RUU Pendanaan Terorisme : Ancaman Abuse of Power dan Melayani Kepentingan Asing ?

Pansus DPR pada Senin (11/2) menyetujui RUU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (RUU P2TP2T).  Rencananya RUU itu akan dibawa ke sidang Paripurna DPR hari ini, Selasa (12/2) untuk disahkan menjadi UU.  Jalannya pembahasan RUU ini sendiri bisa dikatakan senyap dari pemberitaan dan seolah juga luput dari perhatian banyak kalangan termasuk LSM dan Ormas. 

Hal itu juga didukung oleh sulitnya mendapatkan draft RUU tersebut.  Di situs DPR sendiri RUU itu tidak tercantum dalam RUU yang sedang dibahas.  Satu-satunya draft yang bisa diakses adalah yang termuat di situs DJPP Depkumham (http://www.djpp.depkumham.go.id/files/doc/1108_draft%20RUU%20pendanaan%20teroris.pdf) yang masih berupa draft awal.  Draft yang disetujui Pansus sendiri sulit di dapatkan. Dari draft yang bisa diakses, ada beberapa hal yang harus dikritisi.

Pembahasan RUU ini untuk memenuhi tuntutan internasional.  Yaitu sebagai konsekuensi dari UU No. 6 Th. 2006 tentang Pengesahan International Convention For The Suppression Of The Financing Of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999), (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4617).

Disamping itu Menkumham Amir Syamsudin menyatakan, “Kami mengharapkan RUU ini nantinya akan disepakati di rapat paripurna sehingga Indonesia memiliki regulasi untuk pencegahan pendanaan terorisme.”

Menurutnya, undang-undang tersebut bertujuan untuk memposisikan Indonesia sebagai negara yang ikut berpartisipasi dengan masyarakat internasional dalam upaya pemberantasan pendanaan terorisme. “Undang-undang ini agar Indonesia tidak masuk dalam `black list` (daftar hitam-red) negara-negara yang terlibat dalam pendanaan teroris, seperti Korea Utara dan Iran.” (Antaranews.com, 11/2).

Masyarakat pantas untuk mewaspadai RUU ini sebab RUU ini jika disahkan menjadi UU maka akan memberi ruang bagi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) sehingga dana pihak-pihak yang tidak bersalah akan hilang karena diblokir atau disita.  Disamping itu, RUU ini juga akan menimbulkan masalah baru dimana iklim kecurigaan harus dibangun dalam transaksi keuangan.  Juga bisa menimbulkan masalah baru dari berbagai kerumitan yang ditimbulkan oleh RUU ini nantinya.

Beberapa hal  yang harus dikritisi dari RUU ini antara lain :

Pertama, memberikan peluang abuse of power (penyalah gunaan kekuasaan).

Jika menilik draft awal banyak pasal yang memberi peluang untuk itu.  Contohnya adalah adanya istilah “patut diduga”, seperti dalam pasal 1. Ayat 1. Pendanaan Terorisme adalah setiap perbuatan yang dengan sengaja menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan dana yang berasal dari sumber yang sah maupun tidak sah, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang diketahuinya atau patut diduga bahwa dana tersebut akan digunakan, baik keseluruhannya maupun sebagian, untuk melakukan suatu tindak pidana terorisme. Meski ada usulan agar definisi ini dihilangkan sebab di dalam UN Convention sendiri yang menjadi latar belakang lahirnya RUU ini, pendanaan terorisme tidak didefinisikan.

Lalu pada pasal 1 ayat 7 juga dinyatakan, Transaksi Keuangan Terkait Pendanaan Terorisme adalah: a. Transaksi yang patut diduga menggunakan dana yang terkait atau berhubungan dengan atau akan digunakan untuk tindak pidana terorisme. b. transaksi yang melibatkan Setiap Orang yang berdasarkan publikasi pemerintah atau organisasi internasional dikategorikan sebagai teroris atau organisasi teroris.

Juga pada BAB II, TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME, Pasal 2 dinyatakan, “Setiap orang yang dengan sengaja menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan Dana baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud akan digunakan atau patut diduga akan digunakan seluruhnya atau sebagian untuk melakukan tindak pidana terorisme dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 3, Setiap orang yang dengan sengaja melakukan percobaan atau pembantuan menyediakan, mengumpulkan, memberikan atau meminjamkan Dana baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud akan digunakan atau patut diduga akan digunakan, seluruhnya atau sebagian untuk melakukan tindak pidana terorisme dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 4, Setiap orang yang dengan sengaja, merencanakan, menggerakkan, atau menyuruh orang lain untuk mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan Dana baik langsung atau tidak langsung, dengan maksud akan digunakan atau patut diduga akan digunakan, seluruhnya atau sebagian, untuk melakukan Tindak pidana terorisme dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Masalahnya adalah tolok ukur kalimat “patut diduga” ini kabur sama sekali dan tidak jelas.  Begitu pula siapa yang memutuskan “patut diduga” itu, apakah harus menurut putusan pengadilan, ketua pengadilan, kejaksaan, penyidik, atau penyelenggara jasa keuangan yang dalam prakteknya adalah teler bank misalnya.  Dari situ terbuka lebar peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Masalahnya menjadi makin runyam ketika diikuti dengan tindakan pemblokiran dan penyitaan aset termasuk korporasi jika “patut diduga” telribat dalam tindak pidana pendanaan terorisme.

Pada BAB IV PENCEGAHAN Pasal 9 menyatakan, “1. Setiap Pihak Pelapor wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Yang Terkait Pendanaan Terorisme kepada PPATK. 2. Pihak Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:  a. penyedia jasa keuangan yang meliputi: 1. bank; 2. perusahaan pembiayaan; 3. perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi; 4. dana pensiun lembaga keuangan; 5. perusahaan efek; 6. manajer investasi; 7. kustodian; 8. wali amanat; 9. lembaga penyimpanan dan penyelesaian; 10. perposan sebagai penyedia jasa giro; 11. pedagang valuta asing; 12. penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu; 13. penyelenggara e-money dan/atau e-wallet; 14. koperasi yang melakukan kegiatan simpan pinjam;  15. pegadaian; 16. perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan berjangka komoditas; 17. penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang; atau 18. jasa kurir uang tunai; dan. b. Pihak Pelapor selain sebagaimana dimaksud pada huruf a ditetapkan dengan Keputusan Kepala PPATK.

Seluruh 18 penyedia jasa keuangan dan pihak yang ditetapkan oleh PPATK itu nantinya harus mengembangkan sikap curiga terhadap transaksi keuangan dengan kriteria tertentu yang akan ditetapkan oleh Lembaga Pengawas dan Lembaga Pengatur yang membawahinya (OJK, Bapepam LK, BI, dsb).  Untuk itu, pada draft awal RUU pasal 11, semua pihak tersebut wajib menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa yang ditetapkan oleh setiap Lembaga Pengawas dan Lembaga Pengatur. Pada ayat 3 dikatakan, Kewajiban menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pada saat: a. melakukan hubungan usaha dengan Pengguna Jasa; b. terdapat Transaksi Keuangan dengan mata uang rupiah dan/atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah); c. terdapat transaksi keuangan mencurigakan yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme; atau d. Pihak Pelapor meragukan kebenaran informasi yang dilaporkan Pengguna Jasa.

Transaksi yang “patut diduga” terkait dengan pendanaan terorisme itu selanjutnya harus ditunda dan dilaporkan ke PPATK.  Selanjutnya atas penetapan PPATK dana itu diblokir dan diserahkan ke penyidik untuk diproses hukum hingga ke pengadilan.

Kedua, RUU ini bisa menimbulkan masalah baru berupa kerumitan. 

Kerumitan itu bisa menghambar kelancaran transaksi yang pada akhirnya akan bisa berpengaruh pada kegiatan ekonomi, terutama transaksi dalam jumlah besar.  Hal itu terkait ketentuan kewajiban pengguna jasa keuangan untuk memberikan data dan informasi.  Draft akhir yang disetujui Pansus pada pasal 18 ayat 1 menyatakan bahwa “pengguna jasa keuangan yang melakukan transaksi pengiriman yang melalui sistem transfer wajib memberikan identitas dan informasi yang benar mengenai pengirim asal, alamat pengirim, penerima kiriman, jumlah uang, jenis mata uang, tanggal pengiriman uang, sumber dana, dan informasi lain yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan wajib dikirimkan ke PJK”. Sementara, ayat 2 menekankan bahwa pengguna jasa keuangan wajib memberikan daftar itu kepada PJK dengan melampirkan dokumen pendukung. Lalu ayat 3, “Dalam hal Pengguna Jasa Keuangan tidak memberikan informasi yang diminta sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PJK wajib menolak pengiriman uang melalui sistem transfer tersebut,” demikian ayat 3 Pasal 18 RUU itu.

Pasal 19 ayat 1 mewajibkan PJK “meminta informasi yang lengkap kepada pengguna jasa keuangan mengenai pengirim asal, alamat pengirim, penerima kiriman, hingga informasi lain yang berdasarkan ketentuan wajib diminta PJK”. Ayat 2 mewajibkan PJK menyimpan semua informasi yang diperlukan untuk mengenali semua pengirim asal dan penerima kiriman, paling singkat 5 tahun sejak transfer uang dilakukan. Dan ayat 3, bagi PJK yang tidak melakukan kewajiban seperti dimuat di ayat 1 dan 2 pasal 19 itu, akan diberi sanksi sesuai ketentuan UU.

Yang jadi masalah, dalam draf RUU itu, sama sekali tak dibedakan antara proses transfer uang melalui sistem elektronik via ATM, mobile banking, internet banking, e-comerce dsb, dengan proses transfer uang melalui teller bank misalnya. Hal ini berarti proses pengiriman uang melalui sistem elektronik, mobile dan internet akan memakan banyak waktu, karena setiap pengirim harus mengisi berbagai data yang dibutuhkan. Kecuali jika perbankan memfasilitasi dengan memperbaharui teknologi, sehingga memiliki kemampuan autofill data pemegang rekening pengirim uang.  Hal itu tentu membutuhkan investasi yang tidak kecil dan akan menjadi masalah yang berat khususnya untuk lembaga kecil seperti BPR dan lembaga keuangan mikro.

Ketiga, semua ketentuan itu bisa menyasar kalangan yang sangat luas dan bisa dipengaruhi bahkan melayani kepentingan asing. 

Hal itu karena Dalam pasal 1 batasan Transaksi Keuangan Terkait Pendanaan Terorisme masih bias bahkan bisa dipengaruhi atau malah didekte oleh asing.  Sebab Transaksi Keuangan Terkait Pendanaan Terorisme dibatasi dengan: definisi teroris juga masih bias. Yakni, Transaksi yang patut diduga menggunakan dana yang terkait atau berhubungan dengan atau akan digunakan untuk tindak pidana terorisme. dan b. transaksi yang melibatkan Setiap Orang yang berdasarkan publikasi pemerintah atau organisasi internasional dikategorikan sebagai teroris atau organisasi teroris.

Apalagi pemerintah yang dimaksud dalam hal itu bisa saja juga mencakup pemerintah negara lain.  Sementara organisasi internasional disitu juga tidak ada batasan organisasi seperti apa.  Disamping itu organisasi internasional termasuk PBB selama ini lebih menjadi alat negara-negara barat demi kepentingan mereka, termasuk untuk menyasar Islam dan para pejuangnya.  Jika ini digunakan, bisa jadi donasi ke Palestina dan kepada kaum Muslimin yang sedang menderita dan berjuang menumbangkan rezim diktator bisa dikategori tindak pidana pendanaan terorisme.

Atas kekhawatiran itu, anggota DPR Nasir Djamil menyatakan, “Karena itu kita akan memperjelas dengan aturan bahwa yang menentukan teroris atau bukan nanti pengadilan Indonesia,” katanya. Hal itu akan diatur dalam pasal 26. Prosedurnya, Kapolri mengajukan permohonan daftar seseorang atau lembaga diduga terkait terorisme  ke PN Jakarta Pusat, lalu pengadilan dalam 30 hari harus memutuskan apakah diterima atau tidak (lazuardibirru.org, 23/1).

Semoga apa yang dinyatakan itu terbukti, sehingga minimal tidak terlalu dikendalikan oleh asing.  Meski tetap saja, peluang asing menentukan atau mempengaruhi dalam hal tetap besar.  Apalagi jika asing sudah memformat cara pikir para penegak hukum di negeri ini, seperti yang terlihat terjadi pada Densus 88.  Karena itu, umat Islam tetap harus sangat mewaspadai, mengkritisi dan menolak RUU ini. Jika benar hari ini ditetapkan menjadi UU melalui sidang Paripurna DPR dan akhirnya menimbulkan kemudharatan besar bagi masyarakat khususnya umat Islam, maka para wakil rakyat akan memikul dosa sangat besar di sisi Allah kelak pada hari kiamat.  Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman – LS HTI]

One comment

  1. DemoKERAsi memang hanya mimpi. Segelintir rakyat menentukan, mengatur, memutuskan perkara2 kebijakan2 yg mengatur jutaan rakyat. Lebih IDIOT lagi bila segelintir rakyat ini justru memutuskan untuk melayani rakyat asing (internasional). DemoKERAsi memang harus mati !!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*