Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan vonis hukuman penjara 4,5 tahun ditambah denda Rp 250 juta subsider kurungan enam bulan kepada anggota DPR, Angelina Sondakh alias Angie. Hakim menilai, Angie terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut dengan menerima pemberian berupa uang senilai total Rp 2,5 miliar dan US$ 1,2 juta (atau sekitar Rp 12 miliar dengan kurs 10.000) dari Grup Permai.
Selaku anggota DPR sekaligus Badan Anggaran DPR, Angie menyanggupi untuk menggiring anggaran proyek perguruan tinggi di Kementerian Pendidikan Nasional sehingga dapat disesuaikan dengan permintaan Grup Permai.
Vonis itu jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa. Jaksa KPK menuntut agar Angie dihukum 12 tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan. Jaksa mendakwa Angie meneripa suap sebesar Rp 12,58 miliar da US$ 2,35 juta terkait penanganan proyek kementerian Pendidikan dan kementerian Olahraga tahun anggaran 2010-2011. Jaksa juga menuntut Angie untuk mengembalikan sejumlah uang suap itu kepada negara.
Mendapatkan vonis itu, Angie tampak sumringah dan gembira. Ia justru bersyukur karena tidk divonis lebih berat. Pihak Angie mengatakan bahwa vonis itu membuktikan bahwa dalam ada fitnah dalam kasus Angie.
Sementara disisi lain, vonis rendah itu mendapatkan komentar dan kritik dari berbagai pihak. Banyak pihak menilai, vonis itu mencederai rasa keadilan. Betapa tidak, vonis itu tidak berbeda banyak dari ancaman hukuman untuk maling ayam, yang bisa diancam hukuman hingga lima tahun penjara. Disamping itu vonis itu juga dianggap kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi. Sebab vonis itu tidak akan memberikan efek jera. Justru vonis ringan itu bisa menanamkan anggapan kalau mau melakukan kejahatan pilih kejahatan korupsi saja dan jika korupsi yang besar sekalian. Sebab toh hukumannya relatif sama saja. Apalagi kalaupun di penjara, tohjika berperilaku baik nanti bisa mendapat remisi. Dari hukuman 4,5 tahun, jika mendapat remisi maksimal hukumannya bisa tinggal 3 tahun saja. Dan jika sudah dijalani dua pertiga atau sekitar dua tahun, maka sudah bisa keluar dari penjara. Begitu keluar, uang hasil korupsi masih banyak tersimpan dan tetap bisa kaya raya. Toh wacara pemiskinan terhadap koruptor selama ini belum ada buktinya.
Vonis Angie yang rendah itu terjadi karena hakim dinilai tidak memiliki semangat pemberantasan korupsi. Bahkan ketua KPK menilai hakim keliru memahami dakwaan jaksa KPK.
Namun disisi lain ada juga yang menilai bahwa “kesalahan” tidak hanya pada hakim. Jaksa KPK juga dinilai memiliki andil. Pasalnya, jaksa KPK memberikan dakwaan alternatif. Jaksa KPK menyampaikan tiga tuntutan secara alternatif artinya hakim bisa memilih salah satunya. Jaksa Penuntut Umum KPK memberikan dakwaan alternatif pada Angelina. Istri almarhum Adjie Massaid itu dijerat dengan pasal 12 huruf a atau Pasal 5 ayat 2 atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pengamat hukum dari Fakultas Hukum Universitas Trisaksi yang juga mantan hakim, Asep Iwan Iriawan, menilai jaksa KPK terlihat ragu menerapkan pasal yang didakwakan. Asep mengungkapkan, “kalau jaksa enggak yakin pakai alternatif, a,b, c,d,e sampai z.” Menurutnya, selain adanya dakwaan alternatif yang terlihat ragu, jaksa juga tidak maksimal membuktikan perbuatan Angie sehingga hakim memilih pasal yang dinilainya sesuai dengan bukti dan fakta di persidangan. Asep mengatakan, “dakwaannya kan alternatif. Itu kan membuat hakim untuk memilih mana yang terbukti di persidangan. Kelemahannya, jaksa tidak maksimal buktikan pada hakim bahwa uang yang dikorupsi adalah uang negara yang dikumpulkan di Permai itu,” papar mantan hakim tersebut (kendarinews.com, 12/1).
Pada faktanya, hakim akhirnya memilih menggunakan pasal 11 yang ancaman hukuman maksimalnya lima tahun penjara. Jika dlihat dari pasal 11 maka hukuman 4,5 tahun penjara itu dinilai maksimal hampir mencapai ancaman hukuman maksimalnya.
Harapan Kosong
Fakta yang ada itu hanya makin menegaskan bahwa harapan pemberantasan korupsi sejauh ini hanya berupa harapan kosong. Ada beberapa hal yang memperkuat hal itu.
Pertama, sebab korupsi, suap dan sejenisnya itu sebenarnya ada pada sistem politik demokrasi yang berbiaya tinggi. Kebutuhan biaya tinggi untuk bisa masuk dalam proses politik menyebabkan para politisi mengeluarkan dana besar baik berasal dari kantongnya sendiri atau modal yang ditanamkan oleh para cukong politik. Tentu saja di alam kapitalisme saat ini tidak ada makan siang yang gratis. Artinya dana yang dikeluarkan itu harus kembali tentu dengan sejumlah keuntungan sekaligus menumpuk modal untuk mengikuti proses politik berikutnya. Bagi para cukong dana itu bisa kembali dengan jalan para politisi yang dimodali itu mengatur proyek-proyek yang nantinya didapatkan (diberikan) kepada para cukong itu. Sementara bagi para politis sendiri, dana itu tentu tidak bisa kembali hanya mengandalkan pendapatan resmi dari gaji dan berbagai tunjangan. Sebab hal itu memang mustahil. Karena itu jalan pengembalian dana itu hapir bisa dipastikan berasal dari pendapatan-pendapatan tak resmi dengan memanfaatkan jabatan dan posisi sebagai politisi, entah berupa fee karena mengatur proyek dan jabatan, manipulasi pengeluaran dan aktifitas, atau korupsi.
Kedua, perilaku korup, suap, manipulasi itu sudah terjadi secara sistemik melibatkan orang yang lebih banyak dari yang diduga oleh masyarakat. Hampir sangat sulit menemukan politisi dan aparat yang tidak terlibat atau benar-benar bersih. Akhirnya yang terjadi dalam politik saling sandera. Jika kamu mengusut saya maka saya juga akan menyeret kamu sebab seperti halnya kamu tahu tentang saya, saya juga tahu tentang kamu. Karena itu yang terjadi kemudian adalah layaknya apa yang terjadi di panggung sandiwara. Semuanya sudah diatur untuk menyenangkan penonton, tapi tidak ada yang benar-benar. Maka pemberantasan korupsi yang sesungguhnya tidak mungkin terwujud dari mereka.
Ketiga, batasan dan definisi korupsi, suap dan sejenisnya yang tidak jelas. Hal itu terlihat dari terus adanya perdebatan tentang apa itu korupsi. Hal itu menyulitkan implementasi. Padahal esensinya adalah sama, yaitu harta yang diperoleh oleh penguasa, pejabat, politisi, pegawai negara atau pihak-pihak yang mengerjakan tugas atau proyek dari negara, secara tidak sah.
Keempat, dari sisi hukum dan undang-undangnya sendiri, terlalu banyak pasal yang mengatur masalah korupsi, suap dan sejenisnya. Akibatnya, ketika jaksa kurang tepat memilih pasal yang dikenakan, koruptor pun bisa tidak terjerat hukum. Begitu pula jika jaksa tidak terlalu yakin dengan salah satu pasal, dan akhirnya menyusun dakwaan alternatif, tidka jarang justru menguntungkan terdakwa koruptor karena memiliki ruang yang lebih luas untuk melakukan pembelaan. Disamping, hakim akhirnya bisa saja memilih dakwaan yang paling ringan atau yang paling mudah dibuktikan. Hakim tidak terdorong untuk mengejar dakwaan yang maksimal. Hal itulah yang kemungkinan terjadi dalam kasus Angie.
Kelima, adanya paradigma dalam sistem hukum yang ada bahwa keputusan hakim bisa menjadi jurisprudensi yaitu bisa menjadi rujukan bagi hakim lainnya dalam memutuskan vonis dalam kasus yang sama. Hakim akan cenderung untuk tidak berbeda dari para koleganya hakim-hakim lainnya dalam memutuskan vonis. Itulah yang terjadi kenapa vonis untuk para koruptor relatif sama saja berkisar antara 2-4 tahun.
Keenam, masih enggannya para hakim menerapkan pembuktian terbaik dan pemiskinan terhadap koruptor. Padahal itu adalah cara sangat efektif dan bisa menimbulkan efek jera. Faktor terpenting bagi koruptor melakukan korupsi adalah keserakahan atas harta. Karena itu, para koruptor itu akan takut sekai kehilangan harta yang dia korupsi. Dia akan mati-matinya “menyelamatkan” harta korupsinya, sehingga kalaupun dia dipenjara, begitu keluar dia masih kaya raya dan hidup enak. Ketika harta yang diperoleh ilegal semuanya disita untuk negara, maka itu sangat menonjok langsung faktor mendasar koruptor melakukan korupsi. Sementara asas pembuktian terbalik merupakan cara sangat efektif dimana terdakwa yang dibebani untuk membuktikan hartanya diperoleh secara legal. Hal itu bisa diterapkan setelah bisa dibuktikan adanya penambahan jumlah harta kekayaan yang tidak rasional jika dibandingkan dengan pendapatan resmi atau yang sewajarnya bagi pegawai, pejabat, penguasa, politisi yang didakwa. Dan indikasi itu bisa diperoleh setelah membandingkan harta kekayaan yang dimiliki saat ini, dengan harta yang dimiliki sebelum menjabat atau bertugas, ditambah tambahan jumlah harta yang wajar.
Keenam faktor itu membuat harapan pemberantasan korupsi di negeri ini akan terus menjadi harapan kosong. Selama keeanam faktor itu tidak diselesaikan dan diubah maka masa depan pemberantasan korupsi di negeri ini akan terus menjadi mimpi. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya A- LS HTI]