Ada beberapa solusi. Langkah pertama adalah mengenali, secara definitif, bahwa perusahaan media benar-benar dikontrol, untuk bertanggung jawab, bukan hanya karena kurangnya objektivitas namun karena adanya sejarah panjang keterlibatan mereka dalam kejahatan kriminal, kejahatan perang, penipuan besar-besaran , propaganda, rasisme, pengobaran perselisihan sosial dan agama, tindakan spionase dan bahkan terorisme. ”
———
Selama enam minggu terakhir, kami telah memiliki ratusan blogger baru dan “pakar media,” sebagian besar dari mereka adalah anonim, tidak satupun yang memiliki kualifikasi, tidak memiliki biodata yang bisa diverifikasi, hampir semuanya memiliki agenda kekanak-kanakan yang jelas dan membawa tanda-tanda yang jelas dari “para pengarah.” Namun, tidak ada satupun yang memiliki sumber-sumber penyebab, dan akses yang sesungguhnya untuk mendapatkan informasi dari dalam.
“Mereka” memiliki satu tujuan, memusnahkan dampak dan kredibilitas jurnalisme yang independen dan sesunguhnya dan untuk “mempermudah” kerja yang sesungguhnya, dengan membanjiri setiap “inbox ” dengan fitnah, rumor dan kegilaan untuk mengatakan sesuatu.
Jurnalisme sudah mati, bukan luka, bukan rusak, dimana mayatnya telah lama membusuk. Proses pembusukan ini dimulai ketika “media budaya pop” mulai mengandalkan siaran pers dan gaji besar ketimbang jurnalisme investigatif.
Mitologi, dogma dan propaganda, mengobrol dengan tidak ada ujung pangkalnya dari para pendusta pemerintah diarahkan suntuk menjadi fakta yang memiliki “sertifikat”, kebenaran satu-satunya, “teori-teori konspirasi” yang tidak “liar ataupun berbahaya.”
Kegagalan untuk mendapatkan cerita yang benar, bukan hanya pada Peristiwa 11/9 atau Perang Melawan Teror, namun juga pada Kasus Iran atau Revolusi Arab, Perang Suriah, sekarang Perang Mali, tidak ada satupun dari peristiwa-peristiwa itu yang sudah dapat dipahami, tak satu pun yang dilaporkan dan tidak ada “pihak” atau “alasan” yang pernah dibahas.
Dengan demikian, arus utama atau “budaya pop” dari media telah mati, dengan meninggalkan jaringan alternatif media yang terbuka seperti Press TV dan Russia Today (RT). Namun, masalahnya adalah ada 5000 orang lain, yang bersembunyi di balik web proxy, para aktivis yang tidak memiliki riwayat aktivisme, “para ahli” yang tidak punya keahlian, para penulis “op-ed (opinion-editorial)” yang pendapatnya bisa membahas segala sesuatu namun mendidik.
Pada satu waktu, kami tahu di mana berita kami berasal. Reputasi memang penting; para wartawan yang belajar kerajinan mereka dengan penuh antusias, Edward R. Murrow, Walter Cronkite atau bahkan Peter Jennings. Kami kenal David Frost, kami kenal John Cameron Swayze.
Para wartawan bisa menyebut para pemerintah melakukan kebohongan, dapat mengkonfrontir presiden, para wartawan memiliki pengalaman, yang terpercaya dan moralnya tidak rusak. Ingat Helen Thomas?
Fenomena berita alternatif “soft sell “, Arianna Huffington, Matt Drudge atau Andrew Breitbart, para oportunis murahan yang menjual jiwa mereka dengan dolar begitu mudahnya dengan mengatur patokan untuk standar, kombinasi atas kebatilan tabloid, gosip para selebriti, teori konspirasi, pembunuhan karakter dan sindiran yang menggantikan riset, mengganti fakta, mengganti akuntabilitas.
Hari ini, bisa dikatakan informasi “berita” adalah merupakan suatu kegilaan. Berita menjadi komoditas, “beri saya satu setengah pon ketakutan atas penyitaan senjata dan beberapa iris “sosialisme yang bergerak perlahan. ”
Untuk setiap “whistleblower (pengungkap kasus)” yang sesungguhnya atau setiap “leaker (pembocor),” ada selusin orang lancung yang dibayar. Apakah “biodata” yang khas dari “para atlet kagetan”, pembawa acara podcast atau “blogger / debunker?” Sebagian besar telah dilakukan. Tidak ada yang pernah dipekerjakan selama lebih dari tiga bulan. CV atau riwayat hidup yang menggambarkan mereka sebagai para “konsultan” atau para “asisten administrasi.”
Sebagian besar sejarah telah dilecehkan secara seksual dan sebagai pelaku seksual, terutama bagi anak-anak. Beberapa publikasi sebenarnya sudah masuk ke percetakan, seperti Village Voice / Backpage. Publikasi pro-Zionis ini menggunakan halaman depan untuk memuntahkan serangan kepada apa yang mereka sebut sebagai “anti-Semit” saat menggunakan “Backpage” untuk menjual anak-anak yang diculik dalam perbudakan seksual.
Berikut adalah kutipan dari sebuah artikel 2012 di New York Times yang ditulis oleh Nicholas Kristof:
“Alissa mengatakan bahwa para mucikari secara rutin menjajakannya di Backpage (halaman belakang). ‘Anda tidak bisa membeli anak-anak di Wal-Mart, bukan?” dia bertanya kepadaku. ‘Tidak, tapi Anda bisa pergi ke Backpage dan membeli saya di Backpage.’
“Backpage menyumbang sekitar 70 persen iklan prostitusi diantara lima situs Web yang membawa iklan-iklan semacam itu seperti di Amerika Serikat, dengan penghasilan lebih dari $ 22 juta per tahun dari iklan prostitusi, menurut AIM Group, sebuah penelitian bagi media dan perusahaan konsultan. Sekarang, Backpage menhadi situs Web perdana bagi perdagangan manusia di Amerika Serikat, menurut Asosiasi Nasional Para Jaksa Agung. Dan itu bukanlah suatu operasi dadakan dalam semalam. Backpage dimiliki oleh Village Voice Media, yang juga memiliki surat kabar yang diduga adalah Village Voice.
“Para Jaksa Agung dari 48 negara telah menulis sebuah surat bersama bagi Media Village Voice, yang memohon mereka untuk berhenti dari perdagangan manusia. Sebuah petisi online di Change.org telah mengumpulkan 94.000 tanda tangan yang meminta Media Village Voice untuk menghentikan untuk mengkonsumsi iklan prostitusi. Sebaliknya, perusahaan itu malah telah menggunakan The Village Voice untuk mengejek kritikan yang disampaikan. Alissa mempertimbangkan untuk menggunakan nama aslinya untuk artikel ini namun memutuskan untuk tidak menggunakannya karena takut Village Voice akan membalas dendam.
“Catatan pengadilan dan para pejabat publik mendukung akun Alissa, dan ada banyak bukti bahwa anak-anak perempuan di bawah umur yang dipasarkan ada pada Backpage. Penangkapan dalam kasus semacam ini telah dilaporkan pada setidaknya di 22 negara.”
Kepada siapakah dan dengan apakah Village Voice Media mensejajarkan diri? Sebagian orang terkejut dengan jawabannya namun mereka tidak seharusnya demikian. Pesan mereka adalah sama dengan pesan Anti-Defamation League (ADL) dan Southern Poverty Law Center. Mereka mendukung dan menyerang orang-orang yang sama, dengan menggunakan bahasa yang sama persis.
Para rekan-rekan internet hampir mustahil untuk bisa menghitungnya. Satu situs anonim dapat ditelusuri ke alamat IP yang akan memiliki, selama bertahun-tahun, dengan menggunakan identitas baik sebagai “supremasi kulit putih” maupun “pro zionis”. Mereka tidak mengharapkan orang untuk melihat apa pun di luar proxy yang tidak terlihat pada jaringan pencarian situs “who.is”.
Nomor telepon, IP dan alamat jalan, nama-nama kontak, informasi ini mengarah kepada identitas yang sebenarnya dari “orang-orang yang bijaksana” dan para ahli “urusan global” dari internet, karena mereka duduk di kamar sewaan dengan memakai pakaian dalam mereka, menunggu untuk datangnya “konsultan teknis” yang membantu mereka untuk membangun selusin identitas baru sehingga mereka dapat mengisi bagian komentar dari para wartawan yang sesungguhnya dengan racun.
Ada beberapa solusi. Langkah pertama adalah mengenali, secara definitif, bahwa perusahaan media benar-benar dikontrol, untuk bertanggung jawab, bukan hanya karena kurangnya objektivitas namun karena adanya sejarah panjang keterlibatan mereka dalam kejahatan kriminal, kejahatan perang, penipuan besar-besaran , propaganda, rasisme, pengobaran perselisihan sosial dan agama, tindakan spionase dan bahkan terorisme.
Setiap publikasi, acara televisi, siaran radio, podcast, atau bahkan situs-situs internet yang memiliki bukti dikontrol oleh sebuah etnis yang satu, yang memiliki keyakinan politik, agama atau agenda yang membawa peringatan yang sama seperti yang ada pada kotak rokok.
“Film/pertunjukan ini berisi pandangan yang dikenal sebagai propaganda rasis dan berbahaya bagi kesejahteraan politik, sosial dan mental para pemirsa. Semuanya yang berasal dari Hollywood seharusnya membawa peringatan semacam itu.
Adapun para “blogger internet,” sekarang sedang melangsungkan gerakan untuk memberikan sertifikasi bagi mereka agar dapat membuktikan bahwa mereka tetap eksis dan menulis berdasarkan sumber informasi yang asli, keahlian pribadi dan suatu sejarah aktivisme sosial dan politik. “Tidak ada orang sewaan yang diperbolehkan ikut serta.” (rz/presstv.ir, 27/1)