Kondisi Jalan Buruk : Cerminan Buruknya Layanan Publik Sistem Demokrasi

Oleh : Maiyesni Kusiar
(Lajnah Mashlahiyah Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia)

Kerusakan jalan-jalan di Indonesia merupakan  pemandangan yang sudah biasa. Kondisi tersebut tidak hanya terjadi di pedesaan yang jauh dari pusat pemerintahan bahkan  juga terdapat di Jakarta sebagai kota pusat pemerintahan.  Kondisi jalan ini semakin parah jika datang musim penghujan. Seperti saat ini, Data Dinas Pekerjaan Umum (PU) DKI Jakarta menyebutkan, sejak awal Januari, terdapat 6.464 titik jalan rusak dengan luas 2.747.801 meter persegi. Rinciannya antara lain, Jalan Kramat Raya, Jalan Suprapto, Jalan Gunung Sahari, Jalan Pegangsaan Dua, Jalan Panjang, Jalan Daan Mogot, Jalan Budi Raya, Jalan Palmerah Utara, Jalan Cendrawasih, Jalan Ciledug, Jalan Pattimura, Jalan Sisingamangaraja, Jalan Dewi Sartika, Jalan Otista, Jalan UP Panjaitan, dan Jalan I Gusti Ngurah Rai. Diperkirakan, jumlah tersebut masih akan bertambah karena puncak musim penghujan diprediksi masih akan terjadi hingga Februari nanti. (INILAH.COM/14/1/13).

Kondisi yang tidak jauh berbeda terjadi pada jalan penghubung antara Jakarta dan Kota-Kota Satelit (Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi) di sekitarnya. Sebagian besar jalan rusak berupa jalan berlubang, amblas, retak berlubang, dan jalan yang bergelombang. Faktor penyebab rusaknya jalan antara lain mutu jalan yang buruk, buruknya drainase yang menyebabkan air mudah menggenang ketika hujan,  dan peruntukan jalan yang tidak semestinya.

Warga telah melakukan berbagai aksi keprihatinan sebagai protes terhadap buruknya insfrastruktur jalan. Berupa pemblokiran jalan, penanaman pohon pisang, memancing lele di tengah kubangan jalan, namun tanggapan pemerintah dirasa lamban dan saling melempar tanggung jawab hingga ada jalan-jalan yang bertahun-tahun tidak juga diperbaiki. Warga Kampung Rawa Denok, di  Jalan Keadilan Cipayung, Depok melakukan aksi blokir jalan dengan menanam pohon pisang dan membangun jamban di jalan yang sudah rusak. Aksi ini dilakukan sebagai protes kepada Pemerintah Kota Depok yang tak kunjung memperbaiki jalan rusak yang sudah berlangsung selama 7 tahun (Okezone, 10/4/2012)

Sistem Kapitalis Abai Terhadap Pelayanan Publik

Buruknya layanan publik seperti jalan raya bukti abainya pemerintah dalam melaksanakan tanggung-jawabnya sebagai pelayan masyarakat. Keadaan ini terjadi merupakan keniscayaan dari sistem demokrasi kapitalis yang diemban oleh pemerintah saat ini. Sistem demokrasi kapitalis meminimalkan peran negara dalam pelayanan dan sistem politik  serta birokrasi yang berbelit-belit membuat negara semakin tidak  mampu dalam melakukan pelayanan kepada rakyatnya.

Permasalahan jalan tidak terlepas dari pembahasan tiga hal, yakni penganggaran dan perencanaan jalan, pelaksanaan peruntukan jalan, dan mekanisme kewenangan pengelolaan jalan. Pertama, perbaikan jalan tergantung anggarannya. Dr. Ir. Hedy Rahadian, Msc, Kepala Sub Direktorat Teknik Jalan Departemen Pekerjaan Umum, Dirjen Bina Marga  mengatakan Kementerian PU butuh Rp 147 triliun dalam 5 tahun namun saat ini masih belum sepenuhnya dapat anggaran tersebut (http://www.otomotifnet.com/20Juli/2012). Akibatnya hampir diseluruh jalan di wilayah Indonesia kondisi jalannya buruk tidak dapat diperbaiki secara penuh . Sebagaimana yang dikeluhkan Kepala Bidang Perencanaan dan Pengawasan Teknik, Direktorat Jenderal Bina Marga, Balai Besar Pelaksana Jalan Nasional IV Kemenpu Didik Rudjito, perbaikan jalan negara yang ada di Jakarta yang merupakan tanggungjawab Kementerian Pekerjaan Umum (Kemenpu) hanya sepanjang 12,9 km dari total panjang negara di Jakarta sepanjang 142,65 km. Perbaikan jalan secara keseluruhan tidak bisa dilakukan karena anggaran yang sebelumnya diajukan Kemenpu tidak disetujui Badan Anggaran DPR RI (Suara pembaharuan, 15/2/12).

Pengalokasian anggaran pun harus melalui proses panjang, sehingga perbaikan jalan terkesan lama. Penganggaran proyek perbaikan jalan mengikuti penetapan anggaran tahunan kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan lelang proyek yang biasanya dilakukan pertengahan tahun membuat pembangunan jalan praktis dimulai pada akhir tahun. Dana yang keluar pada musim penghujan membuat kualitas aspal tidak cukup bagus.

Kedua, kerusakan jalan terkait konsistensi pelaksanaan peraturan pemakaian jalan, seperti jumlah muatan kendaraan maupun stratifikasi jalan. Stratifikasi jalan 1, 2, dan 3 tergantung pada kapasitas kendaraan, tetapi hal ini sering dilanggar. Seperti truk kelebihan muatan tidak pernah diturunkan muatannya di pos penimbangan jalan demikian juga pada stratifikasi jalan ketiga yang berada di daerah perumahan tetapi masih dilewati truk dan bus, sehingga jalan tersebut cepat rusak.

Disamping itu menurut Departemen Perhubungan (Dephub) kerusakan jalan yang terjadi belakangan ini bukan hanya akibat kelebihan muatan dan bencana alam. Kerusakan justru lebih banyak disebabkan oleh konstruksi jalan yang tidak memenuhi standar. Baik menyangkut kepadatan tanah, beton, dan aspal. Kerusakan lain adalah akibat sistem pengendalian air (drainase) .

Ketiga, mekanisme kewenangan pengelolaan merupakan hal penting bagi efektifitas pengelolaan jalan. Di Indonesia persoalan kewenangan memperbaiki jalan terkotak-kotak. Dalam satu wilayah atau kota, penyelenggara dan penanggungjawab perawatan dan perbaikan jalan bisa berbeda-beda tergantung status jalan. Pembagian jalan mengikuti status jalan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota inilah yang sering membuat nasib jalan terkatung-katung karena lemahnya koordinasi dan beban anggaran yang diluar kemampuan penyelenggara jalan.

Ketika mendapat pengaduan dari publik, pemerintah dapat saling melempar tanggung jawab meskipun dalam wilayahnya. Seperti Jalan Soekarno Hatta di Kota Mamuju Provinsi Sulawesi Barat rusak parah dan butuh diperbaiki pemerintah.  Jalan nasional Soekarno Hatta itu sudah rusak empat tahun terakhir dan tidak pernah mendapat perhatian dari pemerintah dengan memperbaikinya.”Balai Jalan Nasional Sulawesi maupun pemerintah di Provinsi Sulbar serta Pemerintah Kabupaten Mamuju saling lempar tanggung jawab untuk memperbaiki jalan itu, sehingga kini kondisi jalan itu semakin rusak (Antara News,26/1/2013)

Sistem Khilafah : Memberikan Pelayanan publik  Berkualitas

Sistem transportasi yang terintegrasi telah lama dimiliki umat Islam. Jalan-jalan dibangun secara terencana. Menghubungkan ibu kota kekhalifahan dengan kota-kota lain. Selain itu, berfungsi pula menopang kegiatan komersial, sosial, administratif, militer, dan sejumlah hal lainnya. Hal ini tidak terlepas dari sistem politik islam yang diterapkan Daulah Khilafah saat itu yang memiliki keunggulan yaitu hukum berasal dari Allah SWT sehingga bersifat  pasti dan struktur pemerintahan sederhana dimana Khalifah memiliki kekuasaan penuh sehingga  pemerintahan berjalan efektif dan efisien. Pada akhirnya menciptakan atmosfir ketaqwaan yang kuat pada diri penguasa dan aparatnya.  Lahirnya tanggung-jawab dan empati yang tinggi terhadap persoalan masyarakat, dan bersikap antisipatif dalam segala hal yang akan memudharatkan masyarakat. Hal ini terlihat dari ungkapan khalifah  Umar Bin Khatab “Seandainya seekor keledai terperosok di Kota Baghdad karena jalanan rusak, aku sangat khawatir karena pasti akan ditanya oleh Allah SWT, ‘Mengapa kamu tidak meratakan jalan untuknya?’.

Sistem politik Khilafah menyediakan layanan publik yang berkualitas dalam hal ini penyediaan infrastuktur jalan maupun jembatan dengan 5 indikator pelayanan yaitu memiliki aksesibilitas, mobilitas, keselamatan, kecepatan dan kenyamanan dapat dilakukan karena : Pertama, mengenai anggaran.  APBN Khilafah tidak dibuat dan disahkan setiap tahun karena pos pendapatan dan pengeluarannya telah ditetapkan oleh syariah. Sebagai contoh, pada pengeluaran terdapat pos pembiayaan untuk kemaslahatan dan perlindungan umat yang apabila pos tersebut tidak ditunaikan dapat menimbulkan dhahar, termasuk di dalam pos pembiayaan kemaslahatan ini adalah perbaikan jalan umum.

Kedua, kewenangan pengelolaan jalan. Kewenangan pengelolaan jalan Khilafah tidak terkotak-kotak sebagai jalan nasional-provinsi-kabupaten. Satu wilayah diurus oleh satu penanggungjawab, sehingga publik tidak dipingpong ketika melakukan pengaduan maupun meminta pertanggungjawaban penguasa ketika jalan rusak. Penyelenggara jalan hanyalah satu, yakni Wali/Amil Wilayah yang diangkat oleh Khalifah. Wali/Amil dalam melaksanakan kemashlahatan umat dibantu secara teknis oleh diwan kemashlahatan umum.

Ketiga, peraturan mengenai pemakaian jalan. Khalifah memiliki hak untuk mengatur urusan rakyat. Khalifah berhak melegislasi hal-hal mubah yang diperlukan untuk memudahkan pengaturan urusan rakyat. Hal-hal yang ditetapkan oleh penguasa otomatis menjadi undang-undang yang wajib secara syar’i dijalankan dan ditaati semua pihak terkait. Misalnya mengenai pembagian pengaturan stratifikasi jalan 1, 2, dan 3 tergantung dari kapasitas kendaraan. Disamping karena faktor keimanan rakyat dan aparat untuk menaati ketetapan hukum penguasa, keberadaan Al-Muhtasib atau qadhi hisbah memeriksa dalam perkara yang termasuk hak umum tanpa menunggu adanya tuntutan termasuk perkara yang menjamin dijalankannya ketetapan tersebut. Sehingga  penggunaan jalan sesuai peruntukkannya akan menjaga keawetan jalan tersebut.

Dengan demikian jelaslah sudah bahwa permasalahan buruknya infrastruktur jalan yang terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia mulai dari pedesaan yang dari pusat pemerintahan sampai Jakarta sebagai Ibu Kota Republik Indonesia akibat penerapan Sistim Demokrasi Kapitalis.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*