Oleh Adnan Khan
Tunisia adalah tempat kelahiran gempa yang mengguncang wilayah tersebut dan memakan korban sejumlah penguasa diktator. Aksi bakar diri Muhammad Bouzizi menyebabkan protes massa yang akhirnya mengakibatkan Zine El Alidine Ben Ali meninggalkan negara. Riak-riak kejadian ini masih terasa di seluruh dunia dan tidak ada yang pernah mengharapkan revolusi Arab akan menelan seluruh wilayah itu. Januari 2013 tepat dua tahun sejak Revolusi Arab mulai terjadi di Tunisia sementara banyak hal yang telah berubah, namun yang sulit untuk dihindari adalah seberapa banyak yang tidak berubah dan tetap sama.
Setelah puluhan tahun penindasan, pemerintah sementara menggantikan pemerintahan Ben Ali, dan pemilu berlangsung pada bulan Oktober 2011. Partai Islam di negara itu, Ennahda, memenangkan pemilu legislatif, dengan mendapatkan 90 dari 217 kursi, dan melanjutkan dengan membentuk pemerintah koalisi dengan partai-partai sekuler yang memenangkan posisi kedua dan ketiga tertinggi untuk kursi parlemen. Pada saat itu, sulit untuk dihindari suara Islam untuk pemilu dan suasana dengan perasaan itulah yang mendasari dan memberikan partai Islam itu kemenangan yang jelas mengejutkan banyak pihak di wilayah itu dan sekitarnya. Dengan mandat yang besar, para politisi Islam mengambil posisi pemerintahan mereka dan Tunisia menunggu nilai-nilai Islam diterapkan pada masyarakat.
Ennahda mendominasi majelis konstituante yang bertugas menulis konstitusi negara. Rancangan konstitusi diumumkan kepada publik pada bulan Agustus 2012, dan setelah mendapatkan ‘tiket Islam’, Ennahda menegaskan bahwa mereka tidak akan menjadikan syariat sebagai sumber hukum dalam konstitusi yang baru dan akan mempertahankan sifat sekuler Negara itu. Ennahda bersikeras bahwa mereka akan terus memperatahankan pasal pertama Konstitusi 1956 pada undang-undang dasar yang baru. Pasal itu mengabadikan pemisahan antara agama dan negara, dengan menyatakan bahwa: “Tunisia adalah sebuah Negara yang bebas, merdeka dan berdaulat, beragama Islam, berbahasa Arab dan adalah sebuah negara republik” .” Kami tidak akan menggunakan undang-undang untuk memaksakan agam”[1] . Pemimpin Ennahda Rachid Ghannouchi mengatakan kepada para wartawan setelah komite konstituen partai-partai Islam melakukan voting untuk mempertahankan pasal konstitusional dengan 52 suara melawan 12 suara. Pasal itu, katanya menambahkan” merupakan obyek dari konsensus di antara semua lapisan masyarakat; dengan melestarikan identitas Arab-Muslim Tunisia dan juga menjamin prinsip-prinsip negara yang demokratis dan sekuler “[2]
Ennahda didirikan pada tahun 1980 dengan mengikuti model Ikhwanul Muslimin Mesir, dan selama dua dekade terakhir telah menjadi lebih nyaman dengan ide-ide sekularisme, hingga ke titik yang sekarang dengan memiliki lebih banyak persamaan dengan partai-partai sekuler daripada sebagai sebuah partai Islam. Partai ini telah menjadi mirip dengan AKP di Turki yang menjadikan Islam dalam namanya saja.
Ummat Islam Tunisia memilih partai Islam itu karena sentimen keislaman mereka. Ennahda telah benar-benar menjelaskan posisinya sekarang ini ketika mereka berkuasa, bahwa mereka tidak memiliki rencana untuk menerapkan Islam. Tunisia telah menjadi satu-satunya negara yang menyaksikan terusirnya seorang pemimpin dan secara terbuka menyatakan bahwa negara itu akan mempertahankan sistem yang ada, meskipun dengan beberapa perubahan palsu, namun hampir tidak memberikan peran apapun kepada Islam. Pemimpin Ennahda, Rachid Ghannouchi, menjelaskan sehubungan dengan pendirian Khilafah setelah memenangkan pemilu: “Jelas, kami adalah sebuah negara bangsa. Kami menginginkan pemerintah untuk reformasi Tunisia, bagi Negara Tunisia. Adapun isu Khilafah, hal ini merupakan masalah yang bukan merupakan suatu realitas. Persoalan realitas saat ini adalah bahwa kami adalah sebuah Negara Tunisia yang menginginkan reformasi, sehingga menjadi sebuah Negara bagi Rakyat Tunisia, bukan untuk melawan mereka”[3]
Ennadah menyukai mitranya di Mesir setelah muncul sebagai pemenang yang telah melakukan segalanya dengan kemampuan mereka untuk mempertahankan sistem yang ada. Dengan menyebut dirinya sebagai sebuah partai Islam telah menjadikannya sangat jelas bahwa pemerintahan Islam tidak bisa bekerja di dunia pada saat ini, Rachid Ghannouchi, pemimpin kelompok itu mengatakan partai Islam tidak akan “memperkenalkan definisi yang ambigu dalam konstitusi yang memberikan risiko terpecahnya rakyat”, dengan menambahkan bahwa “banyak rakyat Tunisia tidak memiliki gambaran yang jelas tentang syariah dan praktek-praktek yang salah di negara tertentu telah menimbulkan ketakutan.” Sementara banyak orang di Tunisia yang mengorbankan hidup mereka untuk perubahan di negara itu, namun setelah berkuasa Ennadah menolak untuk menerapkan Islam dan mereka harus memperhatikan bahwa umat mengusir Ben Ali ke luar negeri karena pengkhianatan yang dilakukannya, umat telah menunjukkan mereka tidak lagi takut terhadap rezim dan jika Ennadah tidak memenuhi janjinya, mereka juga dapat menjadi bagian dari sejarah sebagaimana Ben Ali saat ini. (rz)