satu kasus dengan barang bukti 22 karung atau setara 440 liter minuman keras, dendanya hanya Rp1juta. Karena itulah, dipastikan sanksi yang dijatuhkan tidak menimbulkan efek jera. Yang terjadi, para penjualnya bertambah.
Dalam konteks sanksi rendah itu, seharusnya peluang merevisi Perda Miras dibuka selebar-lebarnya. Kita meminta kalangan dewan melakukan perbaikan. Terutama dalam pasal yang mengatur sanksi hukumnya. Kita mendorong wakil kita di dewan mencantum sanksi lebih berat lagi.
Sanksi yang berat bakal mengikis peredaran miras di kalangan masyarakat. Karena, mereka bakal memperhitungkan hukuman yang bakal dijatuhkan kalau terjadi pelanggaran.
Kalau itu terjadi, kita percaya kasus pelacuran, juga bakal terkikis. Sudah rahasia umum, praktik prostitusi cukup marak di sini. Padahal, tak ada lokalisasi resmi. Para pekerja seks komersial tumbuh, seiring dengan bebasnya peredaran miras. (borneonews.co.id, 13/12)