Politik Dagang Sapi Demokrasi, Sumber Malapetaka

Politik transaksional menjelang perhelatan menuju pemilihan Walikota Bogor sudah mulai terendus. Anehnya, politik keji ini seolah manjadi hal yang lumrah dan dimaklumi.

Menanggapi munculnya politik kotor ini, Gus Uwik, Ketua DPD 2 HTI Kota Bogor menegaskan, bahwa justru disinilah salah satu akar masalah mengapa bangsa kita semakin hari semakin hancur.

“Adanya uang mahar kepada partai bagi setiap calon yang ingin mencalonkan diri via partai, adalah sumber malapetaka bagi negeri ini,'” urai  Gus Uwik, kepada Bogorplus.com, Minggu (12/1/12)..

‎Politik transaksional yang ‘dilegalkan’ dalam sistem demokrasi ini, karena dianggap sebagai konsekwensi dari biaya politik yang harus dibayar ketika ingin masuk dalam kancah pesta demokrasi.

‎Menurut informasi yang ada, biaya mahar cawalkot kepada partai sekitar lima Miliar, bahkan lebih. Sedangkan untuk  biaya politik yang lain, seperti dana kampanye untuk  buat spanduk, nyawer, sumbangan, dll, bisa mencapai 15 M lebih. Oleh karena itu, total dana minimal yang disediakan adalah 20 M.

‎”Pertanyaan selanjutnya, apakah setiap calon walikota punya dana sebesar itu? Tentu jawabnnya tidak,” tegas Gus Uwik.

Disinilah korelasi munculnya para kapitalis, sebab yang mempunyai dana besar tentu tidak lain adalah para kapitalis pemegang modal.

“Para calon walikota akan berhutang modal dan politik kepada para kapitalis,” jelas Gus Uwik.

Dari sinilah muncul politik transaksional atau politik balas budin para kapitalis akan meminta jatah proyek-proyek yang ada sebagai kompensasi dari biaya politik yang telah dia keluarkan.

“Dari sinilah muncul kolusi, korupsi dan nepotisme dalam penagangan proyek-proyek yang ada,” tukas Gus Uwik.

Belum lagi peluang korupsi yang dilakukan oleh walikota terpilih, karena desakan kebutuhan. Secara logika, walikota terpilih akan berusaha mengembalikan biaya modal politik yang ada plus keuntungan.

“Tidak mungkin seorang walikota terpilih akan mengikhlaskan biaya politik yang dia keluarkan, apalagi sampai hutang ke para kapitalis,” terang Gus Uwik.

Apalagi jika ditilik gaji bulanan yang diterima oleh walikota sebesar 7 juta/bln, lanjutnya, tentu akan sangat jauh jika dipakai menutupi modal dan keuntungan politiknya.

“Dengan gaji yang kecil ini, maka akan muncul usaha mencari sumber lain untuk menutupi modal dan mencari tambahan keuntungan, dari sinilah akan muncul korupsi. Banyaknya kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi, adalah bukti empiris hal ini,” papar Gus Uwik.

Ia menambahkan, jika semakin banyak dana untuk pembangunan di korupsi, maka semakin menjadi sumber malapetaka bagi rakyat. Rakyat tetap bodoh, karena dana untuk subsidi pendidikan dikorupsi. Rakyat tetap miskin, karena dana untuk pemberdayaan dikorupsi dan lebih parahnya lagi, rakyat tetap buta huruf al Quran, karena  untuk  pengadaan Al Quran saja juga dikorupsi. Oleh karena itu, menurut Gus Uwik, inilah bukti kebobrokan sistem demokrasi, karena melegalkan politik transaksional.

“Jika sistem demokrasi yang terbukti cacat seperti itu, kenapa masih dipertahankan?,” tanya Gus Uwik.

Inilah nilai strategis, kenapa syariat Islam dalam bingkai Khilafah perlu diperjuangkan untuk mengganti sistem demokrasi yang ada.

“Setelah sistem demokrasi terbukti bobrok, sistem sosialis juga bobrok dan gagal, maka sistem apa lagi yang bisa menjadi solusi kalau bukan syariat Islam? Syariat Islam dalam bingkai Khilafah telah terbukti selama 14 abad menaungi 2/3 dunia hidup sejahtera,” tukas Gus Uwik. (bogorplus.com, 12/1)

2 comments

  1. pantas saja, baru tau saya!

  2. itulah demograzy…. yu kita tinggalkan…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*