Sistem Pendidikan Inggris, Masihkah Terbaik di Dunia?
Oleh: Siska Resti (Lajnah Siyasiyah MHTI)
Dampak Kapitalisasi Pendidikan
Inggris yang masih dipercaya sebagai salah satu negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, kini dalam dilema. Nichola Dandridge, direktur Universities UK mengatakan dari 2007 hingga 2011 jumlah calon mahasiswa dari negara-negara non-Uni Eropa selalu naik 7% per tahun. Namun untuk tahun lalu (2012) kenaikan itu berhenti dan terus mengalami penurunan. Calon mahasiswa asing menghindari perguruan tinggi Inggris (bbc, 9/1). Berdasarkan data sementara yang diambil oleh lembaga yang mengurusi pendaftaran ke perguruan tinggi, UCAS, pada 17 Desember 2012 diketahui jumlah pendaftar turun 6,3% dibandingkan periode tahun lalu. Pam Tatlow, ketua pengurus universitas yang tergabung di kelompok Million+ mengatakan, “Ini kecenderungan yang mengkhawatirkan. “UCAS mengatakan penerapan biaya kuliah yang nilainya bisa tiga kali lebih besar dari biaya lamalah yang menyebabkan angka pendaftaran mahasiswa untuk musim gugur 2012 turun tajam. Komersialisasi pendidikan penyebab melambungnya biaya pendidikan nyatanya menimbulkan persoalan pelik di Inggris.
Ditengah-tengah laporan menurunnya jumlah calon mahasiswa asing di Inggris, pemberitaan tentang kerjasama bilateral bidang pendidikan antara Indonesia dan Inggris perlu menjadi sorotan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, dan Minister for Universities and Science, David Willets menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) bidang Pendidikan di KBRI London pada Rabu (30/5). Penandatanganan MoU Pendidikan ini merupakan tindak lanjut konkret dari pertemuan Susilo Bambang Yudhoyono dan David Cameron dalam kunjungan kerja PM Inggris tersebut ke Indonesia bulan April 2012. Melalui MoU Pendidikan serta pertemuan reguler Pokja Pendidikan Indonesia-Inggris, diharapkan akan terbentuk multi-network yang menghubungkan institusi pendidikan di kedua negara untuk memfasilitasi mobilitas sumber daya yang lebih baik. Beberapa hal yang didiskusikan dalam kesempatan tersebut adalah mengenai format kemitraan, peningkatan kapasitas serta fasilitasi mobilitas mahasiswa dan ilmuwan (republika, 30/5). MoU ini menjadi jaminan bahwa quota mahasiswa Indonesia untuk melanjutkan study di Inggris tak akan berkurang.
Kekhawatiran pemerintahan Inggris akibat penurunan peminat mahasiswa asing untuk study di Inggris tentu sangat beralasan mengingat mahasiswa asing menyumbang sekitar US$13 miliar ke perekonomian Inggris melalui pungutan pajak imigrasi (bbc, 9/1). Belum lagi berkurangnya 30.000 calon mahasiswa di Inggris sejak 2 tahun terakhir (2011-2012) dalam jangka panjang akan menyebabkan kehilangan pemasukan bagi Inggris sebesar £6,6 miliar. Perkiraan ini dikeluarkan oleh Million+ yang didasarkan pada selisih pendapatan rata-rata antara tamatan pendidikan tinggi dengan tamatan sekolah menengah yang mencapai 27%. Menurut Million+ seorang tamatan universitas di Inggris akan mendapat pemasukan ekstra £115.000 sepanjang hidupnya dan gelar S2 akan memberi tambahan lebih lanjut sebesar £59.000. Itu berarti juga menjadi pemasukan bagi negara lewat pajak sebesar £94.000 dari setiap tamatan universitas. Nilai tersebut sekitar 10% lebih besar dari biaya yang dikeluarkan pemerintah Inggris untuk membiayai perguruan tinggi.
Hal inilah yang menjadi alasan kuat kenapa tingginya statistik pengangguran intelektual diperhitungkan akan berkorelasi negatif dengan pendapatan riil perkapita penduduk suatu negara. Pendapatan riil perkapita penduduk kemudian menjadi indikator pertumbuhan ekonomi. Bagi negara yang menganut sistem ekonomi dengan indikator ini pendidikan sebagai komoditas tak bisa dihindari. Inggris merupakan contoh riil. Sistem ini hanya memposisikan pendidikan sebagai jalan untuk mengeksploitasi intelektual demi menggerakkan mesin pertumbuhan ekonomi semu dan membajak potensi intelektual terbatas untuk pemenuhan bursa kerja. Inilah sistem ekonomi kapitalis yang telah nyata kerapuhannya dalam menjamin kelayakan peran Intelektual dan pemberdayaannya.
Pemerintah Inggris menyatakan komitmen untuk membantu Indonesia dalam peningkatan kapasitas pendidikannya (tvonenews, 30/5). Pernyataan ini tentu perlu ditelusuri kebenarannya. Inggris tentu tak bisa menutup mata bahwa persoalan pendidikan di dalam negerinya tak kalah pelik. Jumlah guru di sekolah-sekolah negeri Inggris yang meninggalkan profesinya meningkat sampai seperlima dalam waktu satu tahun (bbc, 4/12). Dalam periode 2005-2006 sekitar 42.870 guru keluar dan setelah itu terjadi penurunan selama lima tahun berturut-turut sebelum statistik terbaru ini diungkapkan. Peningkatan guru yang keluar itu dikritik oleh anggota parlemen dari Partai Buruh yang mengamati pendidikan, Stephen Twigg, sebagai kegagalan Perdana Menteri David Cameron dan Menteri Pendidikan, Michael Gove.
Fakta semakin banyaknya guru yang meninggalkan profesinya di Inggris tidaklah mengejutkan. Hasil survei salah satu serikat guru Inggris NASUWT, baru-baru ini memperlihatkan 84% guru merasa moral dan profesionalismenya menurun sementara 50% lebih guru secara serius mempertimbangkan untuk keluar dalam waktu setahun belakangan. Chris Keates dari NASUWT, menambahkan bahwa penurunan itu bukan hanya merupakan keprihatinan bagi profesi guru namun juga orang tua dan siswa yang kehilangan guru berpengalaman dan berdedikasi.
Hal ini tentu berimbas pada kualitas pendidikan. Freedom of Information Act mengungkapkan bahwa jumlah mahasiswa yang tertangkap tangan menyontek meningkat pesat dalam tiga tahun terakhir di universitas-universitas top Inggris. Cara menyontek mereka adalah dengan plagiarisme, membawa contekan ke kelas atau beli esay lewat internet. Hampir 1.700 mahasiswa dari 20 perguruan tinggi kena hukuman akademik periode 2010-2011. Sekitar seratus mahasiswa bahkan dikeluarkan dari kampus. Di Universitas Oxford, seorang mahasiswa didenda 100 pound karena membawa contekan saat ujian. Tahun lalu, Cambridge mencopot salah satu kandidat PhD bidang sejarah karena “berbagai plagiarisme”. Lembaga itu juga mencatat maraknya situs web yang menjual esai serta jawaban tugas kuliah (antaranews, 4/3). Jadi kapasitas pendidikan siapa yang perlu ditingkatkan? Bukankah Inggris juga perlu berbenah? Tak berlebihan jika MoU bidang pendidikan antara Indonesia-Inggris hanyalah kamuflase. Bagian dari strategi Inggris untuk menjaga iklim investasi SDM intelektual Indonesia dan memperkuat pertumbuhan ekonomi negaranya.
Bagi Indonesia, dengan ditandatanganinya MoU bidang pendidikan dengan Inggris yang nyatanya tak berkorelasi dengan peningkatan kualitas pendidikan negeri ini, membuktikan ketidakseriusan pemerintah dalam meningkatkan kualitas generasi. Indonesia senyatanya belum menjadi negara mandiri dalam melahirkan kebijakan pendidikan yang visioner. Lahirnya generasi visioner dan cemerlang hanya akan menjadi mimpi selama belum terwujud kemandirian. Kemandirian tersebut tidak akan mungkin terealisasi dalam sistem demokrasi. Sistem demokrasi tak meniscayakan penguasa negeri ini terhindar dan lepas dari berbagai MoU yang merugikan.[]