Audiensi ke DPRD, Muballighoh Jatim Desak Penutupan Lokalisasi
HTI Press-Surabaya. Pergaulan remaja sekarang menampakkan gejala yang kian mengkhawatirkan. Pergaulan bebas yang berujung pada kerusakan moral menjadi keprihatinan tersendiri di mata para muballighoh Jatim yang menghadiri audiensi dengan anggota DPRD I Jatim, Senin (18/2) lalu. Rombongan 11 peserta audiensi atau hearing yang diprakarsai oleh Lajnah Khusus Muballighoh DPD I MHTI Jatim ini ditemui oleh bapak Drs. H. Fuad Mahsuni, wakil ketua Komisi E dari fraksi PKB. Dua anggota lainnya, bapak Zainal (F-Golkar) dan H. Saleh Ismail Mukadar (F-PDI P) turut menemui.
“Kami bersama ibu-ibu muballighoh dari pondok pesantren di Jember, Sidoarjo, dan Surabaya datang ini dalam rangka muhasabah lil hukkam (koreksi terhadap penguasa, red) mengenai maraknya pergaulan bebas remaja sekarang, pak,” ungkap Hani Rizka selaku Hai’ah Muballighoh MHTI. Hani Rizka membuka dialog dengan beberapa contoh kasus pergaulan bebas remaja yang mencoreng dunia pendidikan di Jawa Timur seperti arisan seks pelajar di Situbondo tahun lalu. Ironisnya, arisan seks serupa ditengarai juga digelar remaja pelajar di kabupaten Bangkalan, Madura. “Sebenarnya akar permasalahannya apa dan bagaimana solusi terbaiknya? Sehingga bisa tuntas, tidak sekadar menutup lokalisasi.”
Ustadzah Azifah pun menambahkan, bahkan di sekolah-sekolah Surabaya terdapat penyuluhan kesehatan reproduksi bagi remaja yang justru memicu penasaran siswa—bukannya mengurai permasalahan pergaulan bebas. “Dalam penyuluhan tersebut diajarkan tips-tips pacaran yang sehat, karena pacaran adalah dorongan yang fitrah. Jadi ketika berpacaran harus siap untuk bertanggung jawab. Kondom lalu disodorkan sebagai langkah preventif (dalam aktivitas pacaran, red),” bebernya prihatin. Solusi yang tidak menyelesaikan akar permasalahan ini disebabkan karena Indonesia menggunakan sistem kapitalistik buatan manusia, tidak menggunakan standar halal-haram dalam Islam.
Fuad Mahsuni mengamini hal tersebut dengan mengatakan bahwa Indonesia memang menggunakan sistem hukum Belanda. Namun ia tidak sepenuhnya sepakat jika permasalahan pergaulan bebas remaja dan kerusakan moral semata-mata bisa diselesaikan melalui penerapan peraturan secara sistemik. Fuad memberikan contoh penutupan lokalisasi Dupak Bangunsari oleh ustadz Khoiron. “Ustadz Khoiron melakukan pendekatan persuasif—dari hati ke hati supaya mau taubat, tidak bicara halal-haram dengan mereka. Alhamdulillah, satu persatu mau berhenti dan sekarang lokalisasi itu sudah bubar. Itu tidak mudah, butuh 20 tahun lho.”
Salah satu muballighoh yang turut dalam audiensi hari itu, Bu Nyai Hj. Atiqoh Masykur sempat menyampaikan uneg-unegnya mengenai moral kalangan remaja sekarang. “Kalau saya jadi njenengan pak, punya jabatan, punya wewenang… nggak sampai 1 atau 2 tahun sudah saya tutup itu (lokalisasi, red),” ujar Bu Nyai Atiqoh dengan lugas. Beliau yang merupakan pemangku pondok pesantren keluarga besar Al Qodiri, Jember menyitir hadist Rasulullah yang berkenaan tentang tanggung jawab penguasa; “Setiap kamu adalah pemimpin dan akan di minta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya, kepemimpinan seorang penguasa atas rakyatnya, suami atas keluarganya, istri atas anak-anak dan harta suaminya, hamba atas harta tuannya, maka ingatlah bahwa kamu sekalian adalah pemimpin, dan akan diminta pertanggung jawabannya”. Sebagai muballighoh, Bu Nyai Atiqoh melihat problematika kebobrokan moral bangsa dan bencana alam yang bertubi-tubi ialah bentuk adzab Allah SWT kepada Indonesia yang tidak menerapkan syariatNya secara kaffah.
Di akhir perbincangan, Saleh Ismail Mukadar pun menuturkan bahwa Khilafah Islam adalah cita-cita tertinggi yang mulia, harus diperjuangkan. Meskipun begitu, setiap perjuangan mulia hendaknya dibarengi pula dengan perbaikan individu dan keluarga terdekat masing-masing pengembannya.
Perjuangan penerapan syariah Islam dalam bingkai Daulah Khilafah memang tak mudah. Setidaknya, janji Allah SWT tersebut menuntut kesungguhan, ketundukan hati, dan keikhlasan—dari mereka yang yakin—untuk merealisasikannya.[]