Bogor Tersandung Kasus Moralitas
HTI Press. Merespon berbagai kasus yang marak terjadi di Bogor akhir-akhir ini, Muslimah Hizbut Tahrir DPD II Bogor menyelenggarakan diskusi terbatas yang dihadiri tokoh muslimah Bogor dengan mengangkat tema “Bogor Tersandung Kasus Moralitas” pada hari Jumat (15/2) di kantor sekretariat Muslimah HTI DPD II Bogor, Jl. Arzimar III blok A no 14 Bogor. Diskusi ini menghadirkan dua pembicara yaitu Ibu Wahyuningsih (Ketua MHTI DPD II Bogor) dan dr. Arum Harjanti (anggota Lajnah Siyasiyah MHTI).
Wahyuningsih memaparkan kondisi Bogor saat ini yang diramaikan oleh berbagai kasus mulai dari penjualan bayi, bisnis prostitusi online, free sex di kalangan remaja, juga situs-situs porno yang sangat mudah diakses oleh siapapun. Hal ini memberikan kontribusi dalam membawa Indonesia sebagai negara terporno kedua di dunia. “Tentunya hal ini bukanlah prestasi yang membanggakan”, katanya. Salah satu penyebab maraknya kasus moralitas di Bogor adalah karena faktor ekonomi yakni kemiskinan. “Kemiskinan sering kali menjadi alas an mengapa banyak wanita bahkan yang masih berusia remaja, mau terjun dalam bisnis prostitusi, karena pada faktanya dapat memberikan banyak uang dengan cara yang begitu mudah” katanya.
“Selain itu, gaya hidup hedonis pun menjadi penyebab kasus moralitas ini terjadi”, ungkap Bu Wahyu. Keinginan untuk hidup serba berkecukupan, terpuaskan segala keinginan, dimana semua itu membutuhkan uang. Sehingga segala cara dilakukan demi uang dan gaya hidup. Akar masalah dari hal ini adalah karena adanya penerapan kebebasan yang diusung oleh sistem kapitalis. Sistem kapitalis yang berlaku saat ini hanya memberikan kesejahteraan pada orang yang bermodal saja dan memiskinkan pihak yang tidak bermodal. Wajar saja, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin, imbuhnya.
Kapitalisme juga mengusung kebebasan berperilaku serta berpendapat. “Bebas mengumbar aurat, bebas meluapkan kebutuhan seks, bebas menjajakan diri, bebas melakukan apa saja. Inilah yang mengakibatkan berbagai masalah moral yang melanda mulai dari anak-anak sampai para pejabat” paparnya.
Pada sesi selanjutnya, Dr. Arum memberikan gambaran bahwa Kapitalisme tidak bisa dilepaskan dari demokrasi. “Demokrasi adalah anak kandung Kapitalisme”, katanya.
Sistem Demokrasi yang berslogan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, memberikan keputusan ada di tangan rakyat. Wakil-wakil rakyat yang menjadi anggota dewanlah yang berhak membuat aturan. Padahal mereka adalah manusia yang serba terbatas, yang pastinya memiliki keterbatasan pula dalam melahirkan suatu peraturan, tutur Bu Arum
Berbeda dengan aturan yang telah diturunkan oleh Allah SWT untuk manusia yang serba sempurna. “Allah lah yang menciptakan manusia, alam dan kehidupan. Sehingga Allah SWT mengetahui betul mana yang terbaik bagi seluruh ciptaannya” kata Dr. Arum.
Dr. Arum menegaskan bahwa demokrasi yang diterapkan sekarang ini telah melakukan pemisahan antara kehidupan dunia dan akhirat. Agama tidaklah memiliki wilayah dalam mengatur kehidupan manusia dalam kesehariannya, paparnya.
Sebaliknya, Islam memandang bahwa kehidupan dunia adalah bekal menuju kehidupan di akhirat. “Islam memandang bahwa keputusan ada di tangan hukum syara, bukan dari suara terbanyak, karena suara terbanyak belum tentu merupakan suara yang benar”, kata Bu Arum.
Bahkan secara fakta dapatlah dilihat, dengan sistem demokrasi dengan asas kebebasan yang diembannya, justru menambah parah segala permasalahan, sehingga tidak akan pernah menciptakan masyarakat sejahtera, adil dan makmur.
Dengan sistem Islam, segala permasalahan akan tuntas terselesaikan dan akan tercipta masyarakat yang sejahtera, paparnya. Olehkarenanya, perlu adanya penyamaan langkah bagi seluruh umat agar bisa terbebas dari belenggu masalah yang dihadapi saat ini. Solusi yang diambil haruslah solusi tuntas yang akan mengantarkan manusia kepada kemuliaan. Umat perlu mengetahui dan mengikuti langkah-langkah dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah, sehingga peradaban mulia bisa kembali lagi terwujud yakni dengan menerapkan Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah Islamiyyah.[]