Analis Timur Tengah, Ketua DPD HTI Kobar.
Sudah lebih dari dua tahun Arab Spring (pemberontakan arab) belum juga menunjukkan tanda tanda akan berakhir. Berawal dari penggulingan kekuasaan Ben Ali di Tunisia pada 2011 silam, gelombang Arab Spring kemudian menjalar ke Libya, Mesir, Yaman dan kini berlabuh di Suriah. Bisa dikatakan Arab Spring di Suriah merupakan revolusi yang spesial dan berbeda dengan revolusi negara negara arab lainnya. Menurut data PBB, korban yang meninggal akibat konflik di Suriah mencapai angka hampir 70.000 jiwa (republika.co.id). Dari sisi durasi waktu, revolusi ini memakan waktu bertahun tahun dan hingga detik ini belum menunjukkan tanda tanda akan berakhir. Berbeda dengan revolusi negeri negeri lain seperti Tunisia, Libya dan Mesir yang hanya memerlukan waktu beberapa bulan. Penyebabnya adalah tujuan revolusi itu sendiri. Di negeri negeri timur tengah selain Suriah, revolusi ditujukan sekedar untuk menjatuhkan rezim boneka tanpa mengganti sistem. Hal ini menyebabkan revolusi tersebut mudah dibajak oleh barat dengan mendukung pelengseran penguasa diktator – antek antek lama- dengan penguasa baru yang tetap pro Barat. Akibatnya, ketika satu rezim tumbang, maka berakhir pula gelombang revolusi seiring dengan naiknya rezim baru. Sementara sistem yang berlaku tetap sama yakni pemerintahan sekuler dalam format negara bangsa (nasionalisme). Kondisi ini sama seperti ketika terjadi demo besar besaran mahasiswa bersama rakyat pada tahun 1998 yang sukses menggulingkan Presiden Soeharto. Setelah Soeharto lengser, rezim reformasi menjalankan pemerintahan dengan tetap bertumpu pada sistem usang demokrasi sekuler yang sudah rapuh. Alhasil, bukannya tambah baik, hingga kini kondisi masyarakat Indonesia justru semakin sengsara karena terjebak pada krisis multidimensi. Hal ini tampak dari praktik korupsi yang semakin menggurita, angka kemiskinan yang terdongkrak naik, penegakan hukum yang tebang pilih dan dekadensi moral yang terjun bebas.
Sementara itu, tujuan revolusi di negeri Asy Syam (Suriah) tidak hanya untuk mengganti rezim boneka Al Assad. Lebih dari itu, revolusi Suriah ditujukan untuk meruntuhkan sistem sekuler dan menegakkan Daulah Khilafah yang bersandar kepada akidah dan Syariah Islam. Inilah yang menjadi tujuan utama dari revolusi Suriah. Sebuah revolusi yang memiliki akar keIslaman yang kuat sehingga tidak mampu di bajak oleh barat dan pihak manapun. Hal ini tercermin dari tuntutan para mujahidin Islam beserta dukungan mayoritas rakyat Suriah yang bertekad menggulingkan rezim diktator Al Assad dan menegakkan Syariah dalam bingkai Khilafah Islamiyah sebagai penggantinya. Bak batu karang yang kokoh, para mujahidin tidak tergoda sedikitpun dengan berbagai proposal perdamaian yang diajukan barat baik secara langsung maupun melalui kaki tangannya seperti yang dilakukan Perdana Menteri Turki Recep Tayyib Erdogan. Dimulai dari (inisiatif) Majelis Nasional pada 2 Oktober 2011, lalu Koalisi Nasional pada 11 November 2012, Majelis Anatolia Militer pada 8 Desember 2012 dan berbagai majelis serupa, hingga koalisi saat ini. Koalisi tersebut dimaksudkan sebagai pemerintahan transisi pascalengsernya Al Assad untuk diarahkan kepada pembentukan negara sipil yang sekuler. Namun, koalisi ini sangat rapuh karena tidak mendapat dukungan publik dalam negeri.
Revolusi Suriah : Titik Awal Kebangkitan umat
Meski kerap ditutup ditutupi media sekuler, tumbangnya rezim Al Assad tinggal masalah waktu. Dan ketika itu terjadi, maka potensi bagi tegaknya negara baru Khilafah Islamiyah akan segera terwujud. Bahkan kemungkinan tegaknya khilafah dibenarkan oleh seorang mantan pejabat CIA, Robert Baer. Pada 29/2/2012 beberapa situs mempublikasikan pernyataan Robert Baer yang mengatakan bahwa “Teorinya tentang dominasi Syiah Iran di Timur Tengah benar-benar telah runtuh. Sekarang, kami hidup era revolusi rakyat Sunni. Dan tanda-tanda munculnya Khilafah Islam telah kembali….(Kantor berita HT).
Selain itu, surat kabar Amerika “The Washington Times” pada hari Jum’at (04/01/2013) mempublikasikan sebuah artikel oleh seorang analis politik dan strategi Amerika, Fred Gedrich. Ia adalah mantan karyawan dari Departemen Pertahanan AS. Dalam artikelnya, ia memperingatkan bahaya yang mengancam kepentingan Amerika di kawasan Timur Tengah, berjudul: “Syria on track to become Islamic state, Suriah dalam perjalanannya menjadi negara Islam”, dan disertai gambar dengan backgrounds foto Basyar Assad yang ditutupi oleh kata (Khilafah) dalam bahasa Inggris. Dengan ini menunjukkan bahwa bahaya yang dimaksud oleh Gedrich dalam artikelnya tersebut adalah negara Islam (Khilafah).
Tegaknya Khilafah di Suriah bukan sekedar mimpi karena memiliki landasan faktual dan basis teologis yang kuat. Secara faktual, ada 4 faktor yang menunjukkan bahwa Khilafah sangat layak untuk tegak di Suriah dalam waktu dekat. Pertama, keamanan dalam negeri Suriah berada di tangan kaum muslimin dalam bentuk kekuatan militer para mujahidin. Sifatnya mandiri, independen dan tidak ada memiliki ketergantungan militer terhadap kekuatan asing atau negara lain. Kedua, rakyat suriah sudah bulat dan siap menerapkan Khilafah beserta seluruh perundang undangannya. Ketiga, aspirasi utama masyarakat Suriah yang hanya mengingingkan Khilafah. Hal ini tampak dari kesaksian para relawan dan jurnalis media Islam yang berkunjung ke sana. Salah seorang jurnalis media Islam menuliskan pengalamannya yang berbunyi “Alhamdulillah, sepanjang keberadaan kami di Suriah, hampir seluruh penduduk yang kami temui menjelaskan bahwa ini adalah revolusi Robbani. Dari masyarakat biasa, relawan medis, mujahid hingga ulama, semua menegaskan, “Ini adalah revolusi Islam dan revolusi Robbani.” (eramuslim.com) Ini adalah fakta betapa kerinduan bagi tegaknya Syariah dan Khilafah sudah merasuk ke setiap sanubari penduduk Syam (Suriah) meski media media sekuler termasuk di dalam negeri mencoba menutup tutupi. Keempat, Suriah memiliki sumber daya alam melimpah dan jumlah penduduk yang lebih dari 20 juta. Potensi ini merupakan kekuatan politik, militer sekaligus ekonomi yang kuat sebagai pondasi bagi tegaknya Khilafah.
Situasi politik semacam ini membuat Amerika menjadi geram dan mulai melakukan berbagai upaya kotor untuk menghalangi tegaknya Syariah dan Khilafah. Di antaranya dengan membentuk pasukan oposisi tandingan di bawah kontrol AS dan menuding pasukan oposisi yang menolak berkompromi dengan AS sebagai kelompok teroris. Pada Rabu (5/12/2012), Presiden Obama secara resmi memasukkan kelompok mujahidin Jabhah Nushrah di Suriah dalam daftar baru organisasi teroris. Jabhah Nushrah selama ini dikenal sebagai kelompok jihad yang paling keras menghantam militer rezim Nushairiyah Al Assad Suriah. Jika pada hari Rabu Obama memasukkan Jabhah Nushrah dalam daftar organisasi teroris internasional, maka pada hari Jum’at (7/12) umat Islam Suriah tumpah ruah ke jalanan dalam aksi-aksi demonstrasi mendukung mujahidin Jabhah Nushrah dan menolak Pasukan “Penjaga Perdamaian” PBB. Di kota Binniys, propinsi Deir Ezzur, ribuan kaum muslimin turun dalam aksi demonstrasi pada Jum’at siang. Mereka mengelu-elukkan mujahidin Jabhah Nushrah. Mereka serentak memekikkan yel-yel Jabhah Nushrah, Allah yahmikum. Jabhah Nushrah, Allah melindungi kalian. Allahu Akbar, kejayaan hanya milik Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.
Secara teologis, tegaknya Khilafah merupakan janji Allah SWT yang pasti akan terwujud. Allah menyatakan dengan tegas dalam Alquran Surat an-Nur: 55. Pertama, ayat ini dimulai dengan kalimat, “Wa’ada-Llahu (Allah berjanji)..” yang menunjukkan jaminan kepastian akan terwujudnya apa yang dijanjikan. Menurut KH Hafidz Abdurrahman, janji yang dijanjikan itu diungkapkan dengan menggunakan redaksi yang jelas, “La yastakhlifannahum (Dia sunguh-sungguh akan memberikan Khilafah [kekuasaan] kepada mereka).” Frasa ini mempunyai makna yang mendalam, karena disusun dari, Lam yang merupakan jawab dari sumpah Allah, diakhiri dengan nun yang digandakan (tasydid), atau disebut nun taukid tsaqilah, yang berarti “penegasan ganda”. Selain itu, terwujudnya kembali janji ini juga dikuatkan oleh hadits Ahmad dari Nu’man bin Basyir yang menyatakan kembalinya Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah merupakan fase akhir setelah era Nubuwwah, Khilafah, Mulkan ‘Adhdhan dan Mulkan Jabariyyan. (Borneonews, 25/2)