Tragedi Ayu, Sistem Politik Demokrasi dan Khilafah
Oleh: Fikriyyah M (Lajnah Mashlahiyah Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia)
Wafatnya Ayu pasien penderita leukemia di ruang ICU (Intensive Care Unit) Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita, telah menarik perhatian berbagai media massa cetak maupun elektronika nasional. Pasalnya peristiwa kematian bocah berusia 9 tahun ini dikaitkan dengan shooting salah satu sinetron yang tengah berlangsung di ruangan yang bersebelahan dengan tempat Ayu dirawat. Bahkan ada media yang mengabarkan shooting berlangsung di ruangan yang sedang merawat pasien yang membutuhkan penanganan serius itu, sehingga mengganggu proses perawatan dan kenyamanan pasien.
Buah Sistem Politik Demokrasi
Semua pihak sepakat, RS seharusnya mengedepankan pelayanan. Namun, hal sebaliknya yang terjadi pada peristiwa wafatnya Ayu, pihak rumah sakit lebih mengutamakan imbalan materi dari pada nyawa pasien.Yaitu dengan mengkomersialkan fasilitas layanan berupa penyewaan ruangan yang bersebelahan dan ruangan ICU sebagai tempat shooting sinetron yang sedang naik rating itu, dengan imbalan sejumlah rupiah dan fasilitas promosi RS.
Bila dicermati, berbagai bentuk komersialisasi layanan kesehatan, mulai dari komersialisasi fasilitas ruang perawatan, peralatan medis, obat-obatan hingga jasa tenaga paramedis dan medis adalah hal yang umum terjadi saat ini. Yang bila ditelaah ini merupakan konsekuensi logis ketika kebijakan pengelolaan layanan publik (kesehatan) didasarkan paradigma liberal. Rumah sakit-rumah sakit pemerintah sebagai BLU (Badan Layanan Umum) harus “pandai-pandai” menghidupi dirinya, selain juga dituntut untuk memberikan masukan kepada Negara (pendapatan pemerintah bukan pajak sektor kesehatan).
Sementara itu kebijakan komersialisasi layanan publik kesehatan yang menyengsarakan itu tak dapat dipisahkan dari sistem politik yang saat ini diterapkan. Karena sistem politik demokrasi telah menjadikan kebijakan/aturan disandarkan kepada hawa nafsu dan keserakahan manusia. Pertimbangan dangkal yang bersumber dari ideologis sekuler bahwa dengan mengkomersialkan berbagai layanan publik akan membuat kualitas layanan lebih baik hanyalah menguntungkan korporasi kesehatan, sebaliknya menyisakan derita berkepanjangan bagi masyarakat.
Tidak saja itu, sistem politik demokrasi yang menjadikan jabatan dan kekuasaan sebagai ajang bisnis dan mengekspresikan keangkuhan manusia telah menumpulkan nurani penguasa dan aparatnya. Bagaimana tidak, sekalipun telah jelas bahwa komersialisasi layanan kesehatan telah membangkrut pasien dan menjauhkan pasien dari akses layanan kesehatan, disamping persoalan serius kualitas layanan, namun tidak ada tanda-tanda upaya pemerintah menghentikan kebijakan ini.
Adapun yang dilakukan pemerintah hanyalah menyediakan layanan kesehatan gratis dengan kualitas kelas III, seperti yang terlihat pada kebijakan Kartu Jakarta Sehat dan berbagai bentuk kebijakan kesehatan gratis lainnya. Sementara, sudah tidak perlu diperdebatkan lagi, layanan kelas III sungguh jauh dari sebutan layak, dan cenderung meremehkan martabat kemanusiaan. Bahkan beberapa penguasa di Negeri ini memberikan layanan tersebut sembari memejamkan matanya. Karena bila mereka yang dirawat dengan pelayanan buruk itu, tentulah tidak akan pernah mau. Dimana empati dan nurani penguasa? Bukankah hakekat penguasa adalah pelayan masyarakat, dan pelindung masyarakat?
Selain itu, yang sungguh menyakitkan lagi adalah, di tengah-tengah arus penolakan masyarakat terhadap kebijakan Jaminan Kesehatan Sistem Jaminan Sosial Nasional, karena masyarakat pasti akan dibebani sejumlah iuran wajib namun diberikan layanan hanya kelas III, pemerintah tak bergeming, dan memastikan pada tahun 2014 nanti akan diterapkan JKSJSN. Bahkan pemerintah berkilah ini adalah bentuk saling tolong menolong di antara sesama. Yang pada saat bersamaan pemerintah terus melangkah dengan APBN yang gagal mengelola sumber daya alam yang berlimpah dan kewenangan yang carut marut antara pemerintah pusat dan daerah, dan antar departemen.
Akhirnya, kebijakan dan sikap penguasa yang tidak melayani dan tidak melindungi ini ini berimbas pada idealisme insan kesehatan dan pelayanan riil di tempat-tempat pelayanan kesehatan, tidak hanya yang dimiliki swasta namun juga milik pemerintah. Insan kesehatan yang seharusnya berempati terhadap penderitaan pasien dan mengedepankan aspek pertolongan dari pada rupiah, bersikap sebaliknya. Di samping itu, potensi distorsi idealisme ini telah ada akibat kurikulum pendidikan yang sekuler dan persoalan ekonomi yang kian membebani.
Khilafah Sistem Politik Yang Didedikasikan Melayani
Khilafah adalah sistem politik Islam yang dikepalai seorang Khalifah. Sistem politik Islam adalah satu-satunya sistem politik yang menerapkan sistem kehidupan Islam secara kaafah, seperti sistem ekonomi, pendidikan, pergaulan, pemerintahan dan sangsi . Dimana hukum-hukum dan aturannya hanyalah hukum dan aturan Allah swt, yang demikian karena Allah swt telah berfirman dalam QS Al Maidah:49, yang artinya, “Hendaklah kamu menghukumi di antara mereka berdasarkan apa-apa yang diturunkan Allah”; dan QS Al Maidah:44, artinya,”Barangsiapa yang tidak menetapkan hukumberdasarkan humum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir”. Ini adalah prinsip pertama system politik Khilafah.
Adapun aturan Allah swt terkait dengan layanan kesehatan telah menjadikan layanan kesehatan sebagai kebutuhan pokok publik, terkait hal ini Rasulullah saw bersabda, yang artinya,” “Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapai keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya”. Pemerintah dengan alasan apapun tidak diperkenankan mengkomersialisasikan, termasuk segala hal yang mengantar pada keadaan ini, seperti membatasi kewenangan pemerintah sebatas regulator dan fasilitator saja. Bahkan pemerintah wajib menjamin pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan setiap individu masyarakat secara langsung dengan kualitas terbaik. Hal ini karena penguasa sejatinya adalah pelayan masyarakat, sebagaimana sabda Rasulullah saw yang artinya, ,”Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari).
Prinsip kedua dari sistem politik Islam adalah kedaulatan ada di tangan syariat. Hal ini menjadikan seluruh individu masyarakat baik penguasa maupun rakyat berada dalam ketaqwaan dan atmosfir ketaqwaan yang tinggi. Dimana penguasa menjalankan fungsi kekuasaan dengan ketundukan kepada syariat Allah swt, bukan dalam rangkah mengekspersikan keangkuhan, den hubussiyyadah (kecintaan pada kekuasaan), tetapi sebagai wujud ibadah kepada Allah swt dalam makna yang sesungguhnya. Allah swt berfirman, dalam QS AN Nisa:59, artinya,”Taatilah Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian. Apa bila kalian bertselisih pendapat tentang sesutau maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya.” Sehingga akhirnya sikap amanah dan empati yang tinggi terhadap penderitaan masyarakat bernar-benar menjadi karakter penguasa.
Pemerintah dalam menjalankan fungsinya sebagai pelayan masyarakat, benar bersifat antisipatif terhadap segala hal yang akan membahayakan masyarakat, dari harta hingga jiwa. Jadi tidak ditunggu dulu terjadi musibah, seperti peristiwa Ayu, baru kemudian menbuat aturan.
Prinsip ketiga, adalah kekuasaan berada di tangan rakyat. Karena Allah telah menyerahkan kekuasaan itu kepada orang-orang mukmin, dan kekuasaan itu diberikan dalam rangka melakukan ketaatan kepada Allah swt. Allah swt berfirman dalam QS An Nur: 55, artinya,” Allah swt berjanji kepada orang-orang beriman di antara kalian dan beramal sholeh, bahwa Allah akan menjadikan mereka berkuasa di bumi”. Rakyat yang bertaqwa dan tercerdasakan oleh Islam sebagai jalan hidup (cerdas politik), tidak akan memilih pemimpin dengan dasar nepotisme, atau pertimbangan dangkal lainnya. Karena Rasulullah saw, artinya,” Jika suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, tunggulah saat kehancurannya.” (HR. Muslim).
Prinsip keempat, adalah hanya ada satu khalifah untuk umat Islam. Karena sistem pemerintahan Islam merupakan sistem kesatuan. Dengan model sistem seperti ini Khalifah memiliki kewenangan yang memadai untuk menjalankan fungsi dan tugas mulianya. Terakhir, bahwa hanya khalifahlah yang berhak melakukan legislasi hukum syara’.
Akhirnya secara keseluruhan prinsip-prinsip tersebut baik secara konsep maupun di tataran realitas telah menjadikan sistem politik Islam, Khilafah Islam sebagai sistem yang mendedikasikan dirinya sebagai pelayan dan pelindung masyarakat, bahkan seluruh alam. Allahu A’lam.[]