Demokrasi, Antara Konsep dan Realita

HTI Press. Sistem demokrasi menjadi penghancur peradaban, khususnya umat Islam. Di tengah fakta demokrasi yang terjadi di Indonesia, idealkah sistem ini untuk dipertahankan? Jawaban pertanyaan ini disuguhkan dalam Forum Muslimah untuk Peradaban yang digelar di Kantor Muslimah Hizbut Tahrir Surabaya, Minggu, 17 Februari 2013.

Menghadirkan Aktifis MHTI Fatma Sunardi sebagai pembicara pertama. Dilanjutkan dengan pemaparan Ketua DPD MHTI Jawa Timur Nurul Izzati. Keduanya menyingkap demokrasi yang kini sedang diterapkan di seluruh penjuru dunia, tak terkecuali Indonesia.

Demokrasi muncul di Athena Yunani, pada masa sebelum Masehi. Pada abad 13 hingga 18, demokrasi di Eropa lahir karena dipicu adanya kedekatan pihak gereja dengan kerajaan yang kemudian menghasilkan berbagai kebijakan yang justru anti rakyat. Puncaknya di masa kebangkitan Eropa yang ditandai dengan Revolusi Prancis dan Inggris, bangsa Eropa menemukan sekulerisme sebagai azas ideologi kapitalisme dan mengadopsi demokrasi sebagai sistem pemerintahan.

Menurut Fatma, ada 4 pilar demokrasi, yaitu rakyat sumber hukum (kedaulatan di tangan rakyat), rakyat sumber kekuasaan, liberalisme (kebebasan berbicara, beragama, berperilaku dan kepemilikan) dan trias politika yang terbagi menjadi eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Pandangan itu tentu saja berbeda dengan Islam. Dalam Islam, hanya Allah sang pembuat hukum. Meski demikian, rakyatlah yang memilih penguasa melalui baiat. “Kekuasaan di tangan rakyat dalam Islam itu bi ma’na untuk melaksanakan syariat,” kata Fatma.

Sedangkan liberalisme atau ide kebebasan sangat bertentangan dengan Islam. Sebab, Islam hanya menuntut ketaatan perkataan dan perbuatan sesuai dengan syariah. Islam juga menjalankan pemerintahan hanya kepada Khalifah sebagai kepala negara.

Nurul Izzati lebih rinci lagi menjelaskan demokrasi sebagai sumber bencana bagi rakyat. Demokrasi, beda konsep, beda realita. Sejak awal kelahirannya di Athena misalnya. Di kota kecil itu, Athena disebut-sebut berhasil melaksanakan demokrasi langsung. Faktanya, pemilihan langsung itu dilakukan oleh 300 ribu orang penduduknya, minus perempuan, budak dan penduduk bukan asli. “Saat itu, perempuan dan budak tidak boleh mengemukakan pendapat. Inikah demokrasi?” ujarnya.

Dalam jumlah penduduk yang besar, demokrasi diwujudkan dengan parlemen, partai politik dan pemilihan umum. Lagi-lagi, beda antara konsep dan realita. Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln (1860-1865) mengatakan demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Tapi sebelas tahun setelah kematian Lincoln, Presiden Rutherford B. Hayes (1876) mengatakan kondisi di Amerika Serikat saat itu ternyata dari perusahaan, oleh perusahaan dan untuk perusahaan. Artinya, tidak ada penguasa yang bisa terpilih kecuali didukung pemilik modal atau kapitalis karena biaya Pemilu yang besar.

Konsep demokrasi mengikuti suara rakyat juga tidak sepenuhnya sesuai realita. Di Aljazair misalnya. Partai FIS (Fronts Islamique du Salut) yang memenangkan 54 persen suara dan mendapat 188 kursi (81%) dalam putaran pertama dan menang mutlak dalam putaran kedua ternyata menjadi korban demokrasi. Barat memanfaatkan militer Aljazair untuk menganulir hasil Pemilu dan membubarkan FIS. Padahal mayoritas rakyat menginginkan Islam diterapkan sebagai aturan negara melalui FIS.

“Inilah standar ganda demokrasi. Jika rakyat ingin membunuh demokrasi dan menginginkan Islam, demokrasi tidak beri jalan,” kata Nurul.

Demokrasi justru memberi ruang kepada para kapitalis untuk menguasai dunia. Selalu mencari modal lebih besar, mencari sumber energi lebih banyak, mencari bahan baku dan tenaga kerja murah serta mencari pasar yang lebih luas. Tidak heran jika kemudian, kapitalis-kapitalis itu mencaplok negara dunia ketiga yang notabene memiliki sumber daya alam berlimpah. Mengutip Benjamin Constan (1767-1830), demokrasi membawa kita menuju jalan yang menakutkan yaitu kediktatoran parlemen.

Kebebasan dalam demokrasi juga menjadi legalisator kemaksiatan. Kebebasan beragama dalam demokrasi membuka celah bagi pemurtadan dan aliran sesat. Berdalih kebebasan berpendapat, Rasulullah dan Al Quran dihina, Islam dilecehkan. Kebebasan kepemilikan memberi ruang lebar bagi privatisasi dan penjajahan asing atas sumber daya alam. Kebebasan berperilaku diwujudkan dengan seks bebas, aborsi, pornografi, dan pembagian kondom gratis. Alih-alih menyejahterakan, demokrasi kapitalisme mengakibatkan kemiskinan, kerusakan moral dan kehancuran keluarga, perempuan dan generasi. “Demokrasi adalah sistem rusak dari akarnya. Tak bisa diperbaiki, harus diganti,” tegas Nurul.

Berbeda dengan ideologi Islam yang menyatakan syariat Islam menghasilkan pemerintahan yang tidak terbeli. Majelis Syura tidak untuk membuat peraturan atau undang-undang yang bertentangan dengan syariat Islam, tapi bermusyarawah dengan uslum dan wasilah dalam melaksanakan syariat Allah dan mengurusi urusan rakyat. Pemerintahan bersih sangat nyata untuk diwujudkan karena adanya mekanisme muhasabah lil hukam atau mengontrol dan mengoreksi pengusa dan adanya Mahkamah Mazhalim.

Islam mengharuskan muslim terikat dengan syara dalam semua perbuatan. Namun memberikan kebebasan dalam memilih aqidah bagi non muslim. Mereka bebas beribadah sesuai keyakinan mereka. Sedangkan kepemilikan dan berbagai mekanisme ekonomi harus mengikuti syariat Islam. Barang tambang, sumber energi, hutan dan sebagainya tidak boleh dikuasai individu atau asing. Harta jenis ini milik umat yang harus dikelola untuk dikembalikan kepada umat dalam bentuk pelayanan kesehatan, pendidikan, sarana umum dan semisalnya. Sejarawan Will Durant dalam The Story of Civilization mencatat para kholifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya.

Salah satu peserta yang hadir dalam forum ini, Suciatin sepakat bahwa demokrasi hanya menghancurkan peradaban. Falsafah yang dimiliki bangsa ini dianggap lebih sakti daripada Al Qur’an. Faktanya, pemerintah sendiri masih bingung dan mencari-cari formula penerapan falsafah tersebut.

Bagaimana Pemerintah mensosialisasikan ketahanan negara membuktikan bahwa mereka bingung dan khawatir tentang falsafah dan dasar negeri ini. “Ketahanan kita ini mati kutu,” ujarnya.

Ia sepakat dengan perjuangan penegakan Khilafah yang digencarkan Hizbut Tahrir. “Baru di Hizbut Tahrir ini saya menemukan (perjuangan) Khilafah,” katanya. Jadi, hancurkan demokrasi, tegakkan Islam kaffah melalui naungan Khilafah.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*