Pemberdayaan atau Eksploitasi Perempuan ?

Buruh migran Indonesia tersebar di beberapa negara. Di  Malaysia, Singapura, Hongkong,  dan negara-negara Timur Tengah.  Di antara negara-negara tujuan migrasi, Hong Kong  telah memiliki undang-undang yang melindungi perempuan.  Namun eksploitasi fisik di negara itu tetap saja tak bisa dihindari. Demikian yang terjadi pada Anni Hamidah, seorang pekerja rumah tangga dari Surabaya yang tiba di Hong Kong pada tahun 2010. Semula dia mengira akan bekerja untuk satu keluarga, tetapi ternyata ia harus bekerja untuk tiga keluarga. Kepada Voaindonesia, Anni meyakini apa yang terjadi dengan para perempuan Indonesia di Hong Kong adalah perdagangan manusia. Mereka bekerja tanpa dibayar dan paspor mereka ditahan. Lagi-lagi alasan rendahnya kualitas pendidikan, keterampilan dan kemampuan komunikasi, menjadi penyebab utama penistaan terhadap pekerja migran perempuan.

 

Eksploitasi fisik makin menguat saat pekerja migran terjerumus ke tangan rentenir yang mengambil sebagian besar gaji mereka. Liputan Voaindonesia.com tertanggal 27 November 2012 menunjukkan  para perempuan itu menandatangani kontrak dengan agen tenaga kerja yang mengenakan biaya untuk pelatihan dan penempatan. Sembilan puluh sembilan persen dari mereka diminta pergi ke perusahaan pemberi pinjaman atau mereka disuruh menandatangani perjanjian pinjaman di kantor agen-agen itu. Karena takut, perempuan-perempuan ini  biasanya menandatangani tanda terima yang menerangkan bahwa mereka telah menerima gaji penuh.  Setelah  tiba di Hong Kong mereka  harus membayar  HK$ 3.000 (sekitar Rp  3,7 juta) per bulan selama tujuh bulan. Dengan upah minimum bulanan kurang dari US$ 520, sisanya  hanya sekitar  US$ 50 (Rp. 479 ribu)  per bulan untuk makan dan biaya hidup!

 

Di dalam negeri, kasus-kasus eksploitasi tenaga kerja perempuan tidak kalah mengenaskan.  Data lapang yang dihimpun para aktivis Muslimah Hizbut Tahrir di daerah menunjukkan kenyataan pahit itu. Di Majalaya, Ciparay, Kabupaten Bandung, beberapa pabrik menerapkan aturan perusahaan di bawah standar kemanusiaan. Karyawan baru harus melalui  masa percobaan selama 3 bulan sampai 1 tahun dengan sistem non-sift.  Mereka bekerja  sekitar 8-9 jam/hari dengan bayaran sekitar Rp. 600 rb –an, padahal UMR daerah Bandung  pada tahun 2012 berada pada kisaran 1.2 juta/bulan. Janji untuk direkrut menjadi karyawan tetap tidak selalu dipenuhi.  Faktanya ada pekerja yang melewati masa percobaan hingga 7 tahun.  Bahkan mereka mendapat potongan gaji sampai RP. 100.000/hari jika tidak masuk kerja dengan alasan apapun!

 

Eksploitasi fisik juga dialami pekerja perempuan di sebuah pabrik tekstil di Rancaekek Kulon, Bandung Selatan.  Mereka dipaksa mengerjakan pekerjaan laki-laki seperti mengangkat barang di atas 50 kg.  Bahkan seorang mantan pekerja di pabrik peralatan rumah tangga, menamakan diri mereka‘ perempuan panggilan’ karena harus siap dipanggil jam berapa pun ketika jumlah order meningkat.  Perjanjian kerja yang harus mereka tanda tangani di awal kontrak memaksa mereka bekerja, kapan pun ketika diperlukan perusahaan.

 

Tidak hanya eksploitasi fisik, penderitaan pekerja perempuan diperparah dengan eksploitasi seksual.  Belum usai penanganan perkosaan seorang tenaga kerja Indonesia di pengadilan sipil Penang terhadap tiga polisi Malaysia, publik kembali terguncang. Menlu Marty Natalegawa sendiri yang mengabarkan terjadi lagi pemerkosaan dan kekerasan terhadap TKI asal Aceh.  Pelakunya  adalah pasangan suami dan istri, majikan sang TKI. Realitas yang dihimpun Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) pada 2011 menunjukkan, terjadi 2.209 pelecehan/kekerasan seksual pada perempuan pekerja migran.  Bahkan  535 orang yang kembali ke tanah air dalam keadaan hamil.

 

Sebuah penelitian di sejumlah negara Asia Pasifik mencatat tingkat pelecehan seksual terhadap para pekerja/buruh perempuan mencapai 30%-40% dari seluruh masalah ketenagakerjaan yang ada.Di Indonesia memang belum ada data valid atau hasil penelitian yang representatif tentang pelecehan seksual di tempat kerja. Namun Michiko Miamoto, Deputi Direktur International Labour Organization (ILO) Jakarta dapat memastikan terjadi kasus itu, khususnya di tempat kerja yang memiliki pekerja perempuan dalam jumlah besar. Sebagian besar kasus pelecehan cenderung tidak dilaporkan, karena korban merasa malu, tidak berdaya atau takut kehilangan pekerjaan (bisnisindonesia, 8/3/12).

 

Derita buruh perempuan belum berakhir. Eksploitasi fisik dan seksual, makin diperparah oleh eksploitasi finansial.  Ketidakberdayaan mereka dimanfaatkan pasar.  Gaji yang mereka dapatkan dihabiskan hanya untuk memenuhi selera konsumtif. Penelitian Women Research Institute (WRI) berjudul ‘ Moral Ekonomi Perempuan Pabrik Dinamika Kehidupan di Tempat Kerja’ menunjukkan perilaku itu.Mereka suka berbelanja pakaian yang sedang trend di mall atau membeli telepon seluler untuk komunikasi di antara mereka. Penelitian itu menyatakan bahwa kaum buruh yang berlatar agraris membayangkan bahwa menjadi orang kota adalah menjadi orang modern, dan menjadi orang modern mesti berperilaku bagaikan kisah-kisah dalam sinetron. Rambut rebounding, make up, “melepas lelah” di pusat perbelanjaan, seperangkat stereo set terpasang di rumah kontrakan, dan berbagai perilaku lainnya membuat mereka semakin sulit dibedakan dengan kelas menengah.

 

Studi kasus menunjukkan bahwa perilaku konsumtif buruh perempuan sebagai strategi untuk menyesuaikan diri dengan budaya pop masyarakat urban. Kasus Enong yang dipotret WRI misalnya, melakukan kerja lembur demi bertahan hidup dan memenuhi “standar” perilaku konsumsi masyarakat kota yang menjadi habitat mereka. Hasil kerja lembur dipakai untuk memuaskan hasrat konsumtif dengan membeli aneka produk kosmetik, sepatu, baju, tas, pernak-pernik perhiasan, bahkan yang ditawarkan lewat Multi Level Marketing (MLM) sesama buruh. Hampir setiap hari Minggu Enong pergi ke beberapa pusat perbelanjaan di kawasan Sunter, Mangga Dua, dan Kelapa Gading, didampingi suami atau teman-teman. (http://wri.or.id/id /penelitian)

 

Kegagalan Pemerintah Mengurus Perempuan

 

Kembali pada kisah Anni Hamidah, pekerja rumah tangga asal Surabaya yang harus jauh-jauh mengadu nasib ke Hongkong. Dengan genangan air mata di pelupuknya, Anni mengatakan, jika ada pekerjaan di Indonesia, dia tidak akan berada di Hong Kong. Anni bukan satu-satunya. Menakertrans Muhaimin Iskandar mengaku, minat calon TKI yang ingin bekerja ke luar negeri sangat tinggi.  Untuk menjawab fenomena itu, pemerintah hanya melakukan regulasi seadanya tanpa melakukan perlindungan yang berarti.  Padahal Indonesia telah memiliki UU No. 39/2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI.

 

Banyak kalangan menilai, pemerintah berlepas tangan dalam urusan TKI dan lebih suka menyerahkan urusan tersebut kepada swasta. Seperti pengakuan Direktur Penyiapan Pemberangkatan BNP2TKI Arifin Purba.  Dia menyatakan bahwa penempatan TKI perorangan ke Brunei Darussalam dinilai sudah cenderung mengarah kepada human trafficking. Dari 50.099 TKI yang bekerja di berbagai sektor di Brunei Darussalam, hanya sekitar 30 ribu lebih yang tercatat dalam dokumen pemerintah. Di luar itu adalah TKI yang berangkat secara perorangan, atau berangkat dengan cara lain. Alasan kepergian para TKI jelas hanya satu, di dalam negeri sulit mendapatkan pekerjaan layak yang memberi kesejahteraan.Kegagalan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan finansial rakyatnya memang berbuah mahal.  Tak hanya diperbudak,  martabat kaum perempuan yang terpaksa meninggalkan anak-suami-orang tua di kampung halaman, ikut terenggut melalui aksi kekerasan dan pelecehan.  Sungguh, demi memenuhi kebutuhan hidup, nyawa pun kadang-kadang menjadi tumbalnya.

 

Islam Membebaskan Perempuan dari Eksploitasi

 

Seharusnya beban pengentasan kemiskinan bukanlah terletak di punggung perempuan.  Tidak pula patut mengeksploitasi fisik, penghasilan apalagi kehormatan mereka atas nama pemberdayaan ekonomi.  Beban itu teramat berat, sehingga mereka tidak akan sanggup memikulnya.  Allah SWT tidak pernah menimpakan kewajiban yang semestinya menjadi tanggung jawab negara kepada para ibu ini.

لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Al Baqoroh : 286)

 

Apalagi problem kemiskinan yang terjadi di dunia saat ini adalah buah dari penerapan sistem Kapitalis yang membebaskan pihak kuat –penguasa dan pengusaha- untuk menghisap habis SDA dengan mengerahkan semua orang yang berada dalam cengkeramannya untuk mempersembahkan setiap sen keuntungan tanpa peduli apakah hal itu akan merusak alam dan sisi-sisi kemanusiaan. Sedangkan Islam memiliki politik ekonomi yang menjamin terealisirnya pemenuhan semua kebutuhan primer setiap orang secara menyeluruh, berikut memberi peluang untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya.  Karena itu politik ekonomi Islam bukan hanya sekedar bermain angka statistik, atau meningkatkan taraf kehidupan dalam sebuah negara semata, tanpa memperhatikan terjamin-tidaknya setiap orang untuk menikmati kehidupan tersebut.  Politik ekonomi Islam juga bukan hanya bertujuan untuk mengupayakan kemakmuran individu dengan membiarkan mereka sebebas-bebasnya untuk memperoleh kemakmuran tersebut dengan cara apapun, tanpa memperhatikan terjamin tidaknya hak hidup setiap orang.  Islam mengharamkan eksploitasi, khususnya bagi perempuan.

 

Perempuan diciptakan Allah sebagai ibu generasi.  Serangkaian hukum syariat telah disiapkan Allah demi  mengatur peran, posisi dan hak-hak mereka dalam kehidupan sesuai dengan sifat kodrati tersebut. Siapapun yang peduli terhadap keberlangsungan suatu bangsa, jelas akan menjaga kaum perempuan, tidak menindas, membebani, apalagi mengeksploitasinya sekali pun dengan alasan pemberdayaan perempuan. Islam melalui negara Khilafah akan melindungi kaum perempuan, termasuk memastikan kebutuhan finansialnya tanpa harus mengalami dilema antara kerja dan mengurus anak.  Karena, pasti Khilafah memberantas kemiskinan dan menjamin kesejahteraan semua rakyat.  Kalaupun mereka memang bekerja – karena memang ada pekerjaan tertentu yang membutuhkan perempuan- mereka tidak akan diperbudak dan dipastikan berada dalam kondisi lingkungan yang terjamin keamanannya  dan bermartabat. Islam mengamanahkan peran politis strategis kepada perempuan untuk menjadi ibu sejati yaitu menyiapkan generasi pemimpin masa depan yang shalih, cerdas dan berkualitas. Inilah peran yang sangat mulia bagi seorang perempuan dan akan memuliakan perempuan.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*