Pemerintah lebih fokus pada tata niaga ketimbang pengawasan mutu apalagi kehalalan berbagai produk sandang dan pangan di tanah air.
Winarno dan Beni Hidayat tidak menyangka kalau sepatu yang ia beli ternyata terbuat dari kulit babi. Sepatu bermerek “Kickers” yang ia beli di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, sekilas seperti model sepatu biasa berwarna coklat. Namun, jika diamati lebih cermat dalam sepatu itu terdapat label Pig Skin Lining. Ironisnya, sepatu itu tertempel stiker halal MUI.
Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim mengatakan MUI tidak pernah merekomendasikan pembuatan label ‘pig skin lining’ dan logo halal pada sepatu Kickers. Hal ini diungkapkannya setelah maraknya isu produk sepatu Kickers yang mendapatkan label halal disertai dengan label ‘pig skin lining’. “MUI tidak pernah merekomendasikan dan tidak pernah berhubungan dengan Kickers,” tegasnya.
Lukmanul dengan tegas mengatakan, memang sepatu tersebut mengandung bahan babi. Namun, dikatakannya MUI tidak pernah memberikan rekomendasi penggunaan label ‘pig skin lining’ maupun logo halal pada sepatu tersebut.
Oleh karena itu, ujar Lukman, MUI melayangkan surat kepada perusahaan Kickers untuk segera menghilangkan logo halal dari produknya dan segera mencabut sepatu yang sudah terlanjur beredar dengan label tersebut.
Sedangkan, pengacara PT Mahkota Petriedo Indoperkasa selaku produsen sepatu Kickers, Ikhsan Abdullah berkilah kalau Kickers tidak paham soal logo MUI. Satu logo adalah logo MUI dan satunya lagi logo halal MUI. “Dipikir oleh Kickers itu sama. Malah yang dicantumkan logo halal MUI,” ungkapnya.
Maraknya produk berbahan babi dan tercampur dengan olahan babi, bukan pertama kalinya menghantui masyarakat. Sepekan yang lalu, bakso olahan daging babi sempat membuat panik warga Jakarta. Pemerintah pun dituntut lebih cermat menjaga kehalalan kebutuhan masyarakat yang mayoritas muslim ini.
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen (YLKI) Sudaryatmo mengatakan, produsen dalam kasus ini harus bertanggung jawab jika dia memasang label halal sebelum MUI mengeluarkan label halal itu. “Tetapi, kalau MUI sendiri mengeluarkan label halal itu maka MUI yang harus bertanggung jawab,” imbuhnya.
Menurutnya, undang-undang telah melindungi konsumen terhadap produk yang telah beredar di pasaran. Sebab, konsumen punya hak untuk mengetahui terbuat dari apa produk itu. “UU Pangan di dalamnya terdapat aturan mengenai kehalalan suatu produk, sedangkan di UU perlindungan konsumen keterangan halal ada di pasal 8,” ungkapnya.
Koordinator Ketua Harian Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma’ruf Amin mengatakan, produk-produk yang telah bersertifikat halal dan masih berlaku tidak ada yang tercampur dengan babi. “Kami telah melakukan verifikasi dan memperoleh data bahwa produk-produk yang telah bersertifikat halal tidak ada yang tercampur dengan babi,” ujarnya pada wartawan saat konferensi pers, Rabu (19/12) di Kantor MUI Pusat, Jakarta.
Ia menjelaskan, MUI selalu melakukan pengawasan dan inspeksi mendadak sesuai dengan tupoksi ke sejumlah tempat. Dalam klarifikasi dan verifikasi di lapangan, MUI menemukan adanya produk yang berlogo Halal MUI telah kadaluwarsa sertifikat halalnya per 1 Desember 2012. “Untuk memperpanjang produsen harus mengajukan kembali perpanjangan sertifikat halalnya. Dan yang belum dapat menunjukkan dokumen yang diperlukan maka tidak dapat diterbitkan kembali sertifikat halalnya,” jelasnya.
Terkait isu pencampuran dengan daging babi, kata dia, MUI menghimbau produsen maupun pedagang bakso yang belum bersertifikat halal agar mengajukannya untuk menghilangkan keraguan masyarakat dalam mengonsumsi produk berbahan baku daging. “Kami mendesak pemerintah bersungguh-sungguh melakukan penyidikan, pengawasan, dan penindakan kepada pihak-pihak yang diduga memalsukan sertifikat dan logo halal,” tegasnya.
MUI pun enggan disebut kecolongan soal pemberian label halal kepada bakso oplosan daging babi. Pasalnya, ketika diteliti sebelum pemberian label halal, bakso yang dimaksud tidak mengandung babi. “Waktu dia mendapat sertifikat memang halal betul,” jelasnya.
Di kesempatan berbeda, Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Dradjad H Wibowo mengatakan seharusnya MUI introspeksi mengapa label halal MUI kebobolan. MUI dinilai hendak cuci tangan dalam kasus beredarnya bakso daging babi berlabel halal. “Jangan salahkan kepolisian atau instansi lain, MUI harusnya intropeksi,” cetusnya.
Ia pun mengaku kecewa karena MUI berkilah dengan alasan label pada kemasan bakso yang mengandung daging babi itu sudah kadaluwarsa. “Sebagai Muslim tentu saya sangat kecewa. Kenapa MUI malah lempar tanggung jawab dan melebarkan masalah ke pembahasan RUU Produk Halal?” imbuhnya.
Pemerintah Tidak Melindungi
Masuknya produk dengan bahan baku babi dan turunannya ke tanah air, menurut Iwan Januar, adalah mata rantai umat Islam di tanah air tidak mendapatkan perlindungan yang layak dari pemerintah.
Anggota Lajnah Siyasiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ini mengungkapkan, perhatian pemerintah kecil terhadap keamanan pangan umat Islam. “Pemerintah lebih fokus pada tata niaga ketimbang pengawasan mutu, apalagi kehalalan berbagai produk sandang dan pangan di tanah air,” ujarnya kepada Media Umat.
Kenapa pada tata niaga? Karena memberikan pemasukan sedangkan kalau pengawasan mutu justru kan harus mengeluarkan anggaran. Apalagi namanya kalau pemerintah hanya peduli pada devisa ketimbang kebutuhan rakyatnya sendiri.
Menurut Iwan, selain bakso dan sepatu yang menghebohkan masyarakat masih banyak lagi produk yang mengandung babi seperti penggunaan gelatin pada berbagai industri pangan, kosmetik dan farmasi.
“Wah gelatin ini lebih luas penggunaannya. Saya melihat tidak pernah dipersoalkan gelatin yang dipakai dalam berbagai industri pangan, kosmetik dan farmasi apakah berasal dari babi atau hewan yang halal. Sekali lagi, karena bagi pemerintah apa untungnya mengurus hal ini, malah menguras anggaran,” ungkapnya.
Bagi umat Islam, persoalan ini sudah tidak ada perdebatan lagi, bahwa produk apapun yang berbahan dasar babi – apakah lemaknya, tulangnya, kulitnya, dsb.—adalah haram. “Bila ada produsen yang dengan sengaja menggunakannya maka ada sanksi pidana bagi yang bersangkutan, yang dikategorikan ta’zir. Bisa saja pelakunya dilarang terlibat dalam perdagangan dan industri selama beberapa periode, selain juga ancaman penjara dan denda,” terangnya.
Tapi, menurutnya, hal itu hanya bisa terwujud hanya ketika penerapan syariah Islam yang kaffah dalam bingkai institusi khilafah. “Dalam keadaan sekarang jangan harap pemerintah mau optimal melayani kepentingan umat,” pungkasnya. (mediaumat.com, 6/1)
Subhanallah “bapak bapak” rakyat pada kemana ya… Sibuk membuat UU, atau sibuk persiapan “pesta” 5 tahunan yang muahal….
Akh semua sibuk masing-masing…
Rasulullah mengingatkan, kepada muslim yg hanya sibuk untuk dirinya sendiri dan tidak memikirkan umatnya, maka sabda Rosul,… itu bukan umat ku….