Prof Dr Djohermansyah Djohan mengungkap akar masalah sehingga 50 persen gubernur dan bupati/walikota terpilih 2010 menjadi tersangka dan terdakwa tindak pidana korupsi.
“Akar masalahnya adalah terjebaknya kepala daerah dalam jebakan korupsi karena dilakukannya pemilihan kepala daerah secara langsung yang membutuhkan biaya yang besar!” ungkap Dirjen Otonomi Daerah Kementrian Dalam Negeri tersebut seperti dilansir Tabloid Media Umat Edisi 99 (22 Februari-7 Maret).
Djohermansyah juga menyebut dua sumber dana untuk membiaya Pemilu berbiaya tinggi tersebut. Pertama, kantongnya sendiri. Kedua, sponsor atau cukong-cukong.
Nah, setelah menang, beber Djohermanyah, ingin kembali modal, karena dalam kamusnya tidak ada politik yang gratis. Tidak ada makan siang gratis. Setelah dia menjabatan tahu-tahu gaji bupati hanya Rp 5 jutaan, gaji gubernur sekitar Rp 8 jutaan.
Berarti seorang bupati mendapatkan gaji sekitar Rp 60 jutaan pertahun atau Rp 300 jutaan selama lima tahun menjabat. Sedangkan gubernur hanya sekitar Rp 96 jutaan pertahun atau Rp 480 jutaan selama lima tahun menjabat. “Sementara ongkos untuk memenangkan pilkada besar, belasan hingga ratusan milyar!” ungkapnya.
Uang sebesar itu ya untuk iklan di tv, radio, media cetak. Belum lagi pasang spanduk, poster. Ditambah biaya rapat-rapat, pertemuan akbar, penggalangan massa. Calon kepala daerah pun harus membayar biaya bayar saksi yang Rp 100 ribu per tempat pemilihan suara (TPS), kalau di daerahnya ada 5000 TPS berarti mau tidak mau dia harus merogoh kocek Rp 500 juta.
Kalau dihitung-hitung biayanya ya ada yang 15 milyar, 20 milyar untuk seorang calon bupati. Kalau gubernur paling sedikit lima kali lipatnya! Belum lagi untuk sewa perahu, maksudnya membayar parpol yang mau mengusung dia jadi kepala daerah. Harga sewanya macam-macam itu. Bervariasi. Tergantung potensi daerahnya, kaya atau tidak kaya. Kota, kabupaten atau provinsi. “Paling kecil hitungannya tetap saja milyaran rupiah! Mana ada sewa perahu yang murah,” tegasnya.
Cara kepala daerah mengembalikan biaya kampanye ya mengkorupsi dana Anggaran Pembelanjaan Belanja Daerah (APBD) dengan cara menaikkan harga barang yang dibeli (mark up). Atau menyalahgunakan wewenang. Caranya dengan meminta komisi sekitar 10-20 persen bagi siapa saja yang ingin memenangkan tender proyek. “Akibatnya akan mengurangi kualitas proyek,” tudingnya.
Uang lainnya didapat dari memberikan izin kepada perusahaan yang bermasalah dalam persyaratan izinnya. Misal tidak memenuhi syarat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), tetapi kepala daerah mengizinkan perusahaan tersebut beroperasi lantaran ada dana pelicin alias suap. Akibatnya terjadi pencemaran air, tanah, atau pun udara. “Belum lagi izin penambangan emas, batu-bara, dan lainnya yang intinya semua dapat izin setelah kepala daerah mendapatkan suap,” bongkarnya.
Tentu saja itu semua menyebabkan kerugian keuangan negara. Nah, inikan tindak pidana korupsi namanya. Sehingga akibatnya ada 155 bupati dan walikota serta ada 17 gubernur yang masuk proses hukum. Bisa jadi nanti yang lainnya menyusul lagi. Jadi bisa berkembanglah.
“Kita berdoa he…he.. yang lainnya selamat karena sangat hati-hati sehingga tidak menyalahgunakan wewenang. Jangan sampai mengkorupsi dana APBD,” pungkasnya.[] Joko Prasetyo