Muhammad Ismail Yusanto
Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia
Bila penolakan itu dilakukan dengan alasan bahwa perda itu inkonstitusional, justru langkah yang mereka lakukan itulah yang inkonstitusional karena tidak sesuai dengan mekanisme UU.
Tak henti-hentinya perda berbau syariah Islam. Kasus di Lhokseumawe baru-baru ini di mana wanita dilarang duduk ngangkang saat dibonceng sepeda motor menjadi pemicu bagi kalangan liberal untuk mempermasalahkan kembali perda-perda berbau syariah.
Patut diketahu ada lebih 25 provinsi/kota/kabupaten yang telah melahirkan berbagai aturan baik dalam bentuk peraturan daerah atau instruksi kepala daerah yang dinilai sementara kalangan sebagai perda berbau syariah atau perda syariah.
Beberapa kali perda-perda itu digugat khususnya di lembaga parlemen. Kalangan Kristen dan liberal yang paling getol mempermasalahkan. Pembentukan dan pemberlakuan perda itu dinilai inkonstitusional karena bertentangan dengan konstitusi dan Pancasila, meresahkan masyarakat, tidak sesuai dengan prinsip kebhinnekaan dan mengancam NKRI.
Tidak Ada Alasan
Secara prosedural, perda-perda itu lahir melalui proses yang politik yang absah. Artinya, ia melalui pembahasan dan prosedur sebagaimana perda-perda yang lain. Bila penolakan itu dilakukan dengan alasan bahwa perda itu inkonstitusional, justru langkah yang mereka lakukan itulah yang inkonstitusional karena tidak sesuai dengan mekanisme UU No. 32/2004. Perda-perda itu adalah produk DPRD bersama Pemda melalui proses demokratis. Jika asumsi demokrasi bahwa wakil rakyat adalah representasi suara rakyat, maka artinya perda-perda itu lahir sebagai aspirasi masyarakat, dan dihasilkan melalui proses demokratis. Lantas bila dikatakan tidak sesuai dengan konstitusi, kelompok pemrotes itu ternyata tidak juga bisa menunjukkan pasal mana dari UUD45 dan sila mana dari Pancasila yang dilanggar.
Dari segi latar filosofis, perda-perda itu juga tidak selayaknya dipersoalkan. Bila benar perda itu lahir dari semangat religius, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sendiri lewat TAP MPR No V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional telah menegaskan bahwa faktor pertama penyebab krisis Indonesia adalah karena ”nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya bangsa tidak dijadikan sumber etika dalam berbangsa dan bernegara oleh sebagian masyarakat”. Maka sesungguhnya, lahirnya perda-perda itu bisa dianggap merupakan perwujudan “menjadikan nilai-nilai agama dan budaya bangsa sebagai sumber etika dalam berbangsa dan bernegara”. Bahkan, Visi Indonesia 2020 yang ditetapkan dalam TAP MPR No. VII/MPR/2001 menegaskan bahwa indikator paling utama dari keberhasilan pembangunan adalah religius, yakni masyarakat yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
Sementara secara empiris, perda itu memang diperlukan dan faktanya telah memberikan hasil yang baik. Perda Zakat di Kab Bulukumba, misalnya telah meningkatkan PAD di sana dari 9 milyar menjadi 90 milyar. Bahkan perda larangan miras telah menurunkan kriminalitas sampai 80 persen.
Maka, munculnya gugatan terhadap perda itu lebih kental nuansa politisnya. Sebab, proses yang diusulkan adalah proses politik, padahal masalahnya menyangkut hukum. UU No 32/2004 tentang Pemda hanya memberi batas 60 hari kepada Depdagri untuk mengawasi sebuah perda dan mencabutnya jika bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Jika telah lewat 60 hari, Depdagri tidak lagi berwenang menjangkau perda-perda itu. Proses yang ditempuh seharusnya melalui judicial review ke Mahkamah Agung (MA).
Di samping itu, UU Pokok Kekuasaan Kehakiman sangat jelas menyatakan bahwa dalam memutuskan suatu perkara, seorang hakim wajib menggali nilai-nilai hukum yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Artinya, nilai-nilai hukum Islam menurut UU ini sah digali dan digunakan memutuskan perkara. Bukankah hukum Islam telah hidup di tengah-tengah masyarakat selama ratusan tahun? Bukankah salah satu sumber sistem hukum nasional adalah hukum Islam?
Juga aneh jika perda itu dianggap membahayakan NKRI. Perda-perda itu jelas tidak menyerukan disintegrasi. Perda-perda itu dibuat justru untuk mewujudkan ketertiban masyarakat. Hasilnya, masyarakat semakin tertib dan keutuhan terjaga.
Sama anehnya dalih perda itu meresahkan masyarakat, melanggar HAM dan bertentangan dengan prinsip kebhinekaan. Perlu diingat, dari penerapan perda yang sebagiannya sudah dilaksanakan lebih dari lima tahun itu, tidak pernah terdengar keresahan yang dimaksud. Tambahan lagi, jika memang diskriminatif, tentu selama itu akan ada penentangan dari masyarakat. Ternyata yang terjadi justru sebaliknya, perda-perda itu sampai sekarang terus didukung masyarakat, termasuk warga non Muslim.
Begitu juga dengan kebhinekaan. Hukum Islam yang telah hidup ratusan tahun di negeri ini jelas merupakan bagian dari kebhinekaan. Jika karena kebhinekaan, perda bernuansa syariat harus dihapus, apakah memang konsep kebhinekaan tidak mengakui ajaran Islam? Mengapa syariat Islam tidak dipandang sebagai bagian dari kebhinnekaan itu? Jika benar alasan kebhinekaan, mengapa mereka tidak menyoal perda di Bali tentang perayaan Nyepi yang bahkan berlaku untuk semua agama, termasuk Muslim di sana; serta perda tentang cara pembakaran mayat di Toraja? Mengapa hanya perda bernuansa syariat Islam saja yang diusik?
Lebih dari itu, perda-perda ‘bernuansa syariat’ itu – bahkan syariat Islam secara total sekalipun – juga tidak menghilangkan keberagaman masyarakat. Pluralitas (keberagaman) masyarakat di negeri ini dan di negeri-negeri Islam lainnya merupakan bukti tak terbantahkan akan hal itu.
Menembak lahirnya perda dengan semangat anti Islamisasi politik juga tidak tepat. Pasalnya, perda-perda bernuansa syariat Islam justru lahir di daerah-daerah yang bukan dikuasai partai-partai berasas Islam.
Sejumlah alasan yang dikemukakan itu tampak lebih merupakan dalih yang dicari-cari. Unsur syariah-phobia (ketakutan terhadap syariat Islam) terlihat begitu kental. Tidak berlebihan jika sebagian pihak menilai bahwa syariah-phobia itulah yang menjadi motif munculnya penolakan itu.
Di samping itu, dari segi isi, tampak sekali dalam gerakan penolakan perda-perda itu adanya agenda stigmatisasi ajaran Islam. Bagaimanapun, bila dicermati, sesungguhnya dari sejumlah perda yang dipermasalahkan itu tidak satu pun yang berjudul ‘Perda Syariat’. Perda-perda itu umumnya menyangkut pencegahan dan penanggulangan penyakit masyarakat, seperti perda larangan praktik pelacuran, peredaran miras dan soal kesusilaan. Ditambah perda tentang busana Muslimah, baca tulis Alquran, penambahan jam pelajaran agama, dan tentang zakat, perda-perda itu lebih mencerminkan pengaturan kehidupan personal ketimbang komunal, termasuk surat edaran tentang larangan wanita duduk ngangkang saat dibonceng sepeda motor. Dari segi isi, perda-perda itu memang tidak bisa disebut perda penerapan syariat Islam. Di dalamnya tidak dijumpai mekanisme perujukan Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW yang merupakan syarat mutlak pemberlakuan hukum Islam.Maka, dalam kenyataannya, aturan-aturan yang diterapkan memang juga tidak sepenuhnya sesuai dengan Islam. Misal, aturan kesusilaan dan pemberantasan maksiat di Kabupaten Padang Pariaman, Solok, Cianjur, serta Kota Tangerang tidak akan mewajibkan perempuan berjilbab, melainkan sekadar berbusana lebih pantas.
Khatimah
Sejujurnya negeri ini memerlukan syariat Islam bukan hanya di tingkat perda, tetapi meliputi seluruh hukum dan peraturan di tingkat negara. Dengan penerapan syariat Islam secara penuh, cita-cita kemerdekaan – yakni masyarakat yang adil, makmur, tenteram dan sejahtera – insya allah akan bisa diwujudkan.
Lebih dari itu, penerapan syariat Islam secara menyeluruh merupakan bukti penghambaan kita kepada Allah SWT yang diakui telah memberikan rahmat kepada kemerdekaan kita, serta kecintaan kita kepada Rasulullah-Nya. Ini akan menyelamatkan kita baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian pada suatu yang memberikan kehidupan kepada kalian. (QS al-Anfal [7]: 24). Wallahu ‘alam bi al-shawab. []