HTI Press, Bandarlampung. “Masyarakat hidup sejahtera dalam naungan khilafah Islam. Kegemilangan Islam bahkan menembus berbagai belahan dunia. Dari benua Eropa hingga Timur Indonesia”, ujar DPD I Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ustadz Dudi Arfian dalam sambutannya di Halqah Islam dan Peradaban (HIP) ke-18. Acara ini digelar di Lt. 2 Aula Graha Gading Karang, Bandar Lampung, Sabtu (23/02/2013) malam hari Jam 20.00 WIB. Walau dalam keadaan sakit menggunakan penyangga badan, Ust. Dudi tetap antusias hadir untuk bersilah ukhuwah menyambut sekira seratus tokoh dengan suasana semangat ketakwaan. Hadir sebagai narasumber DPP HTI Pusat Ustadz Abdullah Fanani dan DPD I HTI Lampung Ustadz Warji serta Host Khomsin Romadon.
Menurut Ust Dudi, umat Islam saat ini menunggu kebangkitan kedua Umat Islam melalui tangan-tangan yang ikhlas dalam perjuangannya. Umat di berbagai negeri muslim yang bergejolak menginginkan perubahan. Tidak sekedar perubahan rezim, tapi perubahan total di seluruh bidang kehidupan dalam penerapan syariah Islam secara total. Demokrasi yang telah nyata kebobrokannya tidak bisa diharapkan. “Khilafah menjadi satu-satunya solusi kehidupan. Disinilah pentingnya menyatukan pemikiran dan perasaan, menggandeng umat, para tokoh ulama, asatidz, cendekiawan, birokrat, akademisi, mahasiswa dan seluruh elemen masyarakat lainnya.” Ungkap Dudi.
Ust Warji mengemukakan fakta fakta yang menunjukkan betapa buruknya sistem demokrasi. Korupsi yang merajalela muncul by system. Data sampai akhir tahun 2012, KPK sudah menetapkan 597 tersangka korupsi. Kriminalitas pun semakin tak terbendung. Mabes Polri ketika memberikan pernyataan pada MetroTV bahwa “Setiap 91 detik terjadi satu kejahatan” artinya, hampir 1000 kasus kejahatan terjadi dalam sehari. “Bandingkan dengan Khilafah yang selama 13 abad hanya terjadi 200 kasus kejahatan” ungkap Warji. Peta pola global saat ini, negara menjadi instrumen untuk kepentingan bisnis. Maka segala keputusan politik dan undang-undang mengabdi pada pemilik modal, karena sistem yang diterapkan adalah kapitalisme yang memisahkan agama dengan negara.
“Kapitalisme di bidang pendidikan, semua pasti merasakan. Setengah juta rupiah SPP untuk anak SD, belum lagi kuliah kedokteran. Kesehatan menjadi mahal, banyak kasus balita dan batita yang sakit tapi ditolak oleh rumah sakit akhirnya meninggal. Sebut saja contoh kasus Dera yang ditolak oleh 10 RS. “Sebelum masuk RS, ditanya ada jaminan atau tidak? Kalau tidak punya uang dijawab ruangan sudah penuh”. Inilah Indonesia. Penegakan hukum juga tebang pilih, hukum hanya berlaku bagi orang miskin. Satu-satunya solusi adalah bagaimana menyelesaikan problematika tersebut dengan solusi yang sistemik, yaitu dengan Islam. Percuma bila sekedar ganti rezim, karena kita sudah ganti rezim berkali kali, namun tetap tidak ada perubahan.
Narasumber kedua DPP HTI Ust Abdullah Fanani mengucapkan ahlan wa sahlan pada para tokoh. Senada dengan Ust Warji, Ust Fanani kemudian menjelaskan “Perubahan yang tidak fundamental, tidak akan dapat bangkit dan tidak bertahan lama.“. Oleh karenanya HT menawarkan di seluruh dunia, tegaknya sistem kehidupan Islam, penerapan syariah Islam yang sempurna dalam daulah khilafah. HT yang telah ada di 52 negara telah menyiapkan kitab-kitab. “Alhamdulillah buku-buku yang diadopsi Hizb bisa dipamerkan di Kairo International Book Fair, dan mendapat sambutan hangat dari umat.”
Ust Fanani mengatakan, “Kalau kita dikatakan tidak cinta Indonesia, itu salah. Justru kecintaan kita adalah untuk merubahnya menjadi lebih baik”. HT juga telah mengontak paramiliter dan penguasa. Dan hal itu mendapat sambutan positif. Jika HT mampu mengerahkan sejuta orang, massa turun ke jalan di Jakarta, tentunya militer akan berpihak kepada masyarakat dan dakwah Islam. HT juga telah lama mengingatkan pemerintah mengenai ancaman disintegrasi yang didalangi oleh kekuatan asing. Misalnya kasus Aceh, NTT, dan Papua. HTI menyatakan keutuhan wilayah kaum muslim harus dijaga, karena haram hukumnya bagi kaum muslim untuk berpecah belah dan dikerat kerat menjadi negara nasionalis kecil yang mudah dijajah.
Seorang peserta yang hadir, Ubaidillah dari Sukabumi bertanya pada narasumber. “Apakah di dalam Islam tidak ada demokrasi? Karena menurut saya tidak semua demokrasi itu bertentangan dengan Islam. Adakah demokrasi yang berdasarkan syariah Islam?” Ust Warji menjawab, demokrasi muncul pertama kali pada zaman Yunani kuno. Saat itu masyarakat membentuk polis (negara kota). yang faktanya jauh berbeda dengan keadaan sekarang. “Sekarang ini wakil rakyat mewakili dirinya sendiri, dan tunduk pada kepentingan pemilik modal (kapitalis) yang mendukungnya pada pemilu. Bukan mewakili rakyat”
Demokrasi modern muncul pada akhir abad pertengahan Eropa. Kala itu agama (gereja) membekingi raja-raja sebagai wakil tuhan dan menerapkan hukum hukum yang menyengsarakan rakyat. Sebut saja pajak kematian atau surat pengampunan dosa. Kata raja adalah titah tuhan yang tidak bisa diganggu gugat. Sebagai negasi muncullah kaum cendekiawan yang menolak eksistensi agama (atheis), dan ada yang membolehkan eksistensi agama, namun tak boleh turut campur dalam urusan kenegaraan. Dari sinilah lahir demokrasi yang sekular. “Maka sangat berbeda Islam dengan demokrasi, bahkan demokrasi itu bukan musyawarah, karena musyawarah hanya membahas hal yang mubah, sedangkan demokrasi bisa menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Seperti meja yang memiliki empat kaki dan seekor sapi yang memiliki empat kaki, jumlah kakinya sama tapi itu adalah entitas yang berbeda.” terang Warji.
Ust Fanani menambahkan, HT sangat berhati-hati menggunakan istilah. Demokrasi berasal dari kata demos dan kratos (pemerintahan rakyat) yaitu pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat (suara rakyat suara tuhan). Kedaulatan dalam demokrasi adalah di tangan rakyat, maknanya rakyatlah yang berhak membuat hukum, bukan tuhan. Padahal menurutnya, “Islam tidak mengenal demokrasi karena itu berasal dari sistem kehidupan yang khas dari selain Islam. Demokrasi adalah sistem kufur” tegasnya. Demokrasi hanya menghitung jumlah kepala, bukan isi kepala. Seorang pencuri sendal dan seorang Kyai pemimpin pondok pesantren sama nilainya dalam demokrasi, yaitu satu suara.
Dalam kesempatan ini kedua narasumber mengetengahkan pula isu yang dibawa kedepan. “Muktamar Khilafah Insyaallah dalam waktu dekat akan terselenggara di 34 kota besar di Indonesia membawa isu penting ini. 100 ribu orang akan hadir di Stadion Gelora Bung Karno, dan sebelas ribu orang di Stadion Pusat Kegiatan Olahraga (PKOR) Way Halim, Bandar Lampung” seru Fanani. Agenda besar opini yang dibawa adalah perubahan besar dunia menuju khilafah. Menolak demokrasi, nasionalisme dan separatisme (disintegrasi). Konstelasi politik global dunia akhir akhir ini mengindikasikan semakin dekatnya era khilafah seperti yang dikabarkan dalam bisyarah Rasulullah SAW. Runtuhnya para diktator di negeri negeri muslim mengiyakan hal itu. Ekskalasi politik di Suriah misalnya, juga semakin meningkat. HT menaruh harapan akan tegaknya khilafah di bumi Syam tersebut dalam waktu dekat, Insyaallah.
“Seorang syabab dari Bangladesh telah menulis buku yang berisi kemungkinan tegaknya Khilafah di negeri negeri muslim. Menurutnya, Indonesia termasuk negara yang potensial untuk berdirinya khilafah (nuqtah irtikaz) selain dari Suriah, Iran, Pakistan dan Mesir. Hal itu dilihat dari lima hal; potensi tenaga dan rekayasa nuklir, demografis, populasi muslim, kekayaan alam serta ideologi. Indonesia diharapkan menjadi ahlunnushrah seperti Madinah yang lebih kondusif untuk dakwah”. Oleh karena itu menurut Ust Fanani, sudah saatnya berjuang untuk menegakkan khilafah dan meraih pahala yang sangat besar dari Allah SWT. Tolok ukur keberhasilan adalah opini publik yang berangkat dari kesadaran. Yang penting adalah menyampaikan khilafah, dengan mencoba segala uslub (cara) yang memungkinkan seperti dialog, diskusi, kontak, seminar, tabligh akbar, atau khutbah Jumat yang ’sakti’ menambah maklumat terhadap umat yang haus akan solusi dari Islam. []rio_an