Redenominasi Rupiah: Solusi atau Masalah Baru?

Oleh : Muh. Ishak (Lajnah Maslahiyah Hizbut Tahrir Indonesia)

Wacana BI untuk melakukan redenominasi rupiah menuai silang pendapat.[1] Meski demikian kebijakan moneter yang bertujuan untuk ‘memangkas’ angka nol dalam penulisan mata uang rupiah—tanpa mengurangi nilainya—bukanlah hal baru. Menurut catatan Ioana sejak 1923-2002 terdapat lebih dari 80 negara telah menerapkan kebijakan tersebut. Polandia, Bulgaria dan Turki dianggap sukses menjalankan kebijakan tersebut. Sementara Brazil dan Argentina justru menuai inflasi tinggi pasca kebijakan itu sehingga harus melakukannya beberapa kali.[2]

 

Umumnya redenominasi dilakukan pasca terjadi hyperinflasi yang menyebabkan nilai suatu mata uang merosot tajam. Kebijakan teknis tersebut merupakan upaya pemerintah untuk meyakinkan publik bahwa masa inflasi tinggi telah berakhir. Dengan demikian, redenominasi bukan merupakan penyebab stabilitas moneter namun merupakan hasil dari proses stabilisasi. Redenominasi sekaligus merupakan bentuk pengakuan kepada publik  atas kesalahan kebijakan ekonomi sebelumnya yang telah mendorong terjadinya inflasi tinggi dan memburuknya nilai tukar domestik di pasar internasional.[3]

Implikasi

Keuntungan dari redenominasi antara lain terjadinya efisiensi dalam pencatatan nilai mata uang karena pencatatan nol akan lebih sedikit seperti pada transaksi jual beli, label harga, laporan akuntansi, catatan statistik, dan perangkat lunak pengolahan data. Disamping kepraktisan, aspek psikologis berupa tingkat kepercayaan terhadap mata uang tersebut diharapkan lebih tinggi karena nilainya terlihat lebih kuat terhadap mata uang lain.

Secara operasional proses redenominasi mata uang nasional tidak mempunyai efek pada inflasi jika kondisi perekonomian relatif stabil.[4] Hanya saja jika yang perlu dijaga adalah sejauh mana presepsi publik menilai dampak dari kebijakan tersebut. Jika publik berespektasi bahwa akan terjadi inflasi pasca kebijakan tersebut maka dalam jangka pendek kebijakan redenominasi akan dapat mendorong terjadinya inflasi. Publik yang memiliki ekspektasi yang tinggi pada inflasi setidaknya akan melakukan beberapa penyesuaian antara lain: menukar uangnya dalam bentuk mata uang lain, atau membelanjakan uangnya pada barang-barang berharga seperti emas dan tanah. Dengan demikian, nilai tukar mata uang tersebut justru melemah. Barang impor semakin mahal sehingga menyebabkan inflasi (imported inflation). Selain itu, inflasi di dalam negeri akibat tingginya permintaan barang juga akan menggerek inflasi sehingga mendorong Bank Sentral untuk melakukan pengetatan moneter dengan menaikkan suku bunga. Jika pengetatan tersebut berlangsung lama maka sektor riil akan terpukul akibat naiknya suku bunga kredit. Dampak inflasi tersebut tidak hanya merugikan masyarakat kecil yang tidak dapat melindungi aset mereka namun juga pegawai dan buruh yang tidak memiliki daya tawar untuk mengkompensasi inflasi dengan kenaikan upah.

Kemampuan bank sentral dalam mensosialisasikan kebijakan redenominasi sangat menentukan tingkat kepercayaan publik pada aspek positif kebijakan itu baik tujuan, waktu serta mekanisme operasionalnya. Sayangnya persoalan sosialisasi di negeri ini seringkali bermasalah sehingga kebijakan pemerintah tidak berjalan optimal sebagaimana yang terjadi pada konversi minyak tanah ke gas, BLT dan Raskin.  Bank sentral Rusia misalnya gagal meyakinkan publik bahwa redenominasi Rubel tidak akan membuat harga naik.  Sebaliknya rumor yang menyatakan sebaliknya justru lebih mempengaruhi publik sehingga membuat inflasi naik dari 28 persen menjadi 86 persen pada 1999. Hal yang sama juga terjadi pada Afganistan (2002) ketika pemerintah negara itu memotong tiga angka nol mata uang Afgani. Rakyat negara itu justru berbondong-bondong memborong mata uang dollar dan mata uang baru menyebabkan nilai mata uang lama merosot tajam.[5]

Dalam masa transisi redenominasi, pihak swasta yang menjual barang dan jasa harus mengeluarkan biaya ekstra karena harus menuliskan dua harga pada label produk yang mereka jual atau setidaknya tenaga tambahan untuk memberi penjelasan. Selain itu, pemerintah dan swasta juga terpaksa mengeluarkan biaya tambahan untuk melakukan harmonisasi dan perubahan sistem pencatatan manual dan elektronik yang berhubungan dengan mata uang tersebut. Bank Sentral dalam jangka waktu tertentu juga harus menganggarkan biaya untuk mencetak uang baru dan menarik uang lama. Di saat yang sama, pemerintah dan DPR dituntut untuk melakukan sinkronisasi undang-undang dan pembuatan aturan baru terkait redenominasi tersebut.

 

Instabilitas Mata Uang Kertas

Redenominasi sebenarnya tidak perlu dilakukan jika pemerintah mampu menjaga kestabilan nilai tukar rupiah dalam jangka panjang. Meski harus diakui bahwa untuk melakukan hal itu tidak mudah. Hal ini karena rupiah sebagaimana mata uang lainnya merupakan standar mata uang kertas (fiat money) yang sifatnya rentan digrogoti inflasi. Ini karena, otoritas moneter saat ini tidak lagi diikat oleh ketentuan untuk mengkaitkan antara jumlah uang beredar dengan cadangan emas atau mata uang kuat lainnya sejak diakhirinya perjanjian Bretton Woods tahun 1971. Dengan demikian, masing-masing bank sentral berwenang untuk meningkatkan jumlah uang beredar dengan mencetak uang yang lebih banyak sehingga menyebabkan inflasi bahkan di beberapa negara terjadi hyperinflasi.

Selain itu, kestabilan mata uang kertas juga dipengaruhi rezim nilai tukar yang diadopsi oleh suatu negara. Rupiah misalnya atas saran IMF menetapkan rezim kurs mengambang. Artinya nilai tukar rupiah terhadap dollar ditentukan berdasarkan supply and demand. Semakin tinggi permintaan terhadap Rupiah maka nilainya akan meningkat atau terapresiasi. Sebaliknya jika penawaran meningkat seperti terjadi lonjakan permintaan devisa oleh importir, meningkatnya pembayaran utang luar negeri baik swasta maupun pemerintah atau aksi spekulasi para investor di pasar modal dan pasar uang maka nilai rupiah terhadap dollar akan merosot atau terdepresiasi. Bank Indonesia  memang dapat melakukan intervensi untuk menjaga nilai tukar Rupiah dengan cara membeli dollar–disamping instrumen moneter lainnya–ketika harga rupiah merosot dan sebaliknya melepas cadangan devisanya ketika nilainya dianggap terlalu kuat. Namun tindakan tersebut sangat dintentukan oleh seberapa besar cadangan devisa yang dimiliki oleh otoritas moneter tersebut. Hal ini pula yang dialami Indonesia pada krisis tahun 1997/8 silam ketika rupiah mengalami deprsiasi yang sangat tajam– dari Rp 2.500 pada Juli 1997 sampai menembus Rp 14.000-an –akibat meningkatnya permintaan dollar dalam waktu singkat. Sejak saat itu nilai tukar rupiah terhadap dollar mengalami pelemahan yang sangat besar dengan kurs rata-rata Rp9.230 dari tahun 1998-2012. Contoh mutakhir dari masalah ini adalah Pakistan yang terpaksa meminjam ke IMF untuk meningkatkan cadangan devisanya agar mampu menahan laju pelemahan Rupee.[6]

Apalagi saat ini selain mengadopsi rezim kurs mengambang, Indonesia juga menganut liberalisasi sektor modal dan perdagangan. Dampak dari liberalisasi ini diantaranya dalam waktu singkat Indonesia dapat kebanjiran modal jangka pendek (hot money) di pasar modal sehingga nilai tukar rupiah menguat terhadap dollar. Namun penguatan ini bisa berbalik tajam ketika modal-modal tersebut sewaktu-waktu dapat keluar jika terjadi shock baik eksternal maupun internal sehingga nilai rupiah kembali terjungkal. Inilah salah satu penyakit yang ditimbulkan oleh mata uang kertas. Volatilitas nilai tukar tersebut secara faktual telah berdampak buruk pada perekonomian.  Salah satu negatif ketidakstabilan mata uang adalah rugi kurs yang kerap dialami oleh perusahaan-perusahaan yang melakukan transaksi dengan mata uang asing. Pada semester I-2012 misalnya PLN mengalami rugi kurs sebesar Rp 6 triliun yang membuat laba BUMN tersebut anjlok 96 persen.[7]

 

Standar Emas dan Perak

Berdasarkan hal diatas jelas bahwa wacana redenominasi yang digelindingkan pemerintah merupakan kebijakan moneter yang tidak memberikan pengaruh berarti bagi perekonomian terutama terkait dengan kestabilan nilai tukar rupiah. Oleh karena itu, yang justru mendesak dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan tinjauan ulang terhadap standar mata uang kertas yang diberlakukan saat ini yang telah terbukti secara faktual mudah digrogoti inflasi, menciptakan ketidakstabilan moneter yang berdampak pada kestabilan perekonomian secara umum. Adapun solusinya adalah dengan mengganti dengan standar mata uang emas dan perak yang terbukti secara historis menciptakan kestabilan dan inflasi rendah yang terkendali.

Lebih dari itu, Islam telah  mewajibkan penggunaan mata uang emas dan perak sebagai jenis mata uang yang dijadikan sebagai mata uang resmi negara yang dijadikan sebagai alat transaksi dan tolak ukur barang dan jasa. Berbagai dalil syara secara tegas menunjukkan wajibnya penggunaan mata uang tersebut yaitu adanya larangan penimbunan (al-kanz) emas dan perak (QS: at-Taubah: 34) dan tidak pada harta lainnya; pengkaitan emas dan perak pada sejumlah hukum yang bersifat permanen seperti, pembayaran  diyat dengan emas dan perak, penetapan kadar objek pencurian dengan emas yakni ¼ dinar emas. Dalam proses pertukaran dan transaksi Rasulullah juga telah menetapkan (taqrir) emas dan perak sebagai mata uang.ketika syara mewajibkan zakat uang maka ia dinisbahkan kepada emas dan perak dan kadarnya dengan ukuran emas dan perak serta hukum pertukaran mata uang selalu dikaitkan dengan emas dan perak[8] Dengan demikian, standar mata uang yang diperintahkan di dalam Islam adalah standar mata uang emas dan perak bukan mata uang kertas seperti saat ini. wallahu a’lam bisshawab.




[1] Redenominasi  adalah kebijakan untuk menyederhanakan denominasi (pecahan) mata uang menjadi pecahan lebih sedikit dengan cara mengurangi digit (angka nol) tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut. Hal yang sama secara bersamaan dilakukan juga pada harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat tidak berubah. Misalnya uang nominal Rp 1.000 dipangkas menjadi Rp1. Pada saat yang sama seluruh barang yang tadinya bernilai Rp1.000 berubah menjadi bernilai Rp1,-. Demikian pula dengan konvensi nominal pecahan lainnya. Berbeda dengan sanering dimana terjadi pemotongan nilai uang namun tidak tidak dilakukan pada harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat menurun.seperti Rp1.000 dipotong menjadi Rp1 sementara harga tidak dilakukan penyesuaian.

[2] Duca Ioana,  2005. The National Currency Re-Denomination Experience in Several Countries: A Comparative Analysis. Paper presented at the International Multidisciplinary Symposium Universitaria Simpro, 2005  http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1347407

 

[3] Layna Mosley, 2005. Dropping Zeros, Gaining Credibility?  Currency Redenomination in Developing Nation. Paper presented at the 2005 Annual Meetings of the American Political Science Association,

Washington, DC.  http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1347407

[4] Iona, op.cit

[5] Ibid.

[6] http://www.bloomberg.com/news/2013-01-07/pakistan-seen-needing-imf-bailout-as-rupee-plunges-before-vote.html

[7] http://finance.detik.com/read/2012/09/03/163858/2006588/1034/rugi-kurs-rp-6-triliun-laba-pln-jeblok-96

[8] Taqiyuddin an-Nabhany, An-Nidzam al-Iqtishady fil Islam, Beirut: Darul Ummah, cet. VI hal. 271

3 comments

  1. Subhanallah, Memang sungguh Islam adalah solusi..

  2. tidak ada alasan lagi untuk menunda penerapan syariat secara kaffah dalam bingkai khilafah, termasuk penerapan mata uang emas dan perak

  3. Jemput Syari’ah dan Khilafah Segera…

    Mari Berjuang bersama
    dalam Perjuangan Penegakan Syari’ah dan Khilafah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*