Terkungkung Kurikulum: Kebimbangan Demokrasi-Kapitalisme Mensolusi Problem Generasi
HTI Press. Intelektual muslimah kembali berkumpul dalam acara yang digelar oleh MHTI Link Kampus Jember, Sabtu (16/02) di Masjid Al-Mizan Pengadilan Negeri Jember mulai pukul 8 pagi hingga pukul 11 siang. Acara yang bernama Studi Aawasan Islam Bersama Intelektual Pendidikan dan Sains (SANITASI) ini bertajuk “Terkungkung Kurikulum??” Sekitar 40 mahasiswi calon guru dan sarjana sains hadir untuk mengkritisi kebijakan Kementrian Pendidikan terkait Kurikulum 2013 dengan sudut pandang Islam.
“Intelektual muslim? Peduli generasi! Intelektual Muslim? Siap Berkontribusi untuk umat! Takbir! Allahu Akbar!” Inilah yel-yel pembuka yang dipandu oleh Ukhti Yuni, salah satu aktivis Himpunan Mahasiswa FKIP biologi, dan dikuti oleh para peserta. Di awal pemaparan materi, Usth. Sri Wulandari, S.Pd, aktivis Muslimah HTI Link Kampus Jember yang juga staff pengajar di sebuah sekolah di Jember mengatakan bahwa intelektual itu harus kritis, kritis yang bukan tanpa landasan. Kemudian ia memaparkan tentang kurikulum 2013 yang dijadikan solusi oleh Pemerintah dalam mengatasi kerusakan generasi saat ini. Tematic Integratic adalah ciri khasnya. “Kurikulum ini dimaksudkan agar kinerja guru menjadi lebih sederhana karena dibatasi materinya sedangkan siswa dituntut mampu menghasilkan karya yang riil . Untuk pelaksanannya, kurikulum ini akan diuji cobakan pada tahun ajaran 2013/2014. Jika kemudian tidak berhasil, maka akan diganti lagi. Apalagi gonta-ganti kurikulum setiap 6 tahun sekali sudah jadi rutinitas pendidikan kita. Nah, buat siswa kok coba-coba?”, ujarnya.
Ia juga mengatakan pergantian kurikulum sebenarnya hanya untuk peluang bisnis besar untuk berbagai pihak terutama sekolah sebab dana untuk anggaran kurikulum 2013 sudah turun sejak 2011 padahal masih mau diuji cobakan tahun 2013. Menurutnya, merubah kurikulum merupakan perubahan cabang yang tidak membawa perubahan yang signifikan jika mau mengatasi kerusakan generasi. “Akar yang rusak tidak bisa mengalirkan air ke seluruh bagian tumbuhan, daun-daun menjadi rusak . Begitupun dengan wajah buruk pendidikan saat ini. Tuntutan hidup semakin banyak, pelajar jadi PSK, belajar agama sejak kecil saat dewasa jadi PSK, kepribadian baik tapi tidak siap menghadapi tuntutan kehidupan. Akar masalahnya adalah visi pendidikan yang sejalan dengan kapitalisme. Maka solusi jitu yang harus kita lakukan adalah mengganti kapitalisme dengan Islam.”, serunya serambi disambut pekikan takbir oleh peserta.
Dibanding dengan Sistem pendidikan kapitalisme, Sri Wulandari menilai bahwa sistem pendidikan Islam yang telah diterapkan selama 13 abad, 100 % terbukti sukses tidak perlu ujicoba. Kesuksesan tersebut tentunya tidak lepas dari pendanaan dan kebijakan politik yang baik. “Sistem Pendidikan Islam yang sejatinya adalah sub-sistem tidak akan bisa terlaksana tanpa didukung sistem ekonomi Islam dan sistem politik Islam. Artinya, untuk menerapkan Sistem Pendidikan Islam, kita membutuhkan sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah”, pungkasnya.
Setelah sesi pemaparan materi berakhir, sesi diskusi dibuka. Salah seorang peserta, Rizka, mahasiswi angkatan 2010 FKIP Fisika menanyakan tentang kondisi umat non-islam jika sistem pendidikan islam diterapkan. Menurutnya, selain dari kapitalisme, buruknya pendidikan juga dari gurunya. Di sisi lain, mengganti kapitalisme tidak semudah membalikkan tangan.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Sri Wulandari menegaskan bahwa yang ditawarkan adalah Sistem kenegaraan, Khilafah, bukan Sistem pendidikan islamnya. Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Maka, negara Islam akan menjamin pendidikan bagi non-islam sesuai aqidah mereka secara khusus dan umat islam tidak boleh ikut. Umat islam boleh mempelajari aqidah agama lain asal tidak membuat dia keluar dari Islam. Terkait pendanaan, sekolah non muslim bisa jadi gratis seperti sekolah lainnya sebab pendidikan untuk semua dan dananya diambil dari baitul mal. Kalau dalam pendidikan kapitalis-sekuler sekarang semua umat dipaksa dan tersiksa, tuturnya.
Aktivis MHTI yang lain, Puput Handriyani yang juga menjadi pengajar MA di Jember, menceritakan bagaimana dilematisnya menjadi guru antara surga-neraka. Di satu sisi harus menjadi teladan bersikap jujur. Di sisi lain harus mengikuti kebijakan sekolah. Seperti untuk meningkatkan akreditasi sekolah, maka guru diarahkan supaya memanipulasi nilai ujian siswa dan yang sudah jadi kebiasaan bukan lagi rahasia umum adalah menyebarkan jawaban UNAS kepada seluruh siswa. Ini berarti guru tidak bisa berdiri sendiri, dia akan senantiasa disetir dari atas. “Selama ruh kapitalis yang memimpin maka break-down an nya adalah kapitalis juga. Faktanya, kapitalis tidak bisa menyejahterahkan guru sebagaimana Islam yang mampu menggaji seorang guru sebesar 14 dinar perbulan.”jelasnya.
Sebagai closing statement, Sri Wulandari menyatakan kesepakatnnya dengan pernyataan Rizka, bahwa tidak mudah mengganti Kapitalisme dengan Islam semudah membalikkan tangan. Namun, itu bukan berarti tidak bisa, ujarnya sambil memutarkan video tentang perjuangan rakyat Suriah untuk menegakkan Khilafah yang sebentar lagi meraih kemenangan.
Di penghujung acara, para peserta menyerukan yel-yel penutup yang berbunyi: “Sistem Pendidikan Kapitalisme? Ganti! Sistem Pendidikan Islam? Terapkan!, Takbir! Allahu Akbar!”.[]