Oleh Fikriyyah Mustaniirah dan Maiyesni Kusiar (Lajnah Mashlahiyyah Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia)
Sebagaimana dicanangkan pada APBN 2013, pemerintahpun menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) per Januari ini sebesar 4,3%. Direncanakan total kenaikan tersebut 15 % selama tahun 2013. Kenaikan yang ditujukan bagi pelanggan di atas 900 VA ini akan berlangsung secara bertahap dengan rentang waktu 3 bulan. Perlu dicatat, ini adalah kali ke sekian pemerintah berkebijakan menaikkan TDL, yang pemerintah menyaksikan sendiri bahwa kebijakan serupa sebelumnya hanyalah berujung pada kesengsaraan masyarakat. Yaitu tahun 2006, dan tahun 2010. Sementara itu sebelum kebijakan kenaikan TDL tahun ini diterapkan, telah disampaikan kepada pemerintah akibat buruk yang akan dipikul masyarakat, beserta jalan keluar yang lebih baik, namun pemerintah tetap pada pendiriannya. Mengapa pemerintah berulang kali melakukan kebijakan yang tidak melayani ini?
Demokrasi: Pemerintah Pelayan Korporasi
Seperti yang sudah-sudah, beban subsidi adalah alasan yang dikemukakan pemerintah mengapa diterapkan kebijakan kenaikkan TDL. Bila dicermati lebih dalam, apa yang dikemukakan pemerintah tersebut, tak lain dan tak bukan merupakan manifestasi dari prinsip berfikir sekuler kapitalistik. Prinsip berfikir ini kemudian dijadikan landasan berfikir dan berkebijakan dalam pengelolaan energi. Yakni prinsip bahwa harta milik umum, khususnya listrik harus dikomersialkan sekalipun kepada masyarakat. Demikianlah yang dicanangkan GATS (General Agreemant Trade and Services).
Lebih jauh lagi, sebelum kebijakan kenaikan TDL, prinsip kapitalisme/liberalisme dalam pengelolaan listrik telah diterapkan pemerintah melalui kebijakan unbundling (pemecahan) PLN baik secara vertikal (pembangkit sampai dengan ritail) maupun horizontal (berdasarkan geografis), sehingga korporasi leluasa memperdagangkan hajat hidup masyarakat yang satu ini dari hulu (pembangkit) sampai ke hilir (ritail). Hal inilah yang ditengarai menjadi pemicu besarnya biaya produksi listrik.
Kondisi ini semakin diperparah oleh kebijakan serupa dalam berbagai sektor lainnya. Dalam sektor migas dan batu bara, misalnya, mengakibatkan PLN harus membeli BBM dengan harga mahal. Di samping itu, sekalipun sudah nyata bahwa penggunaan gas nyata-nyata menjadikan biaya produksi listrik jauh lebih murah, namun di tengah kelimpahan potensi sumber daya gas, pemerintah lebih mengutamakan kemauan korporasi. Yaitu mengekspor gas bumi ke China selama bertahun-tahun yang dipatok dengan harga hanya US$ 4 per mmbtu (million metric british thermal unit) dan ke Malaysia 3-6,5 dolar AS per mmbtu, sementara harga jual gas di dalam negeri sekarang sebesar US$ 6-10 per mmbtu, itupun dengan pasokan yang terbatas.
Hanya saja penting disadari, pengelolaan energi yang berorientasi melayani kepentingan korporasi tersebut adalah niscaya dalam sistem politik demokrasi. Karena sistem politik ini sesungguhnya terpancar dari ideologi sekuleris kapitalistik itu sendiri. Dimana kewenangan membuat aturan kehidupan, dalam hal ini pengelolaan layanan energi diserahkan pada hawa nafsu manusia, ini di satu sisi. Di sisi lain, secara langsung maupun tidak langsung (melalui LSM seperti USAID, lembaga internasional seperti Bank dunia) korporasi adalah pihak yang memiliki kontribusi besar, khususnya dana dalam pembuatan aturan tersebut.
Akibatnya, kentingan korporasi menempati kedudukan istimewa dalam aturan-aturan tersebut. Negara sah-sah saja memperdagangkan hajat hidup masyarakat, bahkan ini dinilai penting. Dikarenakan dalam angan-angannya,komersialisasi akan mewujudkan atmosfir kinerja positif dan kreatif , padahal yang terjadi justru sebaliknya. Terkait pengelolaan ketenagalistrikan, kebijakan liberal kapitalistik tersebut telah dilegalkan oleh UU No 30/2009 tentang Ketenagalistrikan.
Celakanya lagi, sistem politik demokrasi yang menjadi kekuasaan sebagai objek bisnis dan biaya politik yang mahal, telah menciptakan iklim kerakusan dan arogansi di kalangan penguasa dan aparatnya. Tidak heran bila penguasa dan aparatnya sulit berempati terhadap penderitaan masyarakat. Disamping itu yang tak kalah bermasalah lagi adalah kompetensi kepemimpinan yang dimiliki. Kondisi ini diperburuk oleh hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Akibatnya, korupsi terus merajalela, inefisiensi kerja terus berlangsung di tubuh PLN. Inilah realitas demokrasi. Masihkah berharap pada demokrasi?
Sungguh Allah swt telah mengingatkan tentang semua itu, dalam firman-Nya QS Tahaa: 124, artinya,”Dan Barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”.
Khilafah: Pelayan Umat Sejati
Khilafah adalah sistem politik Islam, yang dipimpin oleh khalifah. Sedangkan Khalifah dipilih dan dibai’at masyarakat hanyalah untuk menerapkan syariat Allah secara kaafah dalam semua aspek kehidupan. Tidak perlu diperdebatkan lagi, aturan Allah swt adalah satu-satunya aturan yang paling baik bagi manusia. Hal tersebut ditegaskan Allah swt dalam firman-Nya QS Al Maidah:50, artinya,”Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik dari (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?”.
Lebih jauh lagi, prinsip sistem politik Islam yang menjadikan kewenangan membuat hukum hanyalah hak Allah swt, telah menutup segala celah adanya hukum/aturan dan perundang-undangan yang mengedepankan kemauan korporasi dan mengabaikan kemashlahatan umat.
Terkait dengan listrik, Islam telah menetapkannya sebagai milik umum, sebagaimana dituturkan Rasulullah saw, yang artinya, ”Kaum muslimin bersekutu dalam tiga perkara: air, rumput dan api” (HR Abu Daud). Demikian pula Islam telah menetapkan barang tambang, migas, batu bara yang jumlahnya seperti air mengalir, sebagai harta milik umum. Hal ini didasarkan pada hadits yang datang dari Abyadh bin Hamal, dimana Rasulullah SAW menarik pemberian tambang garam, karena jumlahnya seperti air mengalir.
Bersamaan dengan itu Allah SWT melalui lisan Rasul-Nya yang mulia telah menegaskan fungsi melayani umat adalah tanggung jawab penting yang tidak boleh dilalaikan sedikitpun, artinya, ”Imam (Khalifah) adalah pelayan, dan ia bertanggungjawab terhadap rakyatnya.” Ini menunjukkan, dengan alasan apapun Negara tidak dibenarkan mengkomersialkan listrik. Sebaliknya, justru harus berupaya sungguh-sungguh dan serius agar terjamin pemenuhan kebutuhan listri setiap individu masyarakat, digratiskan atau dijual dengan harga sangat murah.
Lebih dari pada itu, sistem politik Islam sendiri berkarakter melayani umat. Penerapan sistem kehidupan Islam secara totalitas menjadikan khalifah memiliki kemampuan melayani pemenuhan berbagai kebutuhan setiap individu masyarakat secara optimal. Yaitu mulai dari wewenang, anggaran hingga mengenyahkan segala bentuk penjajahan.
Tidak hanya itu, sistem politik Islam yang menerapkan Islam secara kaffah akan menciptakan atmosfir ketaqwaan yang kuat pada diri penguasa dan aparatnya. Yang penting bagi lahirnya empati yang tinggi terhadap persoalan masyarakat, dan bersikap antisipatif dalam segala hal yang akan memudharatkan masyarakat.
Bersamaan dengan itu, mahkamah madzolim yang berkerja sesuai syariat Allah SWT benar-benar berfungsi sebagai peradilan yang bersifat preventif dan berefek jera bagi penguasa yang lalai. Akhirnya, keseluruhan sistem politik Islam, Khilafah Islam benar-benar menampilkan performanya sebagai pelayan umat sejati. Listrik murah keniscayaan, namun yang terpenting dari semua itu adalah, kembali pada kehidupan Islam adalah kewajiban dari Allah swt.
Allah swt berfirman dalam QS Al Anfaal:24, artinya,”Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apa bila dia menyerukanmu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu..”. Allahu A’lam.[]