Benarkah Republik Arab Mesir saat ini merupakan Negara Islam, khususnya setelah terjadinya amandemen UUD 11 Pebruari 2011, produk Dewan Tertinggi Militer, dan setelah negeri Kinanah itu dipimpin oleh Ikhwanul Muslimin?
Jawab:
Pemerintah Mesir, di bawah Presiden Mursi, telah membatalkan UUD 11 Pebruari 2011 yang sebelumnya telah dihasilkan oleh Dewan Tertinggi Militer, melalui Dekrit Presiden. Dekrit ini pun menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Bagi yang kontra, Dekrit ini dianggap memberangus kebebasan rakyat yang mereka perjuangkan melalui Revolusi 25 Januari 2011. Meski isinya jelas menjamin kebebasan tersebut. Sedangkan bagi yang pro, Dekrit ini diklaim sebagai jalan untuk mendirikan Negara Islam yang akan menerapkan Islam secara kaffah dalam kehidupan.
Padahal, draft konstitusi baru ini pasal-pasal utamanya tidak berbeda sedikit pun dengan konstitusi lama. Bahkan pasal-pasalnya yang bertentangan dengan Islam tetap itu itu juga, baik redaksi maupun nomor pasalnya pun tidak berubah! Jika redaksi beberapa pasal tampak mirip dengan redaksi yang sahih dalam syariah, maka dasarnya bukan akidah Islam, tetapi demokrasi.
Berikut ini, beberapa bagian yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam:
Pertama, pasal 1 draft konstitusi ini menyatakan, bahwa “Republik Arab Mesir sistemnya adalah demokrasi”. Ini menyalahi Islam. Sebab sistem republik demokrasi dibangun berdasarkan akidah Sekularisme, yaitu memisahkan agama dari negara. Akidah ini lahir di Eropa pasca pertarungan sengit antara para filsuf dengan gereja pada abad pertengahan. Akidah ini menjadikan kedaulatan sebagai milik rakyat, yakni menjadikan legislasi hukum di tangan manusia… Manusialah yang menetapkan halal dan haram sesuai dengan kehendaknya. Padahal, Allah SWT berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ
“Sesungguhnya menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (Q.s al-An’am [6]: 57)
Kedua, pasal 2 draft konstitusi itu mengatakan, bahwa “Prinsip-prinsip syariah Islam merupakan sumber utama legislasi.” Pasal ini menyebutka, “Prinsip-prinsip syariah Islam, bukan menyebutkan “hukum-hukum syariah Islam”. Ini membuka pintu yang luas bagi legislasi produk buatan manusia. “Prinsip-prinsip” seperti yang mereka jelaskan itu adalah “asas-asas yang tegas” milik Islam yang mereka pahami, tanpa memasukkan hukum-hukum qath’i di dalamnya, semisal hudud dan lain-lain, apalagi hukum-hukum dzanni yang lain. Padahal, seharusnya kita menuntut penerapan Islam secara kaffah, meliputi hukum-hukum qath’i dan dzanni. Semuanya adalah syariah yang wajib diiikuti. Pernyataan bahwa keberadaan syariah “sebagai sumber utama legislasi” pada dasarnya ini tidak menghalangi adanya sumber-sumber lain, meski berupa cabang (derivat). Ini jelas merupakan bentuk penyekutuan Allah dalam hal al-Hakimiyah (pembuatan hukum)!
Ketiga, pasal 4 draft konstitusi tersebut telah mengkhususkan kepada al-Azhar, menjadikan al-Azhar sebagai pihak yang dibebani tugas mengemban dakwah Islam. Padahal, dakwah dan jihad adalah bagian dari kewajiban negara sehingga tidak boleh dialihkan dan dibatasi pada lembaga-lembaga pendidikan dan tidak boleh menghapus kewajiban jihad.
Keempat, pasal 5 draft konstitusi itu menyatakan, bahwa “Kedaulatan di tangan rakyat yang harus dijaga dan dilindungi dan rakyat sebagai sumber kekuasaan”. Pasal ini merupakan penegasan atas pasal 1 yang mengatakan, bahwa “Republik Arab Mesir sistemnya adalah demokrasi”. Demokrasi adalah sistem yang menyatakan bahwa “kedaulatan di tangan rakyat, dan rakyat merupakan sumber kekuasaan”. Rakyat adalah pihak yang menetapkan hukum dan pemilik otoritas legislasi. Rakyat jugalah yang mengimplementasikan dan menjadi pemilik kekuasaan eksekutif. Rakyat tidak menjadikan syariah untuk diimplementasikan dan mengikat, kecuali dengan cara seperti ini. Rakyat adalah hakim dan pemilik kekuasaan yudikatif. Rakyat tidak membuat undang-undang, dan mahkamah tidak memutuskan, kecuali berdasarkan apa yang diputuskan rakyat. Lalu di mana posisi pasal ini terhadap firman Allah SWT:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (Q.s. al-Ahzab [33]: 36)
Kelima, pasal 6 draft konstitusi itu menyatakan, bahwa sistem demokrasi –yang menjadi sistem negara- tegak di atas “Prinsip-prinsip syura dan kewarganegaraan …” Syura dalam Islam berbeda dengan demokrasi baik, dari aspek akidah maupun sistem. Demokrasi mengajarkan musyawarah dengan pemungutan suara manusia (termasuk referendum) untuk mengesahkan perundang-undangan dan hukum, apakah akan disetujui atau ditolak. Sedangkan syura adalah mengambil pendapat dalam perkara yang diperbolehkan oleh hukum syara’, dan bukan mengambil suara atas hukum syara’ itu sendiri. Jelas keduanya, antara syura dan demokrasi, merupakan dua hal yang bertolak belakang!
Belum lagi banyak pasal lain dalam draft konstitusi ini yang jelas-jelas bertentangan dengan, yang tidak bisa disebutkan di sini satu per satu. Apa yang disebutkan di atas sudah cukup untuk menjadi dasar, bahwa draft konstitusi baru ini jelas bertentangan dengan Islam, baik dari aspek dasar maupun detilnya. Belum lagi redaksi-redaksi “harmonik” yang tidak berguna sama sekali. Jelas konstitusi ini tidak diputuskan dengan Islam dan tidak menunjukkan kemajuan apapun! Tambahan lagi, konstitusi baru ini tidak memberikan gambaran kepada tentang Sistem Ekonomi Islam, memutuskan perkara berdasarkan Islam, politik pendidikan Islami, dan tidak pula politik luar negeri yang tegas di atas prinsip dakwah kepada Islam!
Setelah semuanya itu, baik anggota Parlemen, Presiden dan Perdana Menteri, semuanya disumpah dengan redaksi, “Saya bersumpah demi Allah untuk menjadi penjaga sistem Republik ini dengan tulus…” sebagaimana yang dituangkan dalam pasal-pasal (86, 137, 157) draft konstitusi tersebut.[1]
Dengan demikian, jelas Republik Arab Mesir bukanlah Negara Islam. Lalu, bagaimana dengan pasal 2 yang menyatakan, bahwa “Islam adalah agama negara..”? Pasal ini memang mengakui Islam sebagai agama resmi negara, tetapi tidak menyatakan, bahwa Islam merupakan dasar negara. Itu artinya, Islam tetap tidak akan dijadikan sebagai dasar dalam membangun kehidupan individu, masyarakat dan negara. Pasal ini persis seperti konsitusi Kerajaan Malaysia yang diklaim sebagai Negara Islam, padahal sejatinya tetap bukan. Di masa lalu, pasal ini digunakan oleh Inggeris untuk menampilkan negara-negara bonekanya sebagai Negara Islam untuk melawan kekuatan Sosialisme yang diusung Uni Soviet, dengan dua maksud: Pertama, kanalisasi semangat dan keinginan berislam, agar kaum Muslim tidak mengambil Sosialisme. Kedua, senjata melawan Sosialisme-Uni Soviet.
Cara yang sama, saat ini digunakan oleh Amerika di Mesir, dengan menggunakan kedok Islam, yang sejatinya bukan, dan menggunakan kelompok yang selama ini dikenal sebagai pejuang Islam. Tujuannya, agar Negara Islam yang sesungguhnya, yaitu Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah tidak berdiri. Ironisnya, ada yang membela mati-matian draft konstitusi ini dengan menggunakan kaidah:
اَلْعِبْرَةُ فِي اْلعُقُوْدِ وَالتَّصَرُّفَاتِ بِالْمَقَاصِدِ وَالْمَعَانِيْ لاَ بِالأَلْفَاظِ وَالْمَبَانِي
“Yang menjadi patokan dalam akad dan tindakan adalah maksud dan makna, bukan lafadz dan redaksi.”
Dengan kata lain hendak mengatakan, bahwa “jangan dilihat kata per kata, atau redaksi harfiahnya, tetapi lihatlah tujuan dan semangatnya.” Karena, bagi mereka tujuan dan semangat konstitusi ini adalah untuk memperjuangkan Islam. Kalaulah benar tujuan dan semangat tersebut, jelas ini bertentangan dengan sumpah yang mengikat mereka, dimana mereka telah bersumpah untuk menjaga sistem Republik dengan tulus.
Selain itu, penggunaan kaidah ini untuk menjustifikasi keabsahan draft konstitusi jelas keliru. Justru kalau kaidah ini digunakan, berarti mereka telah menggunakan Code Napoleon, yaitu spirit teks (rûh an-nash) sebagai kaidah dalam penyusunan konstitusi mereka.
Memang benar, bahwa kaidah di atas digunakan di kalangan mazhab Hanafi.[2] Kaidah ini juga digunakan dalam pasal 3 al-Ahkam al-‘Adliyyah, yang nota bene merupakan UU Sivil pertama yang dibuat di era Khilafah ‘Utsmaniyyah.[3] Hanya saja, dalam penggunaannya ini terkait dengan jual-beli wafa’ yang dihukumi sama dengan gadai (rahn) dan iqalah (pembatalan jual-beli), sekalipun di dalam redaksi akadnya tidak disebutkan dengan menggunakan redaksi gadai (rahn) dan iqalah (pembatalan jual-beli).[4]
Pertanyannya, apakah maksud dan makna “kedaulatan di tangan rakyat”, “demokrasi”, “sistem Republik”, “kebebasan berpendapat”, “kebebasan beragama” dan sebagainya bisa dimaknai lain dengan konotasi (maksud/makna) yang sesuai dengan Islam? Padahal, kita tahu, semuanya ini merupakan konsep yang dibangun berdasarkan akidah Kufur, yaitu Sekularisme Kapitalisme. Ungkapan-ungkapan tersebut juga mempunyai konotasi yang bertentangan dengan Islam, apapun maksudnya.
Di sisi lain, kaidah ini juga tidak tepat. Karena patokannya tidak jelas, sehingga ketika terjadi perselisihan, tidak ada acuan yang bisa digunakan. Padahal, hukum asal mu’amalah dilakukan justru menghindari perselisihan. Sebagaimana dalam kaidah syara’:
اَلأَصْلُ فِي الْمُعَامَلاَتِ قَطْعُ الْمُنَازَعَاتِ
“Hukum asal mu’amalah (disyariatkan) adalah untuk menghilangkan perselisihan.”[5]
Cara yang paling mudah dan efektif untuk menyelesaikan perselisihan, jika terjadi di antara dua belah pihak, adalah dengan kembali kepada lafadz dan redaksi akad. Karena jika pun kaidah di atas digunakan, maka konotasi dari “maksud dan makna” itu adalah bi ‘urf al-muta’aqidain (berdasarkan konvensi para pihak yang berakad), sebagaimana yang disebutkan oleh kebanyakan mazhab Syâfi’î.[6]
Karena itu, pengikut mazhab Syâfi’î, menggunakan kaidah yang lebih jelas dan tegas, dengan berpatokan patokan lafadz dan redaksi (al-alfâdz wa al-mabânî):
اَلْعِبْرَةُ فِي اْلعُقُوْدِ بِالأَلْفَاظِ
“Yang menjadi patokan dalam akad adalah lafadz.” [7]
Kaidah ini lebih tepat, karena sesuai dengan fakta akad sebagai tasharruf qauli, dan terukur, jika ada perselisihan. Dengan mudah perselisihan ini bisa diselesaikan, karena acuannya jelas, yaitu teks dan redaksi akad.
Dengan demikian bisa disimpulkan, bahwa dari aspek lafadz dan redaksi draft UUD Republik Arab Mesir, serta maksud dan konotasinya tidak bisa dipahami lain, kecuali satu fakta bahwa Mesir bukan Negara Islam. Wallahu a’lam. (KH. Hafidz Abdurrahman)
[1] Lihat, al-Jam’iyyah at-Ta’sisiyyah li Wadh’i Masyru’ Dustur Jadid li ad-Daulah, Masyru’ Dustur Jumhuriyyah Mishr al-‘Arabiyyah, Jum’at 16 Muharram 1434 H/30 Nopember 2012 M.
[2] Lihat, Syamsu ad-Dîn as-Sarakhsi, al-Mabsûth, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1993, Juz XXII, hal. 17; ‘Ala’ ad-Dîn Abû Bakar al-Kasâni, Badâ’i’ as-Shanâ’i’, Dâr al-Kitâb al-‘Arabi, Beirut, 1996, Juz IV, hal. 197.
[3] Lihat, al-Ahkam al-‘Adliyyah: Undang-Undang Sivil Islam, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementrian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur, cet. III, 1994, hal. 5.
[4] Lihat, al-Ahkam al-‘Adliyyah, hal. 35 dan 219.
[5] Lihat, al-‘Allamah Syaikh Taqiyu ad-Dîn an-Nabhânî, as-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, Dâr al-Ummah, Beirut, cet. V, Muktamadah, 2003, Juz II, hal. 285.
[6] Lihat, Ibn Hajar al-Haitsami, Fatâwâ Ibn Hajar al-Haitsami, Dâr al-Fikr, Beirut, 1983, Juz II, hal. 139.
[7] Lihat, al-Khathîb as-Syarbînî, Mughnî al-Muhtâj Ilâ Ma’rifati Alfâdz al-Minhâj, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 2000, Juz II, hal. 89.