Menarik penelitian yang dilakukan oleh Michael Buehler. Guru besar ilmu politik di Universitas Northern Illinois Amerika Serikat ini mencatat bahwa 7 dari 33 provinsi dan 51 dari sekitar 510 kabupaten mengadopsi sekurangnya satu Perda Syariah selama 1999-2009. Anggota Dewan di semua provinsi itu yang paling getol mengadopsi Perda Syariah adalah Fraksi Golkar dan Fraksi PDIP, kecuali di Aceh. Polanya sama untuk tingkat kabupaten.
Buehler menyimpulkan bahwa Perda Syariah lahir sebagai wujud transaksi politik dari partai sekuler untuk mendapatkan dukungan tokoh Islam lokal. Ini terutama terjadi di daerah-daerah dengan jaringan Islam yang kuat saat pemilihan umum. Perda Syariah kemudian dikeluarkan sebagai balas jasa atas dukungan politik para tokoh Islam selama pemilihan. (tempo.co)
Menjadi jelas bahwa berbagai perda syariah yang digolkan pemerintah daerah bersama anggota dewan sudah menjadi komoditas politik transaksional dan tidak murni karena faktor ideologis. Partai politik Islam terbukti secara sengaja melakukan politisasi agama (menggunakan bungkus Islam) sebagai alat untuk meraih simpati dan kekuasaan. Dalam konteks ini, kekuasaan menjadi tujuan akhir dan Islam sebatas kendaraan yang bisa dipakai dan ditanggalkan kapan saja.
Sehingga, jangan heran saat ini banyak kita temui partai Islam tapi mendukung calon peserta pemilukada dari kalangan nonmuslim. Atau mengaku partai Islam namun takut menyuarakan Syariah Islam. Begitu juga polah politisi partai Islam yang nggak ada bedanya dengan politisi dari partai nasionalis. Fakta menunjukkan tidak sedikit politisi dari partai partai Islam yang terjerat kasus korupsi, selingkuh dan tindak kejahatan lainnya. Dalam perkembangannya, praktik politisasi Islam tidak lagi didominasi oleh partai partai Islam namun sudah merembet ke partai partai nasionalis sekuler. Menjadi pemandangan yang lumrah jika dalam setiap kampanye politik, para calon kepala daerah dari partai partai nasionalis kerap menggunakan simbol simbol agama dan simpul simpul umat untuk mendapat dukungan dari masyarakat khususnya umat Islam. Motifnya beragam, mulai dari menggunakan pakaian takwa saat kampanye hingga menghadirkan para ulama/ustadz dalam acara pengajian-pengajian. Tujuannya, bukan untuk menegakkan Islam, melainkan sebagai kampanye terselubung / ayatisasi guna mendapat legalitas umat dan kursi kekuasaan. Begitu juga dalam struktur organisasi partai nasionalis yang baru percaya diri jika sudah memiliki sayap politik berbasis kekuatan umat Islam. Sebagai contoh, PDIP yang memiliki sayap politik Islam dalam wadah Baitul Muslimin dan Gerindra yang membentuk Gerakan Muslim Indonesia Raya (GEMIRA)
Idealnya, agama (Islam) menjadi panduan partai politik dalam melakukan perjuangan politik setiap partai Islam. Dari sisi asas, tujuan, dan metode perjuangan partai harus senantiasa mengikuti tauladan Rasul SAW ketika menegakkan daulah Islam di madinah. Rasul Muhammad SAW sebagai pemimpin umat sekaligus politisi ulung sudah menggariskan bahwa pembentukan partai politik harus berasaskan ajaran Islam. Tujuannya hanya satu, yakni menegakkan Syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan oleh institusi negara Islam (Khilafah Islamiyah). Sedangkan metode perjuangan untuk mewujudkan Syariah Islam hanya bisa berhasil lewat perjuangan ekstraparlementer dan bukan intraparlementer. Partai Islam tidak akan pernah berkompromi dengan sistem jahiliyah dan senantiasa bertumpu pada kesadaran politik umat serta meminta kekuasaan untuk menerapkan Islam secara penuh kepada apara ahlul quwwah (pemilik kekuasaan di madinah yakni suku aus dan khazraj). Inilah yang menjadi garis perjuangan partai Islam sebagaimana yang tergambar dalam tahapan dakwah Rasul sejak menerima wahyu di Mekkah hingga hijrah ke Madinah. Ketika ada partai yang mengaku sebagai partai Islam atau mewakili umat namun tidak sesuai dengan garis perjuangan politik Rasul SAW, maka hakikatnya partai itu adalah partai sekuler yang dibungkus dengan simbol simbol Islam. Meski sekalipun seluruh pengurus partai atau calon kepala daerah 100 % beragama Islam. Tujuan partai tersebut hanya berorientasi pada upaya meraih kekuasaan. Bukan untuk mewujudkan kemuliaan Islam dan kejayaan kaum muslimin.
Untuk itu, sudah saatnya umat Islam sadar dan tidak terjebak dalam permainan para elit partai. Perlu ada kesepahaman bersama bahwa Islam sebagai panduan politik tidak sekedar menuntut umat untuk memilih seorang pemimpin/kepala daerah yang beragama Islam, atau mencoblos politisi dari partai yang menggunakan simbol / identitas Islam. Yang tak kalah penting dari itu semua adalah umat wajib mendukung partai politik yang memperjuangkan tegaknya sistem Islam dalam kehidupan nyata. Sebuah partai yang konsisten mendidik umat dan senantiasa berpegang teguh kepada halal haram. Tidak terjebak pada pragmatisme/realitas kekinian dan senantiasa menjadikan Islam sebagai standar kebenaran dalam melakukan perjuangan politik dengan tidak menghalalkan segala cara. Semuanya semata mata dilakukan demi tegaknya izzul Islam wal Muslimin lewat penerapan Syariah dalam bingkai Khilafah Islamiyah. Inilah jalan perubahan yang hakiki dan mampu membawa keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat baik muslim maupun nonmuslim. Dan Hizbut Tahrir Indonesia sebagai salah satu partai dakwah ideologis telah memulai langkah ini sejak puluhan tahun yang lalu. Insya Allah. (Borneonews, 4/2/2013)